Mohon tunggu...
Prima Sp Vardhana
Prima Sp Vardhana Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger yang Pecandu Film dan Buku

Seorang manusia biasa yang belajar menjadi sesuatu bermanfaat, buat manusia lain dan NKRI

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

KONI Geser Konsep Penyelenggaraan PON

12 September 2011   13:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:01 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_129664" align="alignleft" width="470" caption="MENGGEMBLENG RAGA. Pengkot Porlasi (Persatuan Olahraga Layar Seluruh Indonesia) Surabaya habis-habisan menggembleng raga dan teknik para atletnya. Kebijakan ini demi mempertahankan emas layar yang direbutnya dalam PON 2008 di Kaltim untuk Kontingen Jatim. (Dok. Porlasi Surabaya)"][/caption] KONSEP penyelenggaaan Pekan Olahraga Nasional (PON) telah mengalami pergeseran dari tujuan awal penyelenggaraan pesta olahraga multi-even tersebut. Pesta olahraga empat tahunan itu tak lagi menjadi arena seleksi pemain potensial untuk pembentukan kontingen merah putih, yang ditargetkan turun dalam pesta olahraga SEA Games, Asian Games dan Olimpiade pada dua hingga empat tahun kemudian. Namun telh bergeser menjadi arena olahraga persaingan daerah memperebutkan citra daerah. "Bukti terjadinya pergeseran konsep penyelenggaraab PON pada saat ini, dapat dilihat dari cabang olahraga (cabor) yang dipertandingkan dalam PON 2012 mendatang dan beberapa PON sebelumnya. Mayoritas cabor yang dipertandingkan bukan cabor yang dipertandingkan di pesta olahraga internasonal," kata pengamat olahraga, Prof. Suryanto saat ditemui di rumahnya, di Sidoarjo. Pergeseran konsep penyelenggaraan PON itu, menurut Guru Besar di Universitas Airlangga, Surabaya, ini, perubahan ini seharusnya disadari oleh Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat sebagai induk organisasi pembinaan olahraga nasional. Sehingga segera mengambil kebijakan untuk mengembalikan kitho PON pada konsep awalnya, sebagai arena seleksi pemain potensial untuk pembentukan kontingen merah putih, yang ditargetkan turun dalam pesta olahraga SEA Games, Asian Games dan Olimpiade pada dua hingga empat tahun kemudian. PON saat pertama kali digelar pada tahn 1941 hingga PON II, dikatakan, konsepnya merupakan arena untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Atmosfer penyelenggaaan lebih bernuansa politis. Ini karena penyeleggaraan dua PON tersebut berlangsung di masa-masa perjuangan, sehingga para pejuang kemerdekaan dan Pemerintah Indonesia memanfaatkan segala strategi untuk mempersatukan bangsa Indonesia. Salah satunya dengan memanfaatkan arena PON itu sebagai wadah pemersatu. Konsep penyelenggaraan PON pertama kali mengalami perubahan, saat Presiden RI I Ir. Soekarno memanggil lembaga olahraga terkait penyelenggaraan PON III pada tahun 1951, di Istana Negara Jakarta. Saat itu, Proklamator Kemerdekaan RI itu menegaskan, bahwa sejak PON III konsep penyelenggaraannya wajib diubah. PON tak lagi sekadar sebagai wadah pemersatu bangsa, tapi dikembangkan sebagai arena penemuan atlet potensial untuk berebut prestasi dalam pesta olahraga di level internasional. Karena itu, cabor yang dipertandingkan diwajibkan bertolok ukur pada cabor Olimpiade. Targetnya agar atlet yang berprestasi di PON dapat dimanfaatkan Indonesia, untuk berebut prestasi dalam pesta olahraga multi-even internasional dan kejuaraan internasional, sehingga citra bangsa dan negara Indonesia dapat dikibarkan di peta olahraga Internasional. Target sasaran penyelenggaraan PON, ditambahkan, kian ditegaskan saat Presiden RI II H. Soeharto membuka PON VII/ 1969 di Stadion Gelora 10 Nopember, Surabaya. Saat itu , Bapak Pembangunan Indonesia itu menegaskan dan mewajibkan, bahwa KONI Pusat, para Pengurus Besar/ Pusat Cabor dan KONI Provinsi berkomitmen agar penyelenggaraan PON yang dibiayai APBN dan APBD itu bukan sebagai arena persaingan antar daerah. Namun sebagai wadah untuk membangun sebuah kontigen merah putih yang tangguh dan pilih tanding dalam peta persaingan olahraga di arena SEA Games, Asian Games dan Olimpiade. Karena itu, dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto itu, pemerintah diwajibkan untuk melibatkan diri dalam penyelenggaraan PON. Diawali dengan membentuk sebuah tim yang berfungsi sebagai pengarah dan pengawas sepak terjang KONI Pusat dan Panitia Besar (PB) PON VII untuk menetapkan cabor yang wajib dipertandingkan dalam PON 1969. Dengan adanya tim pengarah dari pemerintah itu, maka KONI Pusat dan PB PON bersikap sportif. Cabor yang dipertandingkan pun lebih berwawasan nasional. Itu dibuktikan dengan predikat juara umum PON Surabaya yang tidak diboyong oleh Kontingen Jawa Timur. "Konsep penyelenggaraan PON berwawasan nasional untuk bersaing di tingkat internasional itu, ternyata tak mampu dipertahankan KONI Pusat. Konsepnya berubah daerahisme. Berpihak pada daerah tuan rumah dan daerah-daerah yang dekat dengan pusat pemerintahan," ujar Suryanto dengan senyum sinis.

CABOR DAERAH

[caption id="attachment_129662" align="alignright" width="300" caption="CABOR DAERAHISME. Cabamg olahraga (Cabor) beladiri Tarung Derajat bukan cabor yang dipertandingkan dalam Olimpiade, Asian Games, dan SEA Games. Cabor asal Jabar ini lebih bersifat daeraisme, sehingga lebih pas jika dipertandingkan dalam PON Mini atau PON umumnya, tapi medalinya tidak masuk dalam hitungan penentu peringkat juara umum. (foto dok. Bola)"][/caption] Pembuktian yang dilakukan Suryanto sangatlah sederhana. Pria berkacamata ini mencontohkan mayoritas cabor yang dipertandingkan dalam PON. Dalam penyelenggaraan PON XVI dan XVII, misalnya. Pada dua PON tersebut ada beberapa cabor yang tidak dipertandingkan dalam SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Namun cabor tersebut dipaksakan dipertandingkan, hanya sekadar untuk KONI Pusat untuk memuaskan ambisi dan egoisme PB Cabor. Selain itu, untuk memberi peluang daerah tuan rumah penyelenggara PON dan daerah tertentu, untuk menambah perbendahaaran medali yang direbutnya. Diantara cabor tidak berwawasan nasional, Suryanto mencontohkan cabor balap motor dan tarung derajat. Dua cabor itu secara faktual dipaksakan dipertandingkan, karena kedua PB Cabor tersebut meminta dengan alasan jumlah pengurus provinsi (Pengprov) cabor mereka memenuhi syarat minimal dipertandingkan dalam PON. Jumlah minimal dipertandingkan dalam PON sebanyak 8 pengprov. Sebagai induk organisasi pembinaan olahraga di Indonesia, menrut dia, seharusnya KONI Pusat tidak serta merta menyetujui gugatan PB Cabor dengan alasan jumlah pengprovnya sudah memenuhi standar dipertandingkan dalam PON. Namun harus mempertimbangkan sistem pembinaan olahraga nasional untuk berebut prestasi di level internasional. Misalnya, mempertandingkan cabor-cabor non SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade itu dalam PON Mini. Atau dipertandingkan dalam PON, tapi perolehan medalinya tidak dihitung sebgi perolehan medali penentu peringkat juara umum. Perolehan medali cabor non Olimpic tersebut dihitung sendiri bersama cabor usulan daerah. Ironisnya dalam kondisi prestasi Indoensia di arena SEA Games dan Asian Games yang terus merosot. Menurut Suryanto, KONI Pusat justru kian mabok dan mengulangi kekonyolan dalam penyelenggaraan PON XVIII tahun 2012. Menyetujui usulan PB PON 2012 Riau dan permohonan beberapa PB Cabor dalam memilih cabor dan nomor yang akan dipertandingkan. Kebijakan itu dilakukan induk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) olahraga itu tanpa mempertimbangkan efek destruktif (destraction/ pembinasaan), terhadap sistem pembinaan atlet daerah sebagai aset nasional untuk bersaing dalam SEA Games, Asian Games, dan kejuaraan internasional. Tak pelak lagi nomor cabor yang dipertandingkan dalam PON Riau sebagaimana tersurat dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 73 Tahun 2010. Dalam SK tersebut tercatat cabor yang dipertandingkan sebanyak 39 cabor dan 555 nomor cabor. Namun nomor cabor yang dipertandingkan mayoritas bersifat daerahisme. Nomor cabor pesanan tuan rumah Riau, DKI Jaya, dan Jabar yang tidak dipertandingkan dalam SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Kebodohan kedua kembali dilakukan KONI Pusat dengan menerbitkan SK Nomor 35 tahun 2011. Dengan kembali menerima usulan tuan rumah Riau, DKI Jaya, dan Jabar, sebanyak 43 nomor cabor baru dari 17 cabor ditambahkn untuk dipertandingkan dalam PON 2012. Ironisnya 43 nomor cabor baru itu bukan nomor cabor yang dikepras saat menyususn SK Nomor 73, meski nomor-nomor cabor itu dipertandingkan dalam SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade. Nomor cabor baru yang dipertandingkan lebih bersifat daerahismes, dengan tujuan memberi kesempatan Riau, DKI Jaya, dan Jabar untuk menambah pebendaharaan medalinya yang sekaligs menghadang Jatim untuk mempertahankan predikat juara umum, yang diboyong dari arena PON XVII/2008 di Kaltim. "Berdasar bukti dipertandingkannya 43 nomor cabor baru dalam PON 2012 yang bernuansa destruktif terhadap sistem pembinaan atlet daerah sebagai aset nasional untuk bersaing dalam SEA Games, Asian Games, dan kejuaraan internasional lainnya, maka Menpora dan Pemerintah RI wajib turun tangan mengembalikan konsep PON sebagai arena penemuan atlet potensial untuk berebut prestasi dalam pesta olahraga di level internasional," katanya mengunci pembicaraan.(#)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun