Sehari usai kau pergi. Kata-kataku mendadak lemas tak mampu lagi meracik bait-bait puisi. Ia sekarat, tapi tak mati. Kubiarkan ia berserak di sudut-sudut almari.
Ada juga yang mengunci diri di ruang pengap dan sempitnya laci. Bahkan ada  juga yang linglung terpasung di ketiak mendung. Kubiarkan semua begitu, sampai entah kapan aku tak tahu. Tak pernah tahu.
Lalu apa salahku? Bukankah kata dan aksara tak bernyawa? Jadi biarkan saja ia berkarib dengan Ngengat, Kutu Busuk dan Kecoa. Meskipun lama-lama ia bisa gila ! Seperti kita.
Jika pada akhirnya kamu kembali, seperti hari kemarin dan kemarinya lagi. Seperti biasa, kubiarkan tangismu pecah sisakan basah di ujung bahuku. Kau pun menyambut dekapku begitu saja sepenuh raga, meski kutahu tak lagi segenap rasa. Itulah kita. Kita yang tak lagi bertanya kenapa dan untuk apa.
Sehari usai kau pergi, kata-kataku tak ladi berjeda hingga tak kutemu makna disana. Isyarat rasaku padamu lumpuh seketika ! Â Semesta gugus waktu redup, tak kuasa menghimpun serangkum nafas untuk kuhirup.
Kebumen, 25 Mei 2015 (sp)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H