Risiko yang dihadapi oleh perbankan di Indonesia semakin kompleks seiring dengan banyaknya usaha bank yang mengalami perkembangan, sehingga bank diwajibkan untuk menerapkan manajemen risiko sebagai langkah meminimalisir risiko yang terkait dengan kegiatan usaha bank.
Perwakilan bank sentral dari negara G10 plus dua mendirikan sebuah komite yang bernama Komite Basel. Komite Basel telah merumuskan regulasi perbankan, yang pada akhirnya banyak diadopsi oleh banyak negara. Adapun 3 tujuan komite basel yaitu, memperkuat kelayakan dan stabilitas sistem perbankan internasional, menciptakan kerangka yang adil untuk mengukur kecukupan modal bank internasional dan mempunyai kerangka yang bisa diterapkan secara konsisten untuk menyamakan "level paying field"
Dalam mencapai tujuannya, Basel 1 menggunakan konsep risk weighted assets (Aset berbobot risiko). Aset berbobot risiko adalah aset bank yang dikalikan dengan bobot risiko (risk weight), yang kemudian dipakai untuk perhitungan modal yang disyaratkan. Semakin tinggi risiko aset bank, semakin tinggi bobot risiko aset tersebut.
Perkembangan metode oleh Basel Accord ternyata masih mempunya kekurangan, terutama dalam sensivitas terhadap risiko. Pada tahun 1996 Komite Basel mengeluarkan Market Risk Amendment 1996, amendement tersebut memfokuskan pada risiko pasar. Perbaikan (amendement) tersebut dilakukan setelah komite melakukan investigasi mengenai metodologi internal yang sering digunakan oleh bank-bank besar untuk mengukur risiko perbankan.
Lalu pada tahun 1999, Komite Basel melakukan kerja sama dengan beberapa bank besar untuk mengembangkan permodalan bank yang baru. Basel II mempunyai kerangka permodalan yang lebih kompleks dibandingkan dengan Basel I. Kerangka Basel II difokuskan pada tiga pilar pengawasan perbankan.
Pada pilar pertama, Bank diwajibkan menghitung modal minimum yang harus dipegang untuk menutup risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional. Selanjutnya pilar kedua, Bank diwajibkan melakukan review Pengawasan yang ditujukan untuk memfokuskan perhatian pada perhitungan modal di atas modal minimum pada pilar 1 dan tindakan awal yang diperlukan jika bank mengalami kesulitan. Terakhir pilar ketiga (disclosure), Bank diwajibkan fokus pada disiplin pasar yang didefinisikan sebagai mekanisem corporate governance internal dan eksternal di pasar bebas di luar intervensi langsung  dari pemerintah.
Manajemen Risiko Perbankan diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) 5/8/PBI/2003 yaitu mengenai Pelaksanaan Manajemen Risiko Bank. Bank diharuskan mengelola risiko perbankan melalui kegiatan identifikasi risiko, pengukuran risiko, monitoring risiko dan pengendalian risiko. Selain itu, Bank Indonesia juga mengharuskan bank untuk mengelola empat risiko, yang mencakup Pasar, Kredit, Operasional dan juga Likuiditas.
Untuk Bank yang lebih besar dan kompleks, risiko yang harus dikelola yaitu risiko legal, risiko reputasi, risiko strategis, dan risiko kepatuhan.
Dalam kasus Chase Manhattan yang merupakan bank dengan bisnis global yang mencakup tiga kelompok bisnis besar (Bank Global, National Customer Service, dan Global Services), telah meluncurkan program SVA (Shareholder Value-Added) sebagai bagian dari manajemen risiko bank tersebut. Program SVA tersebut bermanfaat bagi manajer untuk melihat risiko dalam setiap pengambilan keputusannya. Disamping itu, melalui program SVA, Pertumbuhan asset Chase menjadi lebih lambat.
Chase menggunakan beberapa ukuran risiko pasar yaitu Value At Risk (VAR), Stress-testing dan Ukuran non-statistic. Dengan begitu, ketiga ukuran tersebut diharapkan memberikan gambaran risiko pasar yang komperehensif yang dihadapi oleh Chase.
(sumber buku: Imam Ghozali (2007), Manajemen Risiko Perbankan, Pendekatan Kuantitatif Value at Risk, Badan Penerbit Universitas Diponegoro