Pada era reformasi 1998, euforia politik menyergap bangsa Indonesia. Rasa kebebasan berpolitik yang selama 32 tahun terbelenggu dengan kuatnya meledak, beragam terobosan demokrasi pun terjadi. MPR RI yang diketuai politisi Amien Rais sebagai lembaga negara tertinggi, dengan beraninya berharakiri melepas kekuasaan legislatif dalam memilih kepala daerah dan kepala negara. Mereka sepakat menerjemahkan pesta demokrasi rakyat, dalam ujud pemilihan umum langsung. Setelah 15 tahun berjalan, pada awal September lalu tiba-tiba enam partai politik bersepakat mengembalikan pemilihan kepala daerah dikembalikan kepada DPR. Tak pelak lagi, pembahasan RUU Pilkada pun geger, karena sikap politik mereka menciptakan polemik nasional.
[caption id="attachment_324840" align="alignright" width="381" caption="RUU Pilkada masih menjadi polemik nasional. Enam parpol akan mengembalikan Pilkada dalam metode tidak langsung yang dipilih DPRD. Keputusan ini sebagai solusi membentengi koruptor terpilih sebagai kepala daerah."][/caption]
RANCANGANUndang-Undang (RUU) tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mendadak menjadi primadona polemik nasional. Tokoh partai politik, pengamat politik, lembaga swadaya masyarakat (LSM), para akademisi, dan organisasi masyarakat saling melempar pendapat. Saling adu suara untuk memperjuangkan pendapat mereka. Memerjuangkan hak rakyat Indonesia promosi “dagangan” mereka untuk mendapatkan dukungan. Faktanya pendapat yang mereka teriakkan hanya untuk kepentingan kelompok, kepentingan egoism partai politik yang didukungnya, atau lembaran rupiah yang dikucurkan “investor” untuk memperjuangkan ambisi mereka mengatur atmosfer pemerintahan dari daerah hingga pusat.
Letupan polemik RUU Pilkada itu diawali oleh sikap enam dari sembilan fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) yang berubah sikap. Dalam rapat konsinyering Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada, 2 September lalu, keenam fraksi mengusulkan Pilkada dilakukan oelh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Padahal, pada rapat sebelumnya yang berlangsung tanggal 14 Mei, semua fraksi mengusulkan Pilkada, baik gubernur maupun bupati/wali kota, dipilih secara langsung. Sementara pemerintah tetap pada posisi sikap politiknya, yang mengusulkan gubernur dipilih langsung dan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD.
Saat mayoritas fraksi berbalik mengusulkan Pilkada menjadi wewenang DPRD, pemerintah justru mengusulkan semua kepala daerah dipilih langsung. Argumentasi pemerintah, ingin mendekati pandangan mayoritas fraksi di DPR yang sejak awal pembahasan pada tahun 2013, bersikukuh menginginkan pilkada tetap secara langsung.
Perubahan sikap enam fraksi partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih, yaitu Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanan Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Demokrat itu pun mendapat reaksi, baik sikap dukungan ataupun kontra dengan beragam argumentasi yang selalu mengatasnamakan rakyat.
Atmosfer politik itulah yang menyebabkan Tim Perumus (Timus) Panja RUU Pilkada harus menyiapkan dua draf RUU Pilkada. Pertama, draf RUU Pilkada dengan pemilihan langsung, dan kedua draf RUU Pilkada dengan pemilihan oleh DPRD. Menurut Wakil Ketua Panja RUU Pilkada Komisi II Khatibul Umam Wiranu, Timus membuat dua draf RUU Pilkada. Ini karena mekanisme pemilihan akan berpengaruh pada pengaturan lainnya, di antaranya pengaturan soal penyelenggara, tahapan, dan penanganan sengketa akan berbeda antara pilkada langsung dan pilkada oleh DPRD.
Keputusan Timus menyusun draf RUU Pilkada langsung dan RUU Pilkada oleh DPRD, juga dikritisi kalangan masyarakat sipil. DPR dianggap tidak mempunyai itikad baik untuk memajukan demokrasi. Pertentangan soal RUU Pilkada yang mengemuka akhirnya sebatas mekanisme pemilihan, pilkada langsung atau pilkada oleh DPRD. Padahal, sebenarnya banyak persoalan pilkada yang membutuhkan jalan keluar.
Mengembalikan penyelenggaraan Pilkada oleh DPRD sebagaimana yang diterapkan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto, dalam pandangan akademis Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini, merupakan awal dari kemunduran demokrasi. Pilkada oleh DPRD juga dinilai inkonstitusional, karena tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945.
Pemilihan gubernur, bupati, wali kota diatur dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. Ayat itu menyebutkan, gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan di provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis di akhir ayat diartikan Titi, secara konstitusi sebagai pemilihan langsung oleh rakyat.
Dengan pendapat tersebut, secara tersirat Titi menilai, anggota DPRD hasil pemilu legislatif langsung secara konstitusi tidak sah. Keberadaan para anggota dewan itu dianggap tidak mewakili rakyat pemilihnya, tapi partai politik yang mengusungnya. Karena itu, tidak memilliki keabsahan mewakili pemilihnya untuk memilih kepala daerah, yang kapabel dan berpotensi membangun daerah yang dipimpinnya.
PILIHAN RAKYAT
[caption id="attachment_324843" align="alignright" width="300" caption="BAPAK Reformasi Indonesia, H. Amien Rais akan berjuang maksimal mengembalikan kekuasaan DPRD dan DPR sebagai filter lolosnya koruptor dan kriminal terpilih sebagai kepala daerah."]
Sedangkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. DR. Mahfud MD mengatakan, penyelenggaraan Pilkada dalam metode langsung oleh rakyat. Demikian pula oleh DPRD merupakan aplikasi demokrasi yang sama-sama sah secara konstitusi. Pasalnya anggota DPRD merupakan wakil rakyat yang dipilih lewat pemilihan umum legislative, sehingga semua kebijakan politik yang dilakukan di Gedung Dewan harus diakui sebagai kebijakan rakyat.
Karena itu, dia mengaku sering tertawa saat membaca di media cetak dan melihat telivisi, ada akademisi, tokoh partai politik atau lainnya mengatakan, bahwa Pilkada oleh DPRD tidak konstitusional dan menghilangkan hak demokrasi rakyat. Padahal dalam ilmu pemerintahan, metode pemilihan umum atau Pilkada secara langsung oleh rakyat atau dilakukan oleh DPR merupakan proyeksi dari sikap demokrasi.
Kendati demikian, ditegaskannya, bahwa metode Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat atau tidak langsung oleh DPR, secara teknik dan fakta yang ada sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Kedua metode pemilu itu, sering kali juga membawa mudharat bagi masyarakat. Dalam pilkada langsung, seorang calon kepala daerah harus melakukan politik uang untuk membeli suara rakyat. Namun hal serupa, bukan tidak mungkin akan terjadi bila pemilihan dilakukan oleh DPRD.
"Yang penting pemerintah, DPR, dan civil society harus mampu menyelenggarakan sebuah pilkada langsung dan tidak langsung dengan perjuangan menutup sifat mudharat. Karena itu, KPK sebagai lembaga ati korupsi harus dilibatkan secara total untuk mengawasi penyelenggaraan Pilkada tersebut," kata Mahfud saat dihubungi PRO-M.
Pada kesempatan berbeda, mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Amien Rais mengakui, salahnya keputusan yang dilakukan dengan mengubah format Pilkada yang semula oleh DPR, menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Seiring perkembangan zaman, diakui, bahwa Pilkada langsung tidak membawa manfaat yang baik bagi rakyat.
"Saya sebagai Ketua MPR periode 1999-2004 dulu, mengalami disilusi (hilang kepercayaan). Mengalami keterkejutan politik yang luar biasa. Dengan pertimbangan dan harapan tidak mungkin ada politik uang," kata Amien, di Jakarta, Rabu (17/9/2014) malam.
Pertimbangan teorinya, dengan pemilihan capres dan cawapres oleh sekian ratus juta rakyat Indonesia, diyakini, sangat tidak mungkin ada seseorang membawa rupiah ratusan triliun untuk membeli suara rakyat. Namun, setelah 10 tahun berjalan, ternyata pemilihan langsung justru menimbulkan praktik politik uang secara terstruktur, sistematif dan masif. Kondisi itu berlangsung disebabkan pemilik modal yang ingin mengatur atmosfer pemerintahan melibatkan diri ke panggung politik.
"Dulu pemilik modal hanya menonton. Tapi, setelah 10 tahun reformasi berjalan, sekarang pemilik modal masuk ke politik. Dengan kekuatan media yang dimiliki, partai politik yang disponsori, seseorang yang bersedia dijadikan pejabat boneka, dan jaringan yang dibangun, mereka berambisi mengatur kebijakan negara atau daerah untuk mengatur kepentingan bisnisnya. Hal ini harus diantisipasi dan digagalkan dengan memanfaatkan kecerdasan dan kecerdikan para anggota DPRD dan DPR RI," ujarnya.
Karena itu, Amien membantah, bahwa kebijakannya mendukung Pilkada atau Pilpres tidak langsung merupakan sikap tidak konsisten sebagai Bapak Reformasi. Dengan mendukung Pilkada dan Pilpres tidak langsung, kata Amien, justru sebagai sikap bertanggung jawabnya atas kesalahan yang dilakukan. Sehingga membuat NKRI mengalami dinamika politik yang kebabalasan dalam menerjemahkan demokrasi.
"Justru saya sadar kalau tetap oleh rakyat, maka peserta Pillkada atau Pilpres yang memiliki anggaran besar yang menang. Saya harus bertanggungjawab atas kesalahan mengurangi kekuasaan MPR, DPR, dan DPRD dengan mengembalikannya sebagai yang termaktub dalam UUD 1945," katanya sembari tersenyum. (BERSAMBUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H