Ada sedikit hal menggelitik dari tulisan kompasianer Harja Saputra (HS) ini. Memijak poin 10 kontrak politik  PDIP dengan bakal calon gubernur DKI yang mengusung, tertera salah satu ketentuan dalam kontrak politik, yakni: "Menegakkan hukum dengan menjunjung tinggi azas keadilan dan hak asasi manusia". Pada dasarnya, penulis mempertanyakan kedudukan (calon) Gubernur dengan menganalogi posisi (calon) Kapolri sebagai penegak hukum. Pada kesimpulannya tulisan itu menyatakan: 'sejak kapan gubernur sebagai bagian dari eksekutif, mengemban tugas penegakan hukum?'. Aneh katanya, karena "... penegakan hukum, setahu saya, merupakan wilayah tugas dari yudikatif".
Ada beberapa sanggahan sederhana dari beberapa komentar yang patut direnungkan sebenarnya. Sejumlah komentar menghubungkan Perda (hukum tertulis di tingkat provinsi/kabupaten) dan merelasikan dengan kedudukan Satpol PP sebagai delegataris Gubernur/Bupati adalah penegak (hukum) perda. Sanggahan baik.
Pernyataan penulis yang mengasumsikan fungsi penegakan hukum dalam wilayah tugas yudikatif kiranya berpijak pada asas pemisahan kekuasaan dan trias politika. Asas yang sebenarnya tidak berhubungan, dan bukan parameter untuk menilai fungsi penegakan hukum. Fungsi penegakan hukum tidak berhubungan dengan asas pemisahan kekuasaan dan teori trias politika, keduanya berangkat dari filosofi dasar agar kekuasan tidak tersentral pada satu kekuasaan. Â
Bicara penegakan hukum bisa dimulai dari istilah 'hukum' sebagai obyek yang (harus) ditegakkan.  Apa itu 'hukum'? Banyak batasan yang bisa diperoleh. Tetapi secara umum dan sederhana hukum dapat didefinisi dari elemen substantifnya sebagai 'seperangkat aturan mengenai tingkah laku atau tindakan manusia, baik berupa perintah atau  larangan dalam kehidupan masyarakat'. Tujuannya jelas, ketertiban dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
Seperangkat aturan bisa bersifat tertulis (mis: peraturan perundang-undangan) atau tidak tertulis (mis: adat dan konvensi). Dalam hidup bernegara, demi kepastian, prinsip hukum menghendaki agar hukum dipositifkan-- diberi bentuk tertulis  sebagai asas negara hukum yang utama  yakni: keabsahan bertindak pemerintah (wet en rechmatig van bestuur). Asas yang ada, melatarbelakangi terbentuknya peraturan perundang-undangan dengan hirarkhinya sebagai hukum tertulis. Mulai aturan hukum yang bersifat umum-abstrak (mis: UU, PP, atau Perda), sampai ketentuan hukum yang bersifat individual-konkrit (mis:  IMB, Izin Usaha dsb)  yang dibuat Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang diberi wewenang untuk itu. Semuanya adalah hukum (tertulis).Â
Sementara, penegakan hukum secara umum diartikan sebagai 'pengejawantahan (penegakan) nilai-nilai ideal (das sollen) yang ditetapkan dalam aturan hukum, baik terhadap ketentuan yang umum-abstrak maupun individual-konkrit) dalam kehidupan nyata (das sein). Batasan yang menegaskan fungsi penegakan hukum bukan cuma wilayah lembaga yudikatif. Fungsi penegakan hukum melekat baik pada lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Saat DPR berusaha mewujudkan tertib sidang dalam acara pembahasan UU bersama Presiden, hakikinya mereka sedang menegakkan (mengejawantahkan) hukum  yang dimanatkan dalam UU MD3 atau tatib DPR dalam kenyataan. Sekalipun secara fungsional DPR mempunyai fungsi legislasi, tetapi apa yang diatur dalam UU MD3 dan Tatib sidang memang harus ditegakkan. Pengejawantahan Ini sama sekali tidak melibatkan polisi atau jaksa.
Sebaliknya, saat Gubernur/Bupati atau Satpol PP (sekalipun) menertibkan larangan (dalam Perda) bagi pedagang yang menjual minuman keras, mereka juga menegakkan hukum tertulis (Perda). Semua itu tidak ada bedanya dengan hakim yang berusaha mewujudkan nilai ideal dalam KUHP maupun KUHAP dalam sidang pengadilan. Maka tidak ada keraguan jika fungsi penegakan hukum sama sekali tidak berkait dengan asas pemisahan kekuasaan dan teori trias politika. Â Fungsi penegakan hukum bisa melekat pada ketiga lembaga kekuasaan yang ada.
Mengutip 'UU MK, UU Pasar Modal, dan UU Advokat'  dan menyatakan gubernur sebagai eksekutif dan bukan penegak hukum karena fungsi ini adalah wilayah lembaga yudikatif, adalah pengingkaran penulis terhadap apa yang ditulisnya sendiri. Kita ambil salah satu yaitu UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal yang dikutip penulis.Â
Pasal 101 ayat (6) UU Pasar Modal:
"Dalam rangka pelaksanaan kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Bapepam (Badan Pengawas Pasar Modal) dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain". Â