[Tulisan ini merupakan tulisan kedua dari beberapa tulisan, dibawah ini tautan untuk melihat tulisan pertama]
http://www.kompasiana.com/pribadiagungsujagad/mempertanyakan-logika-pembangunan-reaktor-daya-eksperimental-rde-di-serpong_5599c155e422bd1a05b7379a
Di tulisan pertama saya mengkritisi reaktor nuklir apa yang sebenarnya hendak dibangun? Reaktor daya atau reaktor eksperimental? Jawaban dari BATAN ada di Kompas terbitan Sabtu 27 Juni 2015 “ini bukan reaktor daya karena bla bla bla” dan “bukan reaktor riset karena bla bla bla..”. Tapi kok namanya Reaktor Daya Eksperimental?
Pada Bagian Kedua ini, saya ingin fokus kepada aspek tujuan pembangunan RDE. Saya mencoba melakukan pencarian di google, guna mendapatkan beberapa tujuan pembangunan RDE berdasarkan press release, hasil wawancara pejabat dan situs www.batan.go.id. Secara garis besar tujuannya adalah (a) penguasaan teknologi putra-putri bangsa dalam managemen pembangunan, pengoperasian, dan perawatan reaktor nuklir untuk pembangkit listrik (b)mendapatkan disain reaktor yang tepat; (c) meyakinkan publik bahwa teknologi nuklir aman dan bersahabat; (d) mengenalkan nuklir sebagai sumber daya listrik baru di masa depan;
Mari kita uji satu persatu, apakah tujuan tersebut memiliki landasan argumentasi yang konsisten dan tidak ambigu/saling bertentangan dengan pernyataan BATAN sendiri.
Alasan pembangunan RDE No. 1 : penguasaan teknologi putra-putri bangsa dalam managemen pembangunan, pengoperasian, dan perawatan reaktor nuklir untuk pembangkit listrik
Pertanyaan pembuka saya “sebetulnya BATAN telah memiliki kemampuan untuk membangun dan mengoperasikan PLTN atau belum?”. Kalau Anda cermati, sudah bertahun-tahun BATAN menyatakan “….telah memiliki kemampuan/ keahlian untuk membangun dan mengoperasikan PLTN. Yang dibutuhkan tinggal political will pemerintah. Hanya perlu kata “go” dan kita bisa langsung jalan”. Kira-kira seperti itulah...
Kalau persoalan pembangunan PLTN adalah di ‘political will’ -bukan di kompetensi SDM- maka pembangunan RDE tidak menyentuh esensi persoalan. Wong persoalannya di political will kok, masa usulan solusinya di sisi kompetensi/ teknologi? Anda sakit maag, lalu mempergunakan Fludane atau Bisolvon sebagai obatnya? Memangnya kalau Anda mendapatkan Bisolvon, nanti maag-nya pasti otomatis sembuh? Relevansinya dimana? Seharusnya political will itu yang musti diperjuangkan agar bisa didapatkan. Bukannya bikin proyek baru. Kecuali kalau RDE memang dilandasi “pendekatan proyek” loh. Saya tidak ingin menilai atau berprasangka negatif kepada BATAN, walaupun godaannya besar hahaha….
Sebaliknya jika BATAN merasa masih ada bagian teknologi/ kompetensi operasi PLTN yang masih perlu dikuasai –sehingga mendadak ingat untuk membangun RDE- maka pertanyaannya kenapa kemarin-kemarin membanggakan kemampuan ahli-ahlinya sedemikian rupa sehingga seolah-olah persoalannya CUMA di political will? Yang kemarin silap kata atau gimana hahaha….
Sekarang anggap saja memang BATAN kemarin silap kata -mumpung masih suasana Lebaran, mari kita berikan maaf setulusnya- dan masih memerlukan sedikiiiit lagi penguasaan teknologi PLTN lalu apakah solusi terbaiknya adalah dengan membangun reaktor nuklir baru? Apakah tidak bisa melalui training, tukar menukar tenaga peneliti atau advanced study ke fasilitas sejenis di luar negeri. BATAN khan anggota IAEA, hal ini akan dengan mudah difasilitasi. Toh selama ini BATAN juga telah berpengalaman dalam menjalin kerjasama iptek nuklir internasional. Kalau Anda ingin bisa mengemudi, kenapa musti beli mobil sendiri sementara Anda bisa pinjam pakai di kursus menyetir? Toh banyak orang yang bisa menyetir tanpa harus punya mobil sendiri -sopir tetangga saya misalnya-. Anggaran pembangunan RDE itu Rp 2 trilyun. Bahkan dengan anggaran 5%-nya atau Rp 100 milyar saja, penguasaan teknologi ‘yang itu’ pasti bisa didapatkan melalui kerjasama multilateral/ bilateral.
Dan masih ada lagi…. Supaya publik mengerti, RSG GA Siwabessy (RSG GAS) di Puspiptek Serpong adalah reaktor riset pengkayaan rendah berdaya paling besar di dunia pada saat diresmikan dulu. Ide pembangunan saat itu adalah untuk membangun reaktor riset yang “sedekat” mungkin dengan realitas PLTN. RSG GAS mempergunakan uranium pengkayaan rendah, karena itu yang paling umum dipergunakan di PLTN -reaktor riset pada umumnya mempergunakan uranium pengkayaan tinggi-. Di kelasnya itu, RSG GAS juga dibangun dengan daya 30MW alias yang terbesar di dunia, karena sekali lagi, hendak mendekatkan diri sebisa mungkin pada realitas PLTN -yang umumnya berdaya besar-. Lha ini kok mau membangun reaktor nuklir baru lagi. RSG GAS yang didisain sudah “dekat” dengan PLTN mau diapakan? Belum lagi kalau mengingat masih ada 2 reaktor lainnya : di Bandung dan Jogjakarta.