Mohon tunggu...
PRIHATININGSIH PRIHATININGSIH
PRIHATININGSIH PRIHATININGSIH Mohon Tunggu... Guru - Kepala Sekolah

Membaca buku fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ibuku, Surgaku

22 Januari 2025   12:57 Diperbarui: 22 Januari 2025   12:57 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bukan, Bu. Ini Arul waktu kecil"

"Wah, hebat kamu Rul, Lanjutkan ya. Jangan lupa diwarnai biar tambah cantik. Hayo yang lain sampai mana, karya nya?".

Aku berkeliling melihat karya para murid yang rata-rata benar-benar mengungkapkan cinta mereka pada ibu, dan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Ada yang menggambar, membuat puisi dan mengarang cerita. Sambil sesekali memberi penguatan pada hasil karya mereka.

Menyaksikan kepolosan para siswa mengungkapkan cinta nya untuk Ibunda, membuatku teringat pada Ibu ku sendiri, yang dari rahimnya aku dilahirkan. Surga ku di telapak kakinya. Sudahkah kuungkapkan cintaku pada beliau.? Pertanyaan ini begitu sulit untuk ku jawab.

Ibu ku lebih dari sekedar pahlawanku. Beliau adalah kehidupanku. Perjuangannya membesarkan kami (aku dan kakakku) seorang diri melebihi perjuangan seorang pahlawan memperjuangkan kemerdekaan negaranya. Ia menangis sendiri, membanting tulang sendiri, membentuk karakter anak sendiri. Bapakku meninggal saat kira-kira 3 bulan aku dalam kandungan. Jika ada rekor yang mencatat perjuangan seorang ibu memperjuangkan kehidupan anak-anaknya, beliau lah pemenang nya bagi ku.

Surgaku di telapak kaki beliau. Kehidupan ku saat ini terasa indah, karena tetesan peluhnya. Karakterku saat ini adalah tempaan beliau yang menguatkan diri menghadapi kerasnya kehidupan. Kekuatan dasar beliau berjuang untuk kami ialah penyertaan Yang Kuasa dan dukungan penuh keluarga besar. Kalimat beliau yang begitu menguatkan "dienteni karo turu, sinambi dedonga, ngko rak yo rampung dewe". (Ditunggu sambil tidur dan berdoa, nanti pasti akan selesai).

Turu adalah simbol ketenangan karena sudah berpasrah kepada Tuhan di dalam doa. Kerasnya kehidupan dan masalah yang datang bertubi-tubi, jika kita hadapi dengan tenang, lakukan apa yang bisa dilakukan. Yang tidak terjangkau oleh pikiran kita, pasrahkan kepada Yang Kuasa.

Wejangan Ibu menjadi pedoman hidup yang aku pegang teguh selama 38 tahun ini. Bahkan saat aku sudah berperan sebagai ibu.

Ibuku, Surgaku, teladanku. Kiranya umur panjang di tangan kananmu dan kesehatan serta kemuliaan di tangan kiri mu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun