[caption id="attachment_139436" align="alignright" width="432" caption="KETIDAKPASTIAN. Proses hukum penananganan kebakaran KM. Kirana IX pada 28 September 2011 sekitar pukul 05.30 WIB, seakan berjalan di tempat dan penuh ketidakpastian. Menurut Koordinator Lira wilayah Tanjung Perah, Lahane Azis, karena prosedur penanganan proses hukumnya tidak sesuai dengan UU Pelayaran dan PP Kepelabuhanan."][/caption] SATU bulan lebih, kebakaran Kapal Motor (KM). Kirana IX berlangsung. Tepatnya 28 September 2011 sekitar pukul 05.30 WIB, terjadi kebakaran KMF. Kirana IX di pelabuhan Jamrud Tanjung Perak ( Gapura Surya ), Surabaya. Delapan penumpang menjadi korban tragis. Mereka kehilangan nyawanya lantaran diinjak-injak oleh penumpang lain, yang panik melihat kepulan asap merembes dari pintu palka.
Ironisnya proses hukum atas kasus kebakaran tersebut seakan berjalan ditempat. Satu-satunya hasil penyelidikan Kepolisian Tanjung Perak, Surabaya, hanyalah penetapan tersangka yang mencapai tujuh orang. Saat pengumuman pertama, 12 Oktober, disebutkan jumlah tersangka sebanyak lima orang meliputi kru kapal, operator kapal, dan oknum instansi pengawas yang bertugas di pelabuhan saat insiden kebakaran terjadi.
Sedangkan pada 17 Oktober, Polres Tanjung Perak mengumumkan penetapan nakhoda dan mualim KM Kirana IX sebagai tersangka atas terjadinya kebakaran. Nakhoda bernama Supono Widodo dan Mualim I bernama Tajudin dianggap paling bertanggung jawab atas musibah itu. Mereka juga dianggap paling bertanggung jawab atas terbakarnya truk Fuso dengan nopol B-9231-TDA itu.
Sementara hasil investigasi Tim Labfor Mabes Polri Cabang Surabaya dan Reskrim Polda Jatim menyebutkan, kebakaran Kapal Motor (KM) Kirana IX berasal dari dek kapal, bukan dari truk. Menurut Wakapolda Jatim Brigjen Pol Eddi Sumantri, kebakaran yang menewaskan delapan penumpang KM Kirana IXI ini disebabkan percikan api dari dek plafon kapal. Itu membuktikan, bahwa Kirana IX tidak laik layar.
Keputusan polisi menetapkan nakhoda dan mualim I KM. Kirana IX sebagai tersangka disesalkan pihak PT. DLU. Demikian pula kesimpulan polisi, bahwa KM. Kirana IX tidak laik layar. Meski tetap menghormati keputusan polisi, tapi PT. DLU menganggap keputusan polisi tidak tepat.
"Alasan lalai dan tidak bertanggung jawab tidak bisa dibebankan kepada nahkoda dan mualim I karena kapal masih berada di dermaga dan belum berlayar. Dasar hukumnya UU nomor 17 tahun 2008 Bab VIII yang mengatur soal keselamatan dan keamanan pelayaran," kata kuasa hukum PT DLU, Muhammad Tahir.
Dalam bab tersebut dipaparkan, bahwa sebelum ada clearance atau sebelum mendapatkan Surat Persetujuan Berlayar (SPB), kewenangan masih berada pada penyelenggara pelabuhan seperti syahbandar, otoritas pelabuhan atau polisi. Sehingga sebelum ada SPB, nakhoda belum diberikan tanggung jawab oleh Syahbandar. Dan, nakhoda memang tidak lalai karena tanggung jawab memang berada tidak pada dia.
"Saat itu nakhoda sama sekali belum menerima SPB. Belum ada peralihan wewenang dari syahbandar ke nakhoda. Jadi kalau terjadi apa-apa masih merupakan tanggung jawab penyelenggara pelabuhan," tambah Tahir.
Sedangkan Muhammad Wahyudin, salah satu kuasa hukum lainnya, mengatakan, mualim I juga tidak bisa disalahkan dengan alasan lalai. Menurut dia, yang mempunyai kewenangan terhadap muatan barang adalah syahbandar. Dalam kapasitas sebagai otoritas pelabuhan, syahbandar memiliki wewenang menurunkan sebuah truk yang kelebihan muatan atau memuat barang berbahaya. Polisi juga memiliki kewenangan saat truk yang dinilai berpotensi masalah masih berada di areal parkir dermaga untuk antre masuk kapal.
"Alasan polisi soal kapal tidak laik layar juga tak tepat. Yang berhak menentukan laik layarnya kapal adalah Dirjen Perhubungan Laut, bukan polisi. Jika Kirana IX tidak laik layar, mengapa kapal itu bisa berlayar kemana-mana," tambah Wahyudin.
LANGGAR UU
[caption id="attachment_139437" align="alignleft" width="397" caption="Truk nopol B-9231-TDA yang pada awalnya ditetapkan polisi sebagai sumber kebakaran, karena adanya tabung minyak wangi berkekuatan gas di dekat tempat duduk sopir."][/caption] Berpijak dari ketidakpastian proses hukum atas kasus kebakaran KM. Kirana IX yang berlarut-larut, Koordinator LSM Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) wilayah Tanjung Perak, Lahane Azis menilai, bahwa ada yang salah dalam penanganan proses hukumnya. Salah satunya pada alur prosedur penanganannya, yang tidak sesuai dengan undang-undang dan peraturan pemerintah yang ada di Indonesia.
Dalam persepsi pria berkumis baplang ini, senyampang penangannya sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, PP Nomor 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, dan PP Nomor 21 tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim. Azis yakin, proses hukum akan terselenggara secara mulus dan lancar.
“Ketidakpastian proses hukum ini membuat saya secara pribadi curiga, bahwa ada oknum yang bermain dalam musibah kebakaran KM. Kirana IX. Mereka mengail keuntungan pribadi dengan membelokkan aturan yang ada, sehingga proses hukum menjadi ruwet,” katanya.
Karena itu, keruwetan proses hukum itu dilaporkan pada Presiden LIRA Drs. HM. Jusuf Rizal SE, M.Si saat berkunjung ke Surabaya, pekan lalu. Dari pertemuan itu, Azis mendapat informasi, bahwa Dewan Pimpinan Pusat (DPP) LIRA merencanakan untuk menggelar reka ulangmusibah kebakaran KM. Kirana IX tersebut.
Kegiatan yang melibatkan sekitar 200 anggota LIRA itu,dikatakan Azis menirukan ucapan Jusuf Rizal, harus digelar jika proses hukum kebakaran kapal jenis Ro-rotetap saja berlangsung dalam ketidakpastian. Target gelar rekontruksi itu mengungkap penyebab dan pihak yang wajib bertanggung jawab secara hukum atas musibah kebakaran yang menelan korban jiwa 8 penumpang.
Konsep rekontruksi musibah kapal Kirana IX nanti, menurut dia, diisntruksikan Jusuf Rizal harus digelar dengan prosedur tetap (protap) hukum tentang pelayaran yang berlaku di Indonesia. Misalnya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan, PP Nomor 20 tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan, dan PP Nomor 21 tahun 2010 tentang Perlindungan Maritim.
Keputusannya menggunakan undang-undang dan PP tentang pelayaran dan kepelabuhan yang berlaku di Indonesia, tak dipungkiri, sebagai kebijakan untuk mengembalikan sesuatu yang salah kembali pada tempatnya yang benar. Pasalnya selama ini ada kesalahan prosedural dalam semua penanganan terhadap musibah yang melibatkan dunia pelayaran, kemaritiman, dan kepelabuhanan.
Karena itu, proses hukum yang tidak pasti dan berlarut-larut selalu mewarnai semua proses hukum atas musibah yang melibatkan sebuah kapal penumpang atau barang. Demikian pula yang berlangsung terhadap musibah kapal Kirana IX. Kendati musibah tersebut sudah berlangsung dua bulan silam, tapi proses hukum masih tidak pasti. (#)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H