[caption id="attachment_124663" align="alignleft" width="328" caption="TIKUS BERDASI. Indonesia kini bak telah menjadi meja perjamuan pesta, untuk para tikus berdasi yang menghalalkan segala cara untuk kepentingan diri, kelompok, partai, dan korps asalnya. "][/caption] Masyarakat Indonesia yang pernah duduk di bangku Sekolah Dasar, pasti ingat dan pernah membaca karya sastra ”Anak Perawan Di Sarang Penyamun” karya fenomenal sastrawan Sutan Takdir Alisyabana. Kisahnya sangat sederhana tentang seorang gadis yang diculik seorang perampok bernama Madesing. Pada awalnya Sayu sangat ketakutan saat hidup di sarang penyamun itu. Berhari-hari dia tidur dengan duduk. Perhitungannya dapat segera terjaga saat ada suara-suara aneh masuk ke kamar penyekapannya, bahkan suara seekor nyamuk yang mengaung-ngaung jatuh ke tanah akibat kenyang menyedot darah para penyamun bisa didengar Sayu.
Ketakutan Sayu hidup di sarang penyamun hanya satu. Takut diperkosa atau mengalami pelecehan seksual dari para penyamun bawahan Madesing. Sayu ketakutan setengah mati, karena sorot mata para penyamun itu yang setajam samurai dan jakun terus naik turun melihat sosok rupawan Sayu denga tubuh bak peragawati. Selan itu,keringat Sayu yang selalu mengeluarkan aroma wangi pembangkit ”kejantanan”.
Mengunyah novel sastra almarhum Sutan Takdir Alisyabana pada saat ini, secara implisit akan membawa pembacanya memiliki perenungan bahwa ”Anak Perawan Di Sarang Penyamun” tidak sekadar sebuah karya sastra. Namun sebuah novel tentang proses perenungan ke masa depan yang sangat tajam. Bagaimana tidak. Karakter tokoh yang ada dalam novel yang diterbitkan tahun 1950-an itu, ternyata memiliki persamaan dengan karakter tokoh-tokoh yang hidup di Indonesia pada era reformasi ini.
Ada sosok Sayu dan keluarganya yang memiliki karakterlugu dan sederhana mayoritas masyarakat Indonesia. Kehidupan mereka yang selalu menjadi korban kedzoliman penguasa, wakil rakyat di kursi DPR/ DPRD, pengusaha, Black LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang selalu memanfaatkan kesusahan dan penderitaan rakyat untuk kepentingan dompet dan tumpukan harta mereka, serta komunitas Black Journalist (wartawan hitam) yang memanfaatkan peristiwa dlam masyarakat untuk melakukan pemerasan dengan kedok melakukan konfirmasi berita.
Munculnya sosok Madesing yang bijaksana dan tahu tentang melanggar dan taat hukum, tapi dia berpura-pura tidak tahu lantaran hidup di komunitas penyamun yang haus kekayaan, kekuasaan, dan kepuasan. Ada sosok Sanip dengan karakter ”manusia perahu” tanpa prinsip, yang sepak terjangnya hanya demi kepentingan pribadi. Juga, masih banyak karakter-karakter lain yang saat ini hidup di Indonesia.
***
Deret karakter dalam ”Anak Perawan Di Sarang Penyamun” itu kini mengambang di panggung politik dan hukum Tanah Air yang dimarakkan oleh ulah para koruptor, baik dari kalangan birokrat, praktisi hukum, politikus, kalangan swasta, hingga anggota legislatif. Mereka menggunakan berbagai upaya, cara dan jaringan untuk selamat dari jerat hukum, meski mereka telah mengerogoti uang rakyat.
Rekening gemuk perwira tinggi Polri, misalnya. Hingga saat ini, para penegak hukum dan petinggi negara tak ada yang berani mengungkapnya. Ini bukti solidnya jaringan pertemanan atau korps yang lebih besar dari kongkalingkong penggelapan dana talangan Bank Century.
Tak hanya kekuatan jaringan pertemanan saja yang mengamankan para koruptor tersebut. Kepiawaian bermain sinetron pun juga menjadi andalan para pelanggar hukum ini. Berakting lupa ingatan dan sakit merupakan perlindungan paling aman dari bidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Demikian mujarabnya jurus lupa ingatan itu, sehingga ada tersangka yang nekat mengklaim lupa ingatan permanen dan bisa keliling dunia dengan menertawakan sistem hukum di Indonesia yang ”bloon”. Tersangka Nunun Nurbaity dalam kasus suap kepada anggota DPR RI dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda Gultom, misalnya.
Bergaya "sakit" juga ditunjukkan Jaksa Cyrus Sinaga. Sang jaksa yang ”gagah” perkasa saat menuntut ”skenario” penghukuman terhadap bekas koleganya di Kejaksaan Agung, Antasari Azhar. Mantan Ketua KPK itu dijadikan aktor utama pembunuhan berencana terhadap Nasrudin, dengan vonis sangat berat (mengajukan PK), eh mendadak sakit tatkala berbalik hukum menjeratnya.
Dalam kasus Gayus Tambunan-lah, Cyrus kena batunya. Sang Jaksa langsung sakit. Tubuhnya terlihat kurus dan wajahnya sayu, hilang-lah raut dan tindakan perkasa yang selama ini ia tunjukkan terhadap para pesakitan di forum pengadilan.
Jurus menghindari tebasan pedang KPK lain adalah minggat ke luar negeri, seperti yang dilakukan para koruptor. Kepiawaian tersangka Djoko Tjandra. Dia berhasil kabur ke Papua Nugini, sehari sebelum surat pencekalan dikeluarkan. Demikian pula yang dilakukan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Moh. Nazaruddin. Dia berhasil terbang ke Singapura sehari sebelum SK pencekalan diterbitkan Menkumham Patrialis Akbar, meski nasib pria yang mengaku “anjing partai” ini akhirnya tertangkap di Colombia, Minggu (07/08/2011) waktu setempat.
Namun dalam dua kasus minggat sehari sebelum SK pencekalan terbit itu ada bedanya. Kalau Nazaruddin yang merasa dikorbankan, dari ”seberang sana” sempat cuap-cuap untuk mengobrak-abrik kelakuan para politikus (khususnya Partai Demokrat), birokrat, hingga oknum KPK. Bahkan pria keturunan Pakistan itu sempat melakukan pencatatan testimoni hukumnya di Singapura, yang disaksikan dan disahkan seorang pengacara berkebangsaan Inggris. Sebaliknya Si Djoko Tjandra menghilang entah ke mana. Tak ada lembaga penegak hukum di Indonesia ini yang berupaya mengejarnya, seperti yang dilakukan terhadap Nazaruddin.
Sedangkan sosok-sosok yang disebut dalam nyanyian Nazaruddin, seperti biasanya mereka menyemprotkan hujan bantahan atas lagu ”Uang Suap” Si Udin itu. Tidak hanya itu, ada juga diantara nama yang disebutkan itu melaporkan balik dengan pasal pencemaran nama baik. Padahal, dalam atmosfer hukum yang ada di Indonesia sudah difatwakan oleh Mahkamah Agung (MA), bahwa keputusan kasus atau masalah pokok diselesaikan dahulu, baru masalah laporan pencemaran nama baik menyusul.
Panggung lainnya terkait suap dan korupsi, pemalsuan keputusan MK (Mahkamah Konstitusi), eh penyakit lupa menjalar kepada pelaku yang diduga terlibat, berupaya terus "ngeles" dengan berkata "jantan" seolah nggak bersalah, "Saya siap dikonfrontasi".
***
Karena itu, bukan sesuatu yang berlebihan jika Prof. Jeffry Winters, ahli Indonesia dari Notrhtwestern University AS, mengatakan bahwa salah satu kegagalan utama gerakan reformasi 1998 di Indonesia adalah tidak disiapkannya sistem hukum yang kuat. Sehingga Indonesia menjadi suatu negara yang anomali.
Ada demokrasi tapi tanpa hukum, kata Wintres. Demokrasinya tumbuh, tapi hukumnya tunduk di bawah kendali mereka yangkuat jabatan dan uangnya.
Dalam diskusi perubahan bertema 'Pengadilan Hosni Mubarak: Pelajaran bagi Indonesia' yang diselenggarakan Rumah Perubahan, di Duta Merlin, Jakarta, Selasa (9/8/2011), Wintres menegaskan, secara prosedural, demokrasi di Indonesia sudah cukup bagus. Namun secara substansial, masih harus banyak diperbaiki. Sistem demokrasi yang sekarang dikuasai para maling. Hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa naik. Setelah berkuasa, mereka kembali maling untuk mengembalikan sekaligus meraup untung dari investasi yang dikeluarkan. Yang terjadi seperti lingkaran setan.
"Pemilihan presiden secara langsung sudah ok. Tapi karena calon harus dari partai, maka hanya para maling saja yang bisa tampil. Untuk tampil harus punya uang. Jadi negeri ini sudah dikuasai para maling. Rakyat harus bersatu mengubah sistem demokrasi maling seperti ini," kata Winters.
Sedangkan ekonom Rizal Ramli memperingatkan para pemimpin bangsa untuk belajar dari kasus mantan Presiden Mesir, Hosni Mubarak. Betapa pun kuatnya penguasa, jika tidak amanah, maka dia akan digulingkan rakyat. Rakyat yang muak menghendaki perubahan.
Rizal memaparkan, perubahan tidak mungkin diharapkan datang dari dalam sistem. Pasalnya, banyak dari mereka yang sudah menjadi bagian dari masalah. Perubahan juga tidak bisa diharapkan dari pemerintah, karena mereka juga terbelit dengan banyak sekali masalah.
Perubahan harus dimotori para mahasiswa, pemuda, buruh dan kalangan intelektual. Satu-satunya jalan keluar dari kemandekan ini, adalah gerakan rakyat. Jadi, people power adalah suatu keniscayaan.
"Saya keliling ke banyak daerah. Saya menemukan rakyat sudah muak. Seorang sopir taksi curhat kepada saya, selama 16 tahun membawa taksi, dia tidak pernah merasa hidup sesulit sekarang. Harga barang makanan mahal, biaya pendidikan dan kesehatan mahal. Dia betul-betul berharap segera terjadiperubahan secepatnya," kata Rizal.
Namun kritikan tajam dari Jefry Wintres dan Rizal Ramli itu pastinya bak sekilo garam yang dilempar ke Samudera Indonesia. Tak akan punya arti apa pun. Karena memang Indonesia kini telah menjadi ”Negeri Para Maling” yang dipimpin oleh pejabat berkarakter maling, dijaga ribuan aparat hukum yang berkarakter maling, diawasi ribuan legislatifdan ratusan LSM yang mayoritas berkatakter maling, juga ditulis dan dicerca oleh puluhan ribu wartawan yang mayoritas juga berkarater maling. Sehingga bukan sebuah kemuskilan jika lelakon hidup di Indonesia ini diangkat sastrawan Butet Kertarajasa dalam Teater “Negeri Para Maling”.
Karena itu, yang bisa dilakukan para rakyat Indonesia (maaf. Khususnya yang beragama Islam, red.) hanya bisa berdoa, membacakan Yasing, dan menggelar Istigosah Kubro untuk memohon pada Allah SWT agar dilakukan sebuah perubahan revolusioner terhadap sistem pemerintah Indonesia. Dan, bulan Ramadhan yang penuh berkah ini merupakan waktu paling tepat untuk menyerahkan sistem keadilan pada Allah SWT.
(pvardhana88@gmail.com)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H