Mohon tunggu...
Priemz Marianto
Priemz Marianto Mohon Tunggu... -

Pribadi yang mau berubah dan diubah demi perkembangan diri...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Simbol Buaya (Cicak) Sebagai Representasi “Yang Ilahi” Bagi Masyarakat Atoni Pah Meto

8 Agustus 2012   08:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:05 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1344412725475113415

Pengantar

Setiap agama atau pun budaya mempunyai konsep tentang Yang Ilahi. Konsep-konsep itu pada umumnya berbeda satu sama lain. Keunikan pemahaman atas Yang Ilahi itu merupakan konsekuensi dari penghayatan yang berbeda atas perjumpaan dengan Yang Ilahi dalam pengalaman hidup berkomunitas. Yang Ilahi itu dipahami sebagai sumber kekuatan yang memberikan perlindungan kepada manusia. Manusia menyapanya baik pada saat berada dalam keadaan bersukacita maupun pada saat berdukacita. Pada umumnya, manusia menyapa Yang Ilahi itu dengan maksud memohon perlindungan dari berbagai macam ancaman yang terdapat dalam dunia ini. Manusia menyapa Yang Ilahi melalui ritus-ritus tertentu.

Bagi orang Timor, Yang Ilahi atau Tuhan dalam agama Samawi tidak mungkin diketahui hakekatnya. Oleh karena itu menjadi tabu (lulik)untuk menyebut namanya. Orang Timor mendekatinya hanya dengan menggunakan simbol-simbol atau figur-figur tertentu. Bagi orang Timor Tengah Selatan (selanjutnya akan disebut TTS), simbol atau figur yang selalu muncul dalam ukiran atau ornamen masyarakat suku di kabupaten TTS adalah buaya atau cicak. Selain itu, ketika kita memilih untuk jalan-jalan di Taman Mini dan mencoba mampir di anjungan (sekarang disebut sebagai Museum) Timor-Timur, kita akan menemukan banyak ukiran buaya yang terpampang pada setiap tiang bangun museum itu.  Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa masyarakat Timor menggunakan figur buaya itu? Apakah ini sebuah kebetulan, ataukah ada keyakinan religius (mitologis) yang mau diungkapkan lewat figurisasi tersebut?

Dalam tulisan ini, akan dipaparkan jawaban atas kedua pertanyaan tersebut di atas. Namun, sebelum berangkat lebih jauh untuk membahas tema ini kiranya penting untuk mengenal secara sekilas mengenai TTS itu sendiri.

Timor Tengah Selatan, Selayang Pandang

Kabupaten Timor Tengah Selatan merupakan salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur. Luas wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah 3.947 Km2. Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Utara, di sebelah selatan berbatasan dengan Laut Timor, di sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang dan di sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Belu. Kabupaten ini terbagi menjadi 21 Kecamatan. Pada tahun 2006, jumlah penduduk kabupaten TTS adalah 412.353 jiwa yang terdiri dari 209.840 jiwa pria dan 202.513 jiwa wanita .[1]

Di kabupaten ini terdapat tiga suku besar, yaitu Mollo, Amanuban, dan Amanatun. Anggota masyarakat dari ketiga suku itu biasa disebut dengan istilah Atoni Pah Meto. Bahasa yang digunakan oleh Atoni Pah Meto adalah bahasa Dawan.

Simbol Buaya (Cicak) sebagai Representasi dari “Yang Ilahi”

Satu pemandangan yang selalu terlihat di pedalaman Kabupaten TTS adalah bahwa di banyak rumah terdapat figur cicak dan buaya yang dianyam dari daun lontar atau gewang dan diletakkan pada dinding sebagai dekorasi. Figur cicak dan buaya juga muncul dalam motif tenunan. Selain itu, ukiran figur cicak dan buaya juga terdapat pada tempat sirih (oko mama), tempat kapur dan tembakau (tiba). Sekali lagi kita mau bertanya bahwa mengapa figur dari kedua binatang itu muncul dalam ukiran atau ornamen masyarakat suku di kabupaten TTS?

Berangkat dari Sebuah Mitos

Berkaitan dengan figur buaya yang muncul dalam ukiran masyarakat TTS, terdapat sebuah mitos yang berkembang di Pulau Timor. Dalam mitos itu dikatakan bahwa ada seekor anak buaya dalam keadaan sekarat di suatu tempat kering karena tidak tahu jalan ke laut. Seorang anak merasa iba ketika melihat anak buaya itu. Ia mengambil anak buaya itu lalu membawanya ke pantai. Pada waktu buaya itu masuk ke dalam air, laut menjadi naik sehingga tidak ada lagi daratan. Hidup anak itu menjadi terancam. Sebagai ungkapan terima kasih, buaya itu menawarkan punggungnya kepada si anak dan berjanji akan melindungi si anak dari segala bahaya. Buaya itu menjadi makin tua. Ketika ajalnya mendekat, dia berenang ke satu tempat. Dia meminta anak itu dan keturunannya untuk tetap tinggal di atas punggungnya. Mereka boleh menikmati apa saja yang tersedia di punggung serta di dalam tubuh sang buaya. Buaya itu kemudian mati. Bangkai tubuhnya segera berubah menjadi daratan, yakni pulau Timor yang kini didiami suku meto.

Buaya: Representasi dari ”Yang Ilahi”

Cicak atau buaya menempati tempat yang unik dalam keyakinan religius suku meto. Tabu bagi orang Timor melukai atau menyakiti, apalagi menjadikan buaya sebagai binatang buruan. Di lingkungan orang Timor, terutama masyarakat Suku Meto, buaya atau pun cicak diyakini bukan sebagai sembarangan binatang. Bagi mereka, buaya/cicak adalah representasi dari Dia yang dipertuan dan perkasa, pemberi hidup dan kesejukan.[2] Kalau keluarga sedang melakukan percakapan dan tiba-tiba terdengar bunyi cicak, mereka akan bersukacita. Hal ini mengindikasikan bahwa Yang Ilahi mengikuti dan merestui hal yang mereka percakapkan.

Keyakinan religius ini membuat suku ini tidak segan menjadikan cicak, terutama buaya sebagai obyek penyembahan. Suku meto menyembah buaya karena mereka menganggap binatang ini sebagai penguasa lautan, sungai, pemberi hujan kesejukan, kesuburan, dan kesejahteraan. Singkatnya, buaya adalah Sang Penguasa Air.[3] Pada waktu agama Kristen belum menjangkau pedalaman TTS, penduduk daerah itu mempersembahkan binatang-binatang piaraan mereka kepada buaya sebagai tanda penghormatan dan pengucapan syukur. Selain itu, hiasan cicak di rumah tiap anggota suku dan dalam motif tenunan, serta dalam perkakas sehari-sehari mengekspresikan harapan masyarakat suku meto akan berkat dari Sang Penguasa kehidupan itu.

Kristologi dalam Simbol Buaya

Dalam mitos di atas dikatakan bahwa buaya itu memberi hidupnya bagi kelangsungan hidup penduduk di Pulau Timor. Pemberian diri (hidup) dari sang buaya mengingatkan kita akan anak domba yang dikorbankan orang Israel di Bait Allah untuk dosa-dosa mereka (bdk.Kel.29:38-42). Gambaran anak domba juga dipakai Yohanes untuk memperkenalkan Yesus sebagai penyelamat. Gambaran seperti ini akan lebih mudah ditangkap oleh pendengar yang berlatar belakang Israel dan juga mereka yang mengenal sejarah bangsa itu. Hal ini mau menegaskan bahwa keselamatan umat bersumber hanya dari Yesus sebagai anak domba itu. Hidup dan keselamatan manusia hanya mungkin ada dan diperoleh dari Yesus. Dialah Anak Domba Allah yang memberi diri dan hidup-Nya untuk menyelamatkan banyak orang. Kemudian, satu pertanyaan yang muncul adalah bagaimana Yesus sebagai Anak Domba itu dikaitkan dengan buaya yang diyakini oleh masyarakat Pulau Timor khususnya suku meto?

Mitos tentang buaya itu tersimpan dengan rapi dalam ingatan dan memori masyarakat suku itu. Saya masih ingat dengan jelas bahwa ketika saya masih kecil, nenek saya sering mendongengkan mitos-mitos termasuk mitos buaya kepada saya pada waktu sebelum tidur malam. Buaya dalam bahasa tetun berarti lafaek, tetapi sangat jarang disebut dengan nama lafaek. Nama buaya selalu disebut dengan istilah Ambe Nai. Ambe berarti bapa, sedangkan Nai (Nain) berarti tuan (raja). Jadi, istilah Ambe Nai untuk buaya secara harafiah berarti bapa yang dipertuankan. Dalam mitos itu mau dikatakan bahwa kelangsungan hidup penduduk asli Pulau Timor hanya mungkin terjadi karena sang buaya itu merelakan hidupnya. Ia mau mati supaya nenek moyang suku meto yang seharusnya mati tetap hidup. Itulah sebabnya suku meto menyembah buaya sebagai representasi dari yang kuat dan perkasa (”Yang Ilahi’).

Penutup

Pada tahun 1861-1881 telah hadir beberapa pastor misionaris di Pulau Timor (Atambua), tepatnya di Atapupu dan Fialaran dan mereka sempat membaptis beberapa orang menjadi Katolik. Gereja Katolik di Atambua baru resmi berdiri pada 21 April 1881 dengan pusatnya di Atapupu.[4] Sampai saat sekarang saya belum mendengar pewartaan akan Kristus yang dikaitkan dengan buaya. Mungkin akan terasa aneh dan janggal untuk menyebut Yesus  Kristus sebagai ”sang buaya kehidupan”. Tetapi, pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah hal itu berarti kita tidak boleh memberitakan Kristus dalam bahasa dan ungkapan-ungkapan yang berlaku pada waktu dahulu nenek moyang kita berikan kepada buaya? Mitos-mitos yang sudah pernah kita dengar selalu mempunyai makna di balik semuanya itu. Kita perlu dan harus memelihara bahasa-bahasa mitos yang ada. Bagi bangsa Israel, nama anak domba memiliki makna religius yang sangat penting. Keberadaan mereka sebagai bangsa yang bebas dan bermartabat mempunyai hubungan yang erat dengan anak domba itu.

Seperti bangsa Israel, keberadaan masyarakat Timor juga mempunyai kaitan erat dengan pemberian diri sang Buaya yang diceritakan dalam mitos di atas. Praktek-praktek yang dilakukan masyarakat sebelum masuknya Gereja Katolik semakin hari semakin menghilang. Dulu, masyarakat Timor mempersembahkan binatang piaraan mereka kepada buaya sebagai tanda penghormatan dan pengucapan syukur. Sekarang, praktek-praktek itu sudah jarang dijumpai. Orang semakin modern dan akhirnya praktek-praktek yang berbau tradisional juga ditinggalkan begitu saja. Selain itu, orang akan menganggap perbuatan persembahan itu sebagai sebuah keanehan. Aneh, karena orang tidak lagi mengerti alasan di balik kegiatan itu. Anak-anak zaman sekarang tidak lagi mengetahui mitos-mitos atau ceritera-ceritera legenda. Maka, yang terpenting untuk saat sekarang adalah mewariskan mitos-mitos itu sehingga membantu masyarakat khususnya para generasi muda untuk menangkap makna terdalam dari setiap mitos.

Daftar Pustaka

Sumber Utama:

Nuban Timo, Eben. 1997. Sidik Jari Allah Dalam Budaya, Maumere: Penerbit Ledalero

Sumber Pendukung:

http://regionalinvestment.com/sipid/id/area.php?ia=5304, diakses pada Minggu, 29 Maret

2009, pkl. 20:25

Sarong, Frans. ”Khas Timor: Motif Buaya Bermakna Sakral”, dalam

http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0701/19/nasional/3250306.htm, diakses

pada Selasa, 31 Maret 2009, Pkl. 20:12

Vriens, G. 1972. Sejarah Gereja Katolik Indonesia 2, Ende-Flores: Percetakan Arnoldus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun