Mohon tunggu...
bangjul
bangjul Mohon Tunggu... Penulis - belajar, mendidik, dan melayani

kadang membaca..., sesekali menulis...,

Selanjutnya

Tutup

Politik

PLT Gubernur DKI Tabrak UU Administrasi Pemerintahan?

24 November 2016   02:06 Diperbarui: 24 November 2016   23:03 2034
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di luar hiruk pikuk penetapan tersangka gubernur DKI non aktif Basuki Tjahja Purnama (Ahok),  dan terbaru, status yang sama bagi Buni Yani. Ada hal menarik yang dilakukan pelaksana tugas (Plt) Gubernur DKI,  Soemarsono. Seperti diberitakan beberapa media online, Plt Gubernur DKI mengubah beberapa kebijakan gubernur definitif (non aktif) dalam pelayanan publik di pemerintahan DKI. 

Kebijakan terbaru yang akan diubah adalah dana hibah untuk Bamus Betawi. Plt Gubernur memutuskan untuk tetap menganggarkan dana hibah bagi Bamus Betawi. Sebelumnya,  dibuat pula  keputusan untuk menghentikan sementara 14 proyek lelang dini yang dimulai pada era Ahok. Lelang ini dilakukan untuk mempercepat proses pengerjaan proyek sehingga program bisa dieksekusi awal tahun. Harapannya, serapan anggaran dan pembiayaan proyek dapat lebih efektif. Terbaru, Plt Gubernur DKI juga menginisiasi struktur perangkat daerah yang akan berlaku sejak januari 2017. Kebijakan ini, mengacu pada PP Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.

Dalam statusnya sebagai pelaksana tugas, muncul pertanyaan besar. Tidakkah semua kebijakan Plt Gubernur menabrak UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminsitrasi Pemerintah (UU AP)?  Pasal 14 UU AP menetapkan kewenangan mandat yang terdiri atas pelaksana harian (Plh) dan pelaksana tugas (Plt).  Pelaksana harian adalah melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan sementara,  dan pelaksana tugas adalah melaksanakan tugas rutin dari pejabat definitif yang berhalangan tetap. 

Oleh sebab itu, nomenklatur pelaksana tugas (Plt) dalam posisi yang dijabat Soemarsono sendiri menimbulkan pertanyaan tentang keabsahannya. Apakah cuti gubernur definitif  (ahok) selama masa kampanye dapat dikategorisasi sebagai berhalangan tetap? Nomenklatur pelaksana tugas  dalam Plt Gubernur DKI jelas mendasarkan pada Permendagri Nomor 74 Tahun 2016 tentang Cuti diluar Tanggungan Negara Bagi Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota. Dapatkah Permendagri (Lex Inferiori) mengabaikan undang-undang (Lex Superiori)?

Plt Gubernur DKI Menabrak UU Adminsitrasi Pemerintahan?

Persoalan lebih subtansial dapat ditelusur dari Pasal 14 ayat (7) UU AP, bahwa:  'Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui Mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran'. Jelas batas kewenangan pelaksana tugas terbatas pada tugas harian.

Apa yang dilakukan Soemarsono pasti didasarkan pula pada Permendagri di atas, khususnya Pasal 9 ayat (1) huruf d dan e,  yang menegaskan kewenangan pelaksana tugas untuk: 'menandatangani Perda tentang APBD dan Perda tentang Organisasi Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri', dan 'melakukan pengisian dan penggantian pejabat berdasarkan Perda Perangkat Daerah setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri'.  Kembali timbul pertanyaan subtantif tentang status hukum permendagri yang posisinya berada di bawah UU AP.

Persoalan hukum yang sebenarnya akan muncul ketika pejabat dengan status pelaksana tugas diberi kewenangan demikian besar oleh permendagri. Sekalipun penandatanganan semua kebijakan dan perubahan organisasi oleh Plt Gubernur DKI dilakukan untuk dan atas nama menteri dalam negeri. Tetapi semua kebijakan yang diambil Plt Gubenur pada saatnya nanti akan mengikat gubernur definitif (Ahok).  Dimana tanggung jawab politik atas kebijakan itu tetap berada di atas pundak gubernur definitif. Tanggung jawab mana kemudian diwujudkan dalam pilihan warga untuk memilih atau tidak memilihnya kembali dalam pemilukada yang akan datang?

Tidakkah semua kebijakan gubernur definitif merupakan janji politik yang bersangkutan kepada masyarakat pemilih? Bukan janji politik Plt Gubenur yang menjabat hanya dalam hitungan bulan. 

Tidak ada  salah kiranya,  jika gubernur definitif melakukan upaya constitutional complaint ke MK tentang batas kewenangan seorang pelaksana tugas. Atau barangkali perlu gubernur memerluka upaya judicial review ke MA atas permendagri? Agaknya, sistem peraturan perundang-undangan Indonesia memang  banyak yang perlu dibenahi, sehingga Plt Gubernur yang tidak berkeringat dan bukan representasi kehendak pemilih dapat dengan mudah menganulir kebijakan pejabat yang terpilih melalui sistem demokrasi yang telah disepakati.

salam kompasiana...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun