Siang itu, tempat gosok batu akik milik Panjul, Kartijo dan Suro nampak ramai sesak diserbu pembeli dan penggemar batu akik dari daerah sekitar. Belum genap empat bulan berdiri, tempat usaha patungan yang digawangi Trio PKS (Panjul, Kartijo dan Suro) itu kini berubah jadi tongkrongan favorit para penggemar batu akik.
Selain tempatnya yang strategis di perempatan jalan, di sebelah tempat gosok batu itu juga terdapat warung makan yang siap melayani penggila batu akik kapan saja. Mereka pun tak kalah promosi dengan mengganti nama menu makanan mereka dengan nama-nama batu yang terkenal. Ada Tahu Bacan, Semur Jengkol Zamrud, Tempe Mendoan Opal, Kopi Naga Sui, dan lain-lain.
“Ahh, kita dan mereka sekarang sama gilanya, ya ?!” ujar Panjul pada dua temannya di sela-sela melayani pembeli batu akik.
“Maksudmu apa, Njul ??!” jawab Kartijo dan Suro serempak.
“Masa mencari uang di jaman yang katanya sudah serba canggih ini, kita harus kembali ke jaman batu lagi ??” terang Panjul sambil ketawa.
“Iya, yaa...bener juga katamu, Njul....hahahaa !!” Mereka bertiga pun kompak tertawa.
Mereka sering kewalahan melayani pembeli dan penggemar batu akik yang rela mengantri berjam-jam untuk menggosok batu atau sekedar memotong batu sampai mengkilapkan lagi batu-batu akik koleksi mereka yang sudah kusam. Usaha Trio PKS benar-benar tak pernah sepi pengunjung setiap harinya. Buka dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore, usaha gosok batu akik itu menyerap omzet yang lumayan besar untuk ukuran mantan pengangguran seperti Trio PKS itu.
Dari berbagai kalangan dan profesi kerap mampir di tempat gosok batu akik mereka. Mulai dari pensiunan, sales, guru, makelar tanah, dukun pijat, tukang becak, sopir angkot, kuli bangunan, ibu-ibu muda sampai anak sekolah. Bahkan, di minggu ini Trio PKS sampai mencari tambahan dua orang personil lagi untuk membantu dan mempersolid usaha mereka dari serbuan para penggila batu akik.
Menjelang sore, ketika tempat gosok batu akik mulai sepi pengunjung, beberapa batu akik di etalase kelas ningrat yang dihuni Safir, Zamrud, Bacan, Raflesia, Ruby, Sungai Dareh dan Opal serta tiga ajudan setia mereka Lavender, Topas dan Obi, nampak bercakap-cakap serius tentang info terhangat di dunia mereka. Sesekali, tiga penasihat sekaligus sesepuh mereka, Giok, Kecubung dan Kalimaya juga ikut nimbrung mengomentari obrolan mereka.
Etalase kedua yang ditinggali Pirus, Pancawarna, Sisik Naga, Bulu Macan, Bio Solar, Naga Sui, Badar Besi, Badar Emas, Tapak Jalak dan Sarang Tawon yang tak rela disebut batu kelas dua pun tak kalah ramai bergunjing. Mereka sering bersekutu dengan para batu penggembira dan batu pendatang baru seperti Klawing, Labrador, Ginggang, Nefrit, Combong dan Blue Jade. Batu-batu di kelas dua merasa dianaktirikan oleh penggemar batu, dilecehkan oleh batu-batu senior mereka yang sudah lebih dulu mendunia dan terkenal dimana-mana dengan pancaran pesonanya.
“Batu-batu di kelas ningrat itu sombongnya minta ampun ya, bro. Apalagi si Ruby, Bacan dan si Opal !” kata Badar Besi pada sepupunya Badar Emas yang terlihat mulai mengantuk.
“Ya gak semua, Dar. Itu si Zamrud, Safir dan Lavender juga baik dan ramah pada kita” sergah Tapak Jalak usai tubuhnya dicomot seorang kakek tua penggemar batu dan dilihat sebentar tapi tak jadi dibeli.
“Ahh, sudahlah, biarkan saja. Kita urus diri kita saja dan gak usah sirik pada mereka yang dilebeli harga selangit !” ujar Pancawarna nimbrung.
“Betul ituuu,..!! Bukan kita yang menetukan kualitas dan seberapa pantas kita dihargai. Tapi mereka para penggemar batu, penjualnya dan para mafia batu yang memainkan harga !” terang Pirus mencoba menengahi perdebatan ringan teman-temannya sore itu.
“Ohh, gitu ya, kek” sela Sisik Naga dan Sarang Tawon hampir bersamaan, mengiyakan kata-kata Pirus.
Obrolan mereka setiap hari selalu seru. Di etalase batu pendatang baru dan batu penggembira pun tak kalah ramainya. Mereka saling mengomentari satu sama lain, menakar nilai dan harga yang pantas untuk teman-teman batu mereka saat penggemar dan pemburu batu akik menawar harga pada penjualnya.
Lain lagi obrolan di etalase batu kelas ningrat atau darah biru. Mereka lebih banyak diam dan hanya sesekali saling sapa. Sepertinya, diantara mereka sudah terjadi kesepakatan dan klaim yang tak tertulis bahwa hanya batu dari kelas mereka lah yang paling banyak diburu dan dikoleksi. Tak jarang, batu-batu di kelas ningrat itu menjadi jumawa ketika pembeli, pemburu, penggemar dan kolektor batu menceritakan keistimewaan mereka pada teman-temannya.
Batu Kecubung dan Kalimaya yang terkenal pendiam diantara teman-temannya, sering tak menggubris sindiran halus si Giok dan Sungai Dareh pada mereka berdua yang mengatakan bahwa Kecubung dan Kalimaya tak pantas berada di etalase ningrat mereka. Tapi duo pendiam itu hanya tersenyum mendengarnya. Sepertinya mereka berdua mulai sadar bahwa dirinya dan teman-teman mereka hanyalah sebuah batu belaka. Meskipun setiap hari selalu dibicarakan, disanjung dan dipuja oleh penggemar dan kolektor batu dimana-mana.
Mereka tetap hanya secuil batu ketika berada di atas gagang atau emban penyangganya. Dan setinggi apapun nilai sebuah batu, tetap tak mengubah takdir dan kodrat mereka, selain hanya sebagai hiasan dan pemanis jari-jari pemakainya belaka. Meskipun beberapa dari mereka memiliki nilai jual yang fantastis dan serasa tak realistis untuk nilai sebuah batu.
*****sp*****
Kebumen, 30 Mei 2015 (sp)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H