Mohon tunggu...
Swazta Priemahardika
Swazta Priemahardika Mohon Tunggu... lainnya -

Sering berhayal ketika minum kopi,..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Ketika Kartijo Harus Memilih (2)

17 Mei 2015   17:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:53 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sore hari, di rumah Bos Alex.

“Antarkan paket ini ke jalan Rangga Lawe nomor 69. Ingat, paket ini harus sampai sebelum jam 10 nanti malam. Ada pertanyaan ??” terang bos Alex dengan wajah serius.

“Tidak, Bos. Semua sudah jelas. Tapi kok tumben, paketnya sebuah bola??” jawab Kartijo dan balik bertanya.

“Kamu tak usah banyak tanya !! Antarkan saja paket ini. Kalian harus ekstra hati-hati dan jangan bertindak bodoh !!” lanjut bos Alex.

“Siapp, Bos. Nyawa kami taruhannya” ujar Kartijo penuh hormat.

“Bagus,...!! Tidak salah aku memilih kalian. Tugas kalian sekarang menghubungi dan menyiapkan orang-orang terbaik untuk mengawal kalian dan paket ini. Kalian masih ingat sandi rahasia kita, bukan?” tanya Bos Kartijo sambil beranjak meninggalkan ruangan.

“Siapp, Bos. Masih.” Jawab Kartijo dan Gobang serempak.

**************

Di dalam mobil, Kartijo bersama Gobang dan dua anak buah mereka nampak tegang. Tidak biasanya mereka seperti ini. Mungkin karena pesan dari bos Alex tentang paket istimewa berbentuk sebuah bola dan lain dari paket sebelumnya yang sering mereka kirimkan. Sesekali Kartijo melirik jam tangannya sambil terus mencari alamat si penerima paket bola dari kulit itu. “Ini dia tempatnya” gumam Kartijo.

Kartijo lalu menyuruh salah seorang anak buahnya untuk turun di ujung gang itu sendirian. Untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan. Mobil kemudian melaju lagi menyusuri gang selebar minibus yang mereka tumpangi. Satu dua kendaraan bermotor roda dua terpaksa berhenti menepi, mempersilakan mobil yang mereka tumpangi lewat lebih dulu. Tepat di depan sebuah rumah bernomor 69, mereka berhenti.

Jalan di sekitar alamat rumah yang mereka tuju lumayan sepi. Benak Kartijo sempat was-was dan nalurinya mulai bekerja, mencermati jika ada gelagat dan gerak gerik mencurigakan di sekitar lokasi operasinya. Di dalam mobil, Kartijo memberi kode dan arahan tertentu, Standar Operasional Prosedur (SOP) kelompok mereka. Tak berapa lama, Gobang  pun turun lebih dulu. Menseterilkan lokasi di seputar rumah penerima paket mereka. Meninggalkan Kartijo dan seorang anak buahnya yang memegang kemudi mobil.

Tak lama kemudian, Kartijo turun dari mobil setelah mendapat kode dari Gobang dan langsung menuju rumah penerima paket. Seorang wanita paruh baya berambut pendek muncul, usai Kartijo mengetuk pintu rumahnya. Ia menyambut Kartijo dan bersiap menerima paket itu.

“Jakarta kebanjiran” kata Kartijo mengucapkan kode rahasia sebelum si wanita menerima paket darinya.

“Banjir kiriman dari Bogor” jawab si wanita paruh baya membalas kode rahasia dari Kartijo sambil tersenyum.

“Paket bola anda silakan diterima. Salam hangat dari Bos saya” ucap Kartijo sambil menyerahkan paket berupa bola tendang dari kulit tanpa bertanya siapa nama wanita penerima paket itu.

Hal itu memang sudah jadi rahasia umum diantara Kartijo selaku kurir dan siapapun penerima paket dari bos Kartijo. Seorang kurir tidak perlu tahu identitas penerima paket. Baginya, yang penting alamat penerima tidak salah jelas dan waktu perjanjian yang tepat serta jawaban kata sandi mereka direspon dengan benar oleh si penerima paket. Itu sudah cukup untuk Kartijo.

“Oke, terima kasih. Ini ada sedikit untukmu dan teman-temanmu” jawab si wanita sembari menyerahkan sebuah amplop tebal warna coklat, begitu paket bolanya ia terima.

“Terima kasih” lanjut Kartijo sembari tersenyum dan segera beranjak pergi meninggalkan rumah itu.

Kartijo merasa lega. Tugas dari bosnya kali ini berjalan dengan lancar dan mulus. Selain mendapat jatah dari bos mereka, Kartijo dan anak buahnya juga mendapat bonus dari wanita penerima paket itu. Jarang sekali mereka mendapatkan bonus seprti itu. Mereka pun segera meluncur membelah keramaian kota malam ini. Di perjalanan pulang, Kartijo mengabarkan pada bosnya bahwa paket sudah sampai ke penerima. Tak lupa, Kartijo membagi bonus dari si wanita paruh baya itu pada teman-temannya. Sebelum pulang, mereka akan bersenang-senang sebentar di cafe tempat mereka nongkrong setelah meminta ijin dari bos Alex lebih dulu.

***************



Tepat jam 1 dini hari Kartijo, Gobang dan dua orang anak buah mereka sampai di rumah Bos Alex untuk beristirahat. Usai memarkirkan mobil di garasi, mereka langsung masuk rumah bos Alex dari pintu samping yang terhubung dengan lantai dua rumah mewah itu. Baru saja mereka memasuki kamar masing-masing di lantai dua, tiba-tiba bos Alex menelepon Kartijo untuk menemuinya di lantai satu.

“Kerja bagus, Jo” kata bos Alex.

“Terima kasih, Bos” jawab Kartijo.

“Lusa malam ada tugas baru untukmu” lanjut Alex.

“Siaapp, Bos” kata Kartijo.

“Oke. Ini bagian kamu dan yang ini untuk Gobang. Jangan lupa anak buahmu dijatah seperti biasanya” ucap Alex sambil menyerahkan dua gepok uang dalam amplop besar.

“Iya, Bos. terima kasih” jawab Kartijo sambil tersenyum puas.

Kartijo lalu naik lagi ke lantai dua menemui Gobang dan dua anak buahnya untuk membagikan jatah hasil kerja mereka. Kartijo dan temana-temannya pun tertawa puas merayakan keberhasilan mereka.

Rumah bos Alex sangat besar dengan 3 kamar di lantai satu dan 4 kamar lainnya di lantai dua. Semua kamar di lantai dua ini biasa digunakan anak buah Alex yang tak punya rumah atau sengaja bermalam disitu. Kedekatan mereka sudah seperti keluarga, hangat dan saling berbagi suka duka bersama.

Alex, lelaki bertubuh tambun berumur hampir kepala enam itu sudah menduda sejak bercerai dengan istrinya yang ketahuan selingkuh, 8 tahun lalu. Setahun sejak bercerai, istri Alex pun menikah dengan teman Alex selingkuhan istrinya itu. Satu-satunya anak perempuan Alex sudah bersuamikan orang bule dan memilih tinggal di luar negeri. Ia jarang sekali pulang mengunjungi ayah dan ibunya.

Mungkin karena ia sudah tahu bisnis yang digeluti ayahnya. Mungkin juga karena ia telah menyerah ketika ayahnya tak pernah menggubris peringatan darinya tentang bahaya dan resiko yang harus ditanggung ayahnya, jika bisnis kotornya itu tercium pihak yang berwajib. Tapi Alex dengan segudang pengalamannya sudah tahu betul apa yang mesti dilakukannya untuk mengamankan bisnis haramnya itu.

*** bersambung sewaktu-waktu ***

Kebumen, 17 Mei 2015 (sp)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun