Menjadi guru adalah profesi yang benar-benar saya hindari sejak usia menginjak remaja. Bagi saya menjadi guru bukanlah profesi yang mengasyikkan atau “ gaul” pada saat itu. Keinginan terkuat pada masa sekolah dan kuliah adalah cita-cita bergulat di dunia jurnalistik sebagai seorang reporter atau di radio sebagai seorang penyiar. Entahlah, dunia jurnalistik atau broadcasting adalah dunia yang tampak menarik dan menyenangkan bagi saya. Namun, mungkin keberuntungan belum berpihak pada saya meski sempat beberapa kali mengikuti seleksi lowongan menjadi penyiar dan wartawan. Dari radio hingga sebuah surat kabar terkenal di Surabaya pernah saya datangi tetapi hasil yang mengecewakan saya terima. Bahkan,di sebuah surat kabar terkenal di Surabaya, saya sempat masuk tahap wawancara dan berhadapan dengan beberapa wartawan senior , seperti Kurniawan Muhammad dan seorang putra dari bapak Dahlan Iskan ( pemimpin sebuah surat kabar terkenal di Surabaya) yang saya lupa namanya. Namun lagi-lagi saya gagal.
Kekecewaan saya sedikit terobati kala saya bisa bergabung menjadi penyiar freelance (paruh waktu) di radio RRI Surabaya pada masa kuliah hingga masih menjadi pengangguran selepas kuliah. Pengalaman berharga ini berawal saat beberapa teman-teman kuliah saya bergabung menjadi penyiar freelance dalam acara talkshow dalam bahasa Inggris. Mereka sering mengajak saya untuk ikut menjadi tamu dalam program tersebut. Hingga suatu hari ada seorang teman yang mengundurkan diri karena harus mengikuti suaminya tinggal di negara Putri Diana alias Inggris, maka saya pun ketiban tawaran untuk menggantikannya. Tanpa seleksi yang ruwet, akhirnya setiap Kamis sore suara saya mengudara di kota Surabaya.
Perasaan bangga tentu membahana dalam dada karena suara saya bisa mengudara. Akan tetapi, saya menyadari menjadi penyiar freelance tidaklah dapat menjamin kelangsungan masa depan saya.Entahlah, waktu itu belum punya cukup nyali juga untuk melamar di radio RRI Surabaya sebagai karyawan tetap meski tidak menjadi penyiar. Maka, saya mulai mengubah pemikiran saya sesuai gelar sarjana pendidikan yang saya miliki, yaitu menjadi guru. Hingga suatu hari saya membaca sebuah lowongan menjadi guru di sebuah sekolah swasta milik perusahaan tambang batu bara.
Dengan perasaan coba-coba, saya kumpulkan semua dokumen yang menajadi syarat untuk mengajukan lamaran. Tepat di bulan Juli 2004 bersama beberapa teman yang sudah dinyatakan diterima sebagai guru,saya bertolak ke kota Sangatta. Pada saat itu pula saya pertama kali menikamati indahnya langit dan awan biru dari dalam burung besi
PENGALAMAN PERDANA MENJADI GURU
Dag…dig…dug……perasaan hati saya ketika pertama kali menginjakkan kaki ini di sebuah sekolah swasta yang telah menerima saya menjadi seorang guru. Melihat berbagai ruangan di sekolah khususnya kelas, saya masih merasa tidak yakin bisa menjadi guru yang harus beramah tamah dengan anak dan penuh basa basi. Huuuufftt……benar-benar bakal membosankan dan menegangkan, itulah sekilas gambaran hati ini.
Pada 24 Juli 2004, tibalah juga hari yang menegangkan buat saya. Apakah saya mampu menjadi guru? Langkah penuh tanya terus menghinggapi perjalanan saya menuju ke sebuah kelas yang telah diamanahkan kepada saya sebagai wali kelas II C. Degup jantung semakin cepat kala saya memasuki kelas. Ya ampun….saya harus berhadapan dengan 32 anak, masih kelas II pula. Berarti saya harus bisa menyanyi, menghibur, dan membuat mereka tidak menangis. Oooohhh, tidaaaaaakk!!. Benar juga dugaan saya, tingkah pola dan celoteh mereka semakin parah. Ada yang berlari ke sana ke mari, ada yang menangis…benar-benar kacau kelas saya pada hari pertama itu.Saya coba menenangkan diri dan menenangkan mereka. Tapi sia-sia saja, suara saya tak ubahnya bagai angin lalu. Saya coba sedikit meninggikan suara, tapi masih saja kalah dengan keriuh rendahan celoteh mereka. Belum lagi di luar kelas, ibu-ibu orang tua murid yang sedang mengamati anak-anak mereka di kelas,seolah sedang mengawasi saya. Kontan saja, peluh sebutir jagung terus berjatuhan di sekujur tubuh. Perasaan tak ubahnya bagai permen nano-nano yang rasanya manis, asam, dan asin. Begitu pula hati ini yang terasa marah melihat tingkah mereka, malu seolah diawasi ibu-ibu dan takut dikatakan sebagai guru yang gagal.
Memang dengan segenap kerendahan hati ini, saya akui kalau telah gatot alias gagal total di hari pertama mengajar di sekolah SD YPPSB 2, Apalagi selama ini saya tidak punya pengalaman dalam mengajar di sekolah formal. Namun, saya tidak kenal menyerah. Kegagalan adalah sebuah pelajaran berharga dan hanyalah sebuah titik noda yang akan segera dibasuh dengan kisah pada hari-hari berikutnya.
KUTEMUKAN CINTA DI DUNIAMU
Learning by doing itu kata yang tepat bagi saya dalam menjalani hari-hari berikutnya dengan profesi sebagai guru. “Miss Prilli”,panggilan baru kepada saya dari anak-anak didik. Karena saya adalah seorang yang pembelajar dan pantang menyerah, maka “kehancuran”dalam mengatur kelas di hari pertama menjadi cambuk untuk memperbaikinya.
Dunia pendidikan memang tak terlepas dari dunia anak-anak, apalagi saya mengajar di kelas 2 sekolah dasar. Belajar memahami perilaku, ungkapan anak-anak itu menjadi makanan sehari-hari. Tidak bisa memahami dunia anak-anak itulah, salah satu alasan sebelumnya saya tidak mau bercita-cita menjadi guru. Namun, sejak saya diterima sebagai seorang guru di SD YPPSB 2,mau tidak mau hal tersebut menjadi modal dasar pula dalam memasuki dunia pendidikan.
Sebelum memasuki dunia pendidikan, prinsip kehidupan saya masih tergolong sangat biasa. Namun, dunia pendidkan membuat saya mengubah pemahaman saya tentang arti hidup ini, khususnya tentang anak-anak.
Waktu terus bergulir, dan waktu serta pengalaman tersebut semakin mendekatkan saya pada dunia anak-anak. Mungkin bisa dikatakan kalau saya memang mulai jatuh hati pada anak-anak. Saya terkesima akan celoteh mereka yang polos, jujur, dan berani.
Pengalaman-pengalaman berikutnya dalam mengajar membuat saya semakin tahu bagaimana menghadapi anak-anak. Selain belajar dari pengalaman, tentu saya juga belajar dari teman-teman senior tentang class management. Bahkan, pihak yayasan tempat saya mengajar juga beberapa kali mendatangkan tenaga ahli atau praktisi dunia anak dan pendidikan. Dari seorang motivator pula, saya menjadi tahu bagaimana berkomunikasi dengan anak-anak dan menghargai mereka sebagai seorang manusia, tidak hanya label “anak-anak”. Contohnya saja, ketika kita berbicara dengan anak-anak yang usia mereka sekitar 6 hingga 10 tahun yang memiliki tinggi badan jauh lebih pendek dari guru mereka, menurut sang motivator, seorang dewasa haruslah membungkukkan badan agar kontak mata kita sejajar dengan anak-anak tersebut. Dengan demikian, maka anak-anak akan merasa dihargai dan diperhatikan oleh guru mereka. Selain itu, hal menarik yang saya terapkan juga pada anak-anak didik saya adalah memberikan instruksi dalam bahasa yang positif, dan menghindari penggunaan kata “jangan,tidak, dan dilarang”. Semua ilmu-ilmu tersebut baik yang berupa pengalaman sendiri atau dari orang lain serta dari seorang ahli dan praktisi tentu menjadikan saya untuk terpacu menjadi lebih baik, di mata mereka, tentunya.
Bekerja sebagai guru bagi saya adalah sebuah pekerjaan di bidang jasa dan pelayanan. Anak-anak didiklah yang memakai jasa saya secara langsung. Oleh sebab itu, saya berupaya agar mereka bisa nyaman belajar dengan saya. Saya juga selalu menempatkan posisi saya bukan hanya sebagai guru tetapi sebagai kawan bagi mereka. Hal tiu saya lakukan agar mereka tidak segan-segan dalam bertanya pada saya jika menghadapi kesulitan belajar mereka atau bahkan tentang masalah pribadi mereka.. Ternyata apa yang saya terapkan alhamdulillah berhasil. Dengan prinsip guru adalah teman baik di dalam ataupun di luar kelas menjadikan saya lebih dekat dengan anak-anak. Begitu pun anak-anak tidak segan atau takut untuk bertanya dan bercerita segala hal. Sejak saat itu saya bisa dengan leluasa bersahabat dengan anak-anak didik saya baik anak-anak SD maupun SMP. Kebetulan di lingkungan saya mengajar terdapat jenjang sekolah dari TK hingga SMP.
Berbagai sifat dan perilaku anak-anak pun telah saya temui. Dari seorang anak pemberani, penakut, belum lancar membaca hingga anak-anak yang berkebutuhan khusus, misalnya anak autis. Dari merekalah saya banyak belajar bagaimana bersikap yang tepat pada orang lain dalam kondisi dan situasi yang berbeda.
Anak, bagi saya adalah sumber ilmu baru, tempat untuk belajar. Melihat dunia teknologi informasi yang begitu cepat berkembang, tak pelak membuat kita pun harus banyak mengetahuinya agar bisa juga mengajarkan pada anak-anak. Namun, terkadang saya pun merasa ketinggalan dengan kemampuan mereka dalam berinteraksi di dunia maya. Dari siswa-siswi jugalah saya tahu bagaimana cara mengubah tampilan layar di jejaring situs soaial Friendster, saya pun juga menjadi tahu bagaimana memasukkan lagu kesukaan kita dalam account Friendster .Sebelumnya, pengetahuan saya tetang Friednster sangatlah terbatas.Dan, saya pun tak pernah malu atau gengsi bertanya pada anak-anak didik saya tentang segala hal. Justru, sebaliknya saya bangga dan kagum pada anak-anak didik saya tersebut
Ada kepuasan dan bahagia saat saya bisa belajar bersama mereka. Sebagai seorang pendidik dan pengajar, saya pasti akan merasa puas dan bangga pada anak-anak murid saya jika mereka bisa memahami ilmu yang saya ajarkan, meskipun kemampuan setiap anak berbeda-beda dalam menyerap ilmu tersebut. Tetapi itulah tantangan serta pelajaran berharga buat saya. Menjadi guru memang tidaklah mudah,tapi tidak sulit juga jika kita mengerjakan dengan hati dan demi anak-anak.
Dunia anak-anak memang sangat menyenangkan. Kepolosan mereka dalam mengungkapkan sebuah hal yang kadang-kadang membuat saya tertawa geli. Begitu beraninya mereka mengungkapkannya ,tanpa tahu benar dan salahnya.Lucu, kritis adalah hal-hal yang ada pada mereka dan membuat saya jatuh cinta.
SEPUCUK SURAT DARI CANBERRA
Kedekatan saya dengan murid saya ternyata membawa keharuan bagi saya dan sekaligus kebahagiaan sebagai seorang guru yang diingat dan dihargai oleh mantan muridnya.
Amanda, sosok murid yang membawa saya dalam keharuan sebagai seorang guru. Saya mengenal Amanda sebagai seorang gadis mungil,cantik, dan cerdas kala dia masih di bangku sekolah dasar kelas VI pada tahun 2004, tahun pertama saya bertugas di yayasan tersebut. Sebenarnya saya tidak pernah mengajar dia, sebab saat itu saya mengajar di kelas II. Namun, ada sebuah kegiatan ekskul di sekolah yang melibatkan saya dan Amanda.
Bagi saya Amanda adalah sosok anak yang ramah dan sopan terhadap gurunya.Dan, komunikasi yang kami jalin pun tetap berlanjut hingga dia duduk di bangku SMP kelas 2 meski tak sesering saat dia masih di SD. Hingga suatu ketika, saya mendengar kabar kalau Amanda Paramita Sarosa hendak mengikuti tugas orang tuanya ke Australia, tepatnya di kota Canberra. Jujur, saat itu saya merasa sedih mendengar berita kepergiannya ke kota Canberra. Berarti tidak akan berjumpa lagi dan kontak langsung dengan Amanda.
Pertemuan terakhir pun saya rencanakan bersama Amanda. Di sebuah tempat makan yang luas, saya dan bersama seorang teman Amanda datang ke tempat makan tersebut. Kami bercengkerama bertiga bersama dan merupakan pertemuan terakhir saya dengan Amanda. Selamat jalan ,Amanda…….I wish you can enjoy your life in Canberra.
Selanjutnya, saya sering bertemu Amanda di dunia maya melalui situs-situs jejaring sosial yang saat ini memang sedang meramaikan dunia internet baik melalui kontak di Yahoo Messenger, Facebook atau Friendster. Namun, mungkin karena kesibukan kami masing-masing ,kami pun mulai jarang berkomunikasi, hanya sesekali menyapa namun tidak terlibat pembicaraan yang lama. Selain dari situs-situs jejaring sosial, saya mendengar kabar Amanda juga dari seorang teman saya yang juga merupakan teman kerja orang tua Amanda.
Tiba-tiba di suatu senja, saya bertemu dengan teman ayahnya tersebut.Dia membawa kabar bahwa ayah Amanda sedang bertugas di Sangata walau hanya beberapa minggu saja. Dan, yang lebih membuat saya kaget, teman tersebut membawakan sebuah bingkisan kecil dari Amanda. Dengan perasaan senang ,saya bawa pulang bingkisan tersebut yang saya yakin isinya surat berisi cerita menarik kehidupan Manda di Canberra. Perlahan –lahan saya membuka bingkisan kecil tersebut, benar isinya adalah sebuah surat yang ditulis tangan oleh Amanda.Segera saya membaca surat Amanda tersebut yang dia tulis dalam bahasa Inggris.
Dear Miss Prilli,
Hi Miss, how are you?
I know it’s gonna be ages after I wrote it when you got it coz my dad had to travel around to other places, then finally come to Sangata.Well, I went to Sydney and I thought I should buy something for you so we went to this place. They had everything. Well, everything in things for oleh-oleh and all of those stuffs. Yeah, I got this pencilcase . So you can bring it to school and teach and at the same time remember bout me.
I am looking forward to come back to Sangata and meet all of you. So wish me good luck, so I can get a good job (and, of course good money) and help my parents save more money to come back Indonesia and Sangatta, apparently..he..he..
I don’t know what else to talk about, but obviously I really…really…really miss you/. I don’t have any close teacher like you here, a teacher that’s cool like you eventhough Ms. Gemtsen is nice and we talk about lots of stuff, still…she’s not as cool as you,Miss, …he..he.
Well , c you,miss
Wait till I come,ok…he..he
Love,
Amanda
( Canberra , 14 July,2008 at 7.14 pm.)
Tak terasa butiran air mata meleleh di pipi saya kala selesai membaca surat dari Amanda.Tak mengira jika dia yang jauh di negeri orang dan pasti bertemu banyak guru dan teman baru,ternyata masih mengingat dan merindukan saya sebagai mantan gurunya,bahkan ada kalimat yang menyatakan bahwa saya masih lebih menyenangkan dari seorang Ibu Gemtsen, gurunya di Canberra. Saya hanya berucap dalam hati, thanks a bunch,Dear Amanda, for loving and missing me, girl…..
Pengalaman ini pula yang semakin menguatkan saya akan profesi saya sebagai seorang guru. Tentu, hal tersebut bisa memacu saya untuk menjadi seorang guru yang asyik, gaul dan nyaman bagi siswa-siswi saya dalam belajar dan berkomunikasi dengan saya, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Saya berharap menjadi guru yang bisa memeberikan suatu pengalaman belajar dan pengalaman hidup yang berharga dalam kehidupan kelak siswa-siswi saya. Selain itu, saya juga berkeinginan menjadi sosok guru yang bisa memberikan sikap dan perilaku yang komitmen dan konsisten dalam keteladanan,karena idealnya seorang guru itu tidak hanya menyuruh dan berbicara tapi juga bisa bersikap seperti apa yang dikatakan.
Kini, memang telah saya temukan ‘guru’ dalam diri saya. Kini, saya telah temukan kecintaan saya pada anak-anak dalam diri saya.Now, I realize that TEACHER IN ME
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI