Mbah Suro adalah lelaki paruh baya yang tersesat di di kampung Lugut, dua hari yang lalu. Ia seakan turun begitu saja dari langit tanpa seorang pun tahu dari mana asalnya, bagaimana latar belakangnya. Banyak orang kampung menduga, mbah Suro itu orang tak waras dan sengaja dibuang ke kampung mereka. Seorang gelandangan yang sengaja dibuang oleh orang atau pihak yang tidak bertanggung jawab ke kampung Lugut.
Mbah Suro datang ke kampung itu pada satu malam dan didapati beberapa pemuda kampung sedang tertidur di pos ronda kampung Lugut. Tubuhnya kotor, pakaiannya kumal dengan beberapa luka di kaki dan kedua tangannya, seperti orang habis berperang. Beberapa pemuda yang memergoki mbah Suro mengira bahwa dia adalah maling yang sempat meresahkan warga kampung seminggu yang lalu.
Pak Lurah dan warganya berniat membawa dan melaporkan Suro ke kantor polisi untuk diamankan. Mereka berpikir, Suro hanya hanya pura-pura bingung dan lupa ingatan. Tapi setelah diamati dengan seksama dan tidak melihat gelagat yang mencurigakan dari mbah Suro, akhirnya warga membatalkan melaporkannya ke polisi. Mbah Suro dianggap bukan sebagai ancaman, meski suasana di kampung Lugut sedang geger karena sering disatroni pencuri dan perampok.
Pernah suatu malam, di saat sebagian warga kampung sedang tidur pulas, mbah Suro membuat heboh kampung Lugut. Ia berteriak-teriak sendiri di pos ronda, padahal sudah lewat jam dua belas malam. Sebagian warga pun terbangun dan mengira terjadi perampokan atau ada maling yang tertangkap. Mbah Suro seperti orang sedang mengigau berkata-kata keras dan lantang layaknya orang sedang membaca puisi di suatu lomba.
“Aku ini wong cilik tak tahu politik
Yang kutahu semua harga naik
Hidup makin susah tercekik
Kapan berakhir masa paceklik?
Untung aku masih punya batu akik
Batu sakti warisan mbah Walik
Batu ini bukan batu biasa
Batu ini bisa mengguncang dunia
Batu sakti asli Indonesia
Batu ini bisa membuat kaya
Bisa juga membuat pemiliknya gila
Ha ha ha ha,....hidup Indonesia !!
Mbah Suro terus membaca tulisan itu berulang-ulang. Warga yang berdatangan ke pos ronda ada yang tertawa, ada juga yang cuma senyum-senyum sendiri ikut menikmati bacaan puisi mbah Suro. Dan sebagian lagi yang tak begitu suka, langsung memilih pulang sambil menggerutu. “Dasar wong edan !!” kata-kata dari beberpa orang yang merasa dirugikan waktu istirahatnya gara-gara keluar rumah tengah malam .
“Mana batu akiknya, mbah? Wong cuma batu biasa aja kok” celetuk Murad, sengaja memancing mbah Suro memperlihatkan batu akiknya.
“Mbah...buat aku saja akiknya ya?” kata Iwan teman Murad.
“Coba aku lihat dulu akiknya, mbah. Nanti kalau cocok, aku beli deh” timpal Komar tampak antusias. Komar memang dikenal suka mengoleksi batu akik di kampung itu.
Mbah Suro tak menanggapi omongan orang-orang yang hanya meledeknya itu. Dia kembali duduk santai di pos ronda sambil menyulut sebatang rokok, pemberian Murad. Pandangannya menerawang ke atas, menatap langit malam.
“Batu ini gak aku jual. Gak ada yang mampu membelinya. Batu akik ini ada maharnya kalau berniat memilikinya” kata mbah Suro tiba-tiba, membuat semua orang di pos ronda itu terhenyak kaget dan mulai tertarik.
Selain tertarik dengan batu akiknya, juga karena mbah Suro mau berbicara dan menanggapi kata-kata mereka. Biasanya dia hanya diam, tersenyum dan mengangguk atau menggeleng saja bila ada orang yang bertanya. Bahkan sudah dua hari ini dia tidak berbicara sedikitpun.
“Ohh,..gitu ya, mbah. Memang maharnya apa dan berapa??” lanjut Komar penasaran. Sekilas diliriknya batu akik yang dipakai mbah Suro memang bagus.
“Gimana kalau aku beli,...ehhh, maksudku aku kasih mahar 50 ribu, mbah?” tanya Murad yang juga penasaran dengan akik mbah Suro.
“Eitss,..gak bisa gitu, Mur ! Aku dulu yang ngasih penawaran kok !! ” jelas Komar merasa tertantang karena ada pesaing yang juga naksir dengan akik mbah Suro.
“Coba lihat dulu to, mbah...sebentar saja” lanjut Komar berharap mbah Suro mau memperlihatkan batu akiknya.
“Batu akik ini pemberian simbahku. Namanya mbah Walik. Kalau kamu ingin memilikinya, kamu harus minta ijin dulu sama simbahku” jawab mbah Suro sambil senyum sendiri.
“Lahh emangnya, mbah Walik itu tinggal dimana, to? Wong sampeyan saja gak tahu darimana asal sampeyan, mbah !!” timpal Komar sambil tertawa, diikuti teman-temannya.
Warna batu akik itu merah darah, terang menyala. Komar terkesima dan keinginannya makin kuat untuk memiliki batu akik itu. Batu akik itu tidak seperti batu akik kebanyakan yang sudah banyak dikoleksinya. Batu akik itu seolah punya daya magis yang memancar dari sisi dalam. Dan semua orang pun tertawa mendengar kata-kata Komar. Mbah Suro kembali hanya tersenyum tak menjawab pertanyaan Komar. Tapi mbah Suro sedang berbaik hati malam ini. Diperlihatkannya cincin batu akik miliknya pada orang-orang di pos ronda itu. Semua orang pun bergantian melihat cincin akik itu. Dan obrolan pun makin mengalir riuh hingga larut malam. Saling sahut dan berebut ingin memiliki cincin batu akik yang dipakai mbah Suro
*******************
Malam Jum’at, jam sebelas lewat.
Sudah seminggu lebih mbah Suro tinggal di kampung Lugut. Ia dianggap tidak membahayakan warga karena tingkah lakunya pun cenderung pendiam dan pekerjaannya hanya tidur di pos ronda. Mbah Suro malah bisa menjadi hiburan tersendiri untuk beberapa warga yang biasa keluar malam dan dapat tugas meronda. Dan seperti yang pernah ia lakukan beberapa hari yang lalu, malam ini mbah Suro kembali bikin ulah. Berteriak keras membacakan kata-kata mirip puisi di depan pos ronda.
Tiga orang pemuda yang kebetulan sedang main gitar di pos ronda pun tertarik dengan tingkah mbah Suro. Satu dari tiga pemuda itu mencoba mengiringi deklamasi Suro dengan petikan gitarnya. Mbah Suro tambah bersemangat membacakan puisinya. Komar dan Murad datang lagi ke pos ronda menemui mbah Suro dan berniat membeli cincin akik yang dipakainya. Tapi dari sekian orang yang berkumpul mengerubungi mbah Suro, tak ada satu pun yang menyadari satu perubahan aneh terjadi pada mbah Suro. Selain karena malam hari dan suasana mendung, lampu penerang pos ronda pun kecil. Mereka asik menikmati pertunjukkan mbah Suro di depan pos ronda.
Saat membaca puisi dan berjalan kesana kemari, kuku-kuku tangan dan kaki Suro perlahan tumbuh memanjang. Di sela-sela gigi mbah Suro pun tumbuh empat taring. Dua di atas dan dua lagi di bawah. Tidak terlalu panjang, tapi cukup merubah wajah mbah Suro menjadi seram. Wajahnya ditumbuhi bulu-bulu hitam meranggas kaku. Awalnya hanya sedikit di kedua pipi mbah Suro yang mulai mengeriput. Lama-lama makin lebat dan menutupi sebagian wajahnya. Kedua tangan dan kaki mbah Suro pun sama, ditumbuhi bulu dan banyak rambut.
Mbah Suro membaca puisinya sambil memunggungi semua orang yang ada disitu. Ia berjalan makin menjauh dari pos ronda dan orang-orang yang menonton pertunjukannya malam ini. Suaranya seketika berubah menjadi serak dan berat.
“Aku pergi dulu, teman” ucapnya lirih sambil melambaikan tangan.
“Mau kemana, mbah,..kok malah pergi ?” tanya Komar yang makin penasaran dan ingin memiliki cincin batu akik mbah Suro yang menakjubkan itu. Ia sudah menyiapkan uang 200 ribu untuk membayar mahar batu akik mbah Suro.
“Aku akan menemui mbah Walik” jawabnya sambil berlalu dan makin menjauh.
“Jangan lama-lama ya, mbah !!” teriak Komar sambil memandangi punggung mbah Suro mulai menjauh dari kerumunan warga kampung.
Ia hanya sekali menengok orang-orang yang berkumpul di pos ronda. Tersenyum tipis menyeringai sekian detik, memperlihatkan keempat taringnya yang makin tumbuh panjang. Kuku-kuku di kedua tangan dan kakinya pun ikut memanjang, runcing dan hitam. Tubuh mbah Suro menghilang tepat di tikungan jalan seiring turunnya hujan.
**********************
Kebumen, 30 Apil 2015.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI