Proyek kereta cepat sebenarnya bukan merupakan barang baru, mega proyek ini sudah digagas di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Rencana proyek tersebut akhirnya bergulir hingga era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Studi kelayakan awal dilakukan pemerintah melalui Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementrian Perhubungan (Kemenhub) dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) bersama dengan Japan Internasional Corporation Agency (JICA).
Proses studi kelayakan dimulai pada awal tahun 2014, hingga pemerintah memutuskan pembangunan rute Jakarta-Bandung sepanjang 150km dengan nilai awal proyek senilai 67 triliun rupiah. Selanjutnya setelah diketahui nilai awal proyek, pemerintah melakukan lelang terbuka bagi negara-negara yang tertarik kepada proyek tersebut. Masuklah China yang menawarkan pinjaman sebesar US$ 5,5 miliar dengan jangka waktu 50 tahun dengan tingkat bunga 2% per tahun. Tak mau kalah, Jepang melakukan revisi penawaran pinjaman proyek dengan masa waktu 40 tahun dengan bunga hanya 0,1% pertahun dengan masa tenggang 10 tahun.
Pemerintah kemudian menggandeng Boston Consulting Group untuk melakukan evaluasi terhadap penawaran dari kedua negara tersebut. Akhirnya terpilihlah China untuk menggarap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung karena China siap melakukan proyek dengan skema business to business tanpa jaminan dari pemerintah. Proyek inipun akhirnya digarap oleh PT Kereta Cepat Indonesia Cina (KCIC), Saham KCIC terdiri dari 60% milik PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) yang merupakan konsorsium dari 4 BUMN yakni PT KAI, PT Wijaya Karya, PT Jasa Marga dan PTPN VIII, dan 40% dimiliki oleh China Railways International (CRI).
Nilai proyek awal yang diperkirakan sebesar US$ 5,988 miliar diperkirakan membengkak US$ 1,6 miliar atau setara dengan Rp 22 triliun (kurs Rp 14.100/ US$). Menurut GM Corporate Secretary KCIC Mirza Soraya, pembengkakan biaya dipengaruhi oleh banyak factor salah satunya adalah pembebasan lahan.
"Di lapangan biaya proyek bertambah seperti harus merelokasi fasilitas umum dan social yang silewati trase. Akhirnya terjadi penambahan luas lahan karena harus merelokasi fasilitas umum dan mengganti lahan baru itu menyebabkan penambahan biaya"
Beban proyek membesar karena penentuan trase yang kurang matang, sehingga bersinggungan dengan berbagai fasilitas umum dan sosial yang harus direlokasi.Â
"Ini faktor langsung. Belum termasuk faktor tidak langsung seperti penangguhan selama masa pandemi, meski pengaruhnya kecil sekali."
Selain itu, hasil bench mark di China yang tidak dikaji ulang dengan kondisi yang ada di Indonesia menyebabkan pembengkakan biaya, seperti harus membayar biaya telekomunikasi persinyalan kereta yang disebut Global System for Mobile Communication (GSM-R) dan juga pembengkakan biaya karenaada biaya instalasi untuk PLN. Didukung dengan pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto bahwa alasan proyek ini membengkak, karena ada hal diluar perkiraan awal terutama karena kondisi geografis wilayah Jawa Barat.
Disisi lain Menteri BUMN Erick Thohir mengaku mengaku menghadapi tiga masalah keuangan dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB). Persoalan itu antara lain : kekurangan ekuitas dasar (base equity), pembengkakan biaya (cost overrun) dan defisit kas (cash deficit) pada masa operasi. Selanjutnya Kementrian BUMN mengusulkan solusi berupa penyertaan modal negara (PNM) sehilai Rp 8,46 triliun, kepada empat BUMN yang terlibat proyek KCJB karena sedang mengalami kesulitan keuangan karena dampak pandemic Covid-19. PNM yang diusulkan merupakan PNM tambahan 2021 yang telah dimasukkan kedalam anggaran.
Pemerintah mengambil langkah perbaikan dengan melakukan audit terhadap proyek KCJB yang dilakukan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hal tersebut disampaikan oleh Juru Bicara Menko Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi,
"Proses audit terkait dengan cost overrun sedang dilakukan oleh BPKP. Nanti dari hasil audit ini akan dibahas oleh para pemegang saham termasuk oleh pemerintah."