Saya tidak pernah mempelajari ilmu logika sebagai cabang filsafat, tetapi saya biasa memakai logika untuk memahami matematika dan fisika. Oleh karena itu, saya tidak mengerti (atau hanya sedikit mengerti) tentang istilah-istilah logika sebagai cabang dari filsafat, tetapi saya merasa sedikit mengerti tentang bagaimana menggunakan logika untuk memahami berbagai permasalahan. Saat saya mengamati sebagian pembahasan di Kompasiana (banyak tulisan yang belum saya baca), saya melihat adanya berbagai jebakan yang mengatasnamakan logika.
Jebakan pertama, kecenderungan untuk memutlakkan (memastikan) hal-hal yang sebenarnya hanya berupa kemungkinan. Misalnya, saat menilai foto dan pernyataan yang beredar seputar GT vs PK, ada kecenderungan untuk memutlakkan pendapat “GT = PK” atau “GT bukan PK”, padahal belum pernah dilakukan investigasi yang hasilnya diumumkan secara terbuka. Bagaimana mungkin kita bisa memutlakkan kesimpulan kita tentang GT vs PK hanya dengan melihat foto dan menyimak pernyataan (tulisan) yang berkaitan dengan PK di Kompasiana yang belum diverifikasi kebenarannya?
KPK pun sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka harus memiliki dua alat bukti yang cukup. Bahkan, Taufiequrachman Ruki (ketika beliau menjabat sebagai Ketua KPK yang pertama 2003-2007) menuntut adanya tiga alat bukti yang cukup supaya tuntutan KPK tak terbantahkan lagi. Tak mengherankan bahwa KPK di masa sekarang pun menjadi kelabakan menghadapi sanggahan saat mereka menetapkan tersangka dengan alat bukti yang masih bisa disanggah. Perhatikanlah bahwa dari foto dan pernyataan (tulisan) di kompasiana, ada berbagai macam rekonstruksi yang bisa dibangun. Selain kemungkinan yang paling populer (yaitu PK = GT), ada kemungkinan bahwa PK sudah berada di restoran sebelum rombongan I, VS, GT, dan dua pengawal lapas memasuki restoran, lalu PK meminjamkan jam tangannya kepada GT. Bisa pula PK masuk sesudah GT masuk. Bukankah tidak ada seorang pun yang mengenal siapa sebenarnya PK? Adakah di antara mereka yang giat menulis di kompasiana yang mengenal siapa PK? Bila tidak ada yang kenal, bagaimana bisa memastikan bahwa PK tidak pernah berkunjung ke restoran itu? Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan yang bisa membuat PK masuk lebih dulu atau masuk lebih belakangan daripada GT. Saya sendiri merasa tidak masuk akal bila kedua pengawal lapas begitu bodoh membiarkan GT memakai jam tangan Rolex dari penjara di Sukamiskin dan tidak meminta GT melepaskan jam tangan tersebut bila hendak keluar makan di tempat umum! Memang, analisa yang saya kemukakan ini hanya sebatas kemungkinan, bukan kepastian! Untuk mendapat kepastian, yang harus dilakukan adalah melakukan investigasi, tidak bisa hanya dengan menebak-nebak!
Memutlakkan salah satu kemungkinan dari berbagai kemungkinan itu umumnya terjadi bila seseorang hanya bisa melihat dari satu sudut pandang (yaitu pandangan dirinya sendiri). Sebagai contoh, saat melihat si A yang berlari dari Barat ke Timur, si B yang berada di sebelah Timur si A akan mengatakan bahwa si A berlari mendekat, tetapi si C yang berada di sebelah Barat si A akan mengatakan bahwa si A berlari menjauh. Pertanyaannya, “Si A berlari mendekat atau menjauh?” Jawaban atas pertanyaan tersebut jelas tergantung dari siapa yang ditanya! Dengan perkataan lain, jawaban atas pertanyaan tersebut bersifat relatif. Hal yang serupa berlaku untuk kasus foto GT. Foto tersebut sama sekali tidak menunjukkan apakah “PK = GT” atau “PK bukan GT”. Foto tersebut hanya bisa disebut sebagai salah satu petunjuk! Sebenarnya, yang paling tahu apakah “PK = GT” atau “PK bukan GT” adalah PK sendiri. Oleh karena itu, sebenarnya kita memerlukan klarifikasi dari PK! Selanjutnya, yang “mungkin tahu” adalah I atau VS.
Usulan agar aparat menangkap I dan/atau VS (saya tidak mengerti mengapa PN atau admin Kompasiana tidak ikut diusulkan) adalah usulan yang konyol, sekalipun I atau VS dan mungkin juga PN (dari sisi identitas data di Kompasiana) adalah orang-orang yang “mungkin tahu” tentang PK. Usulan itu konyol karena di antara kita belum ada yang tahu (atau mengaku tahu) siapa sebenarnya PK. Seandainya PK ternyata bukan GT dan PK muncul, apa yang hendak Anda katakan? Seandainya pengusul sudah tahu dengan pasti bahwa “PK = GT”, seharusnya dia sudah tahu sebelum peristiwa di restoran itu terjadi (karena data foto masih memberikan banyak kemungkinan). Anehnya, bila dia sudah tahu dengan pasti bahwa “PK = GT”, mengapa dia tidak membuka hal itu sebelum foto itu muncul? Mungkinkah pengusul sudah tahu sebelumnya bahwa “PK = GT”, lalu memanfaatkan momen beredarnya foto tersebut untuk mengumumkan kepada publik bahwa “PK = GT”? Bila demikian, dapatkah pembaca mengusulkan siapa yang seharusnya lebih dulu ditangkap?
Jebakan kedua adalah penggunaan istilah-istilah asing yang tidak dimengerti atau hanya dimengerti secara samar-samar oleh publik. Misalnya, istilah “fallacy” yang diterjemahkan sebagai “sesat pikir”. Saya tidak mengatakan bahwa terjemahan itu salah, tetapi terjemahan itu nampaknya membuat banyak orang menjadi tersesat berpikir. Dalam bahasa Indonesia, perkataan “sesat” membuat orang berpikir tentang aliran sesat yang membuat para pengikutnya melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kehendak Tuhan. Padahal, kata “sesat” dalam istilah “sesat pikir” itu tidak menunjuk kepada ajaran sesat atau aliran sesat. Salah satu bentuk “fallacy” adalah “ad hominem” yaitu upaya menyerang kebenaran suatu klaim dengan menunjuk sifat negatif orang yang mendukung klaim tersebut. Dengan perkataan lain, argumen ad hominem adalah upaya membelokkan persoalan dari masalah yang sebenarnya (atau dari masalah yang sedang dibicarakan). Karena ketidakmengertian, seseorang yang pendapatnya dicap sebagai “ad hominem” oleh dewa logika akan diam dan merasa dirinya bersalah, padahal suatu pendapat yang disebut sebagai “ad hominem” bisa jadi sebenarnya berkaitan dengan pokok permasalahan pada tingkat tertentu.
Selain itu, sebagai seorang “manusia publik” (dosen, rohaniwan) yang hidup dalam budaya Timur, sang dewa logika tidak bisa memisahkan pribadinya dengan pendapatnya. Hanya orang yang tidak memiliki integritas saja yang meminta agar pribadinya dipisahkan dari pendapatnya. Bila kita membaca penjelasan Wikipedia tentang ad hominem, kita bisa menemukan adanya tokoh (“dugaan” saya, yang namanya disebut itu adalah ahli filsafat logika) yang setuju dengan penggunaan ad hominem untuk berargumentasi dalam konteks tertentu. Saya menyerukan agar para kompasianer yang disebut sebagai “ad hominem” oleh sang dewa logika untuk jangan cepat merasa bersalah atau merasa rendah diri karena penggunaan argumen “ad hominem” tidak selalu salah.
Jebakan ketiga adalah penggunaan stigma (cap atau sebutan) yang didasari oleh pemikiran yang sempit (pemikiran yang menganggap semua pemikiran yang bertentangan dengan pendapat dirinya sebagai pemikiran yang salah). Sebagai contoh, betapa latahnya penggunaan stigma “pro-koruptor” atau “tidak bersikap anti korupsi” di kompasiana. Seharusnya, semua asumsi yang digunakan untuk mencap seseorang sebagai pro-koruptor atau tidak antikorupsi harus dipertimbangkan masak-masak sebelum diucapkan. Dengan memberikan stigma negatif, kita sudah bertindak sebagai hakim yang memutuskan bahwa seseorang telah bersalah sehingga disebut sebagai pro-koruptor. Saya tidak tahu apakah di antara kompasianer ada yang benar-benar seorang hakim. Seandainya ada pun, tidak layak menjatuhkan vonis di luar pengadilan! Perhatikan bahwa seorang yang menyebut dirinya antikorupsi itu tidak selalu benar-benar anti korupsi. Justru, kadang-kadang terjadi bahwa seorang koruptor menyerukan sikap antikorupsi untuk menutupi korupsi yang dilakukannya!
Kita harus menguji setiap pemberian stigma, dan lebih baik bila kita tidak memberikan stigma kepada orang lain bila kita tidak memiliki wewenang untuk melakukan hal itu. Saya sendiri berkeyakinan bahwa yang berhak menjatuhkan vonis hanyalah Tuhan, Hakim yang adil itu, dan juga hakim-hakim resmi yang ditetapkan oleh negara! Saya tidak menyetujui sikap anarkis yang dilakukan secara fisik maupun secara mental, hanya dengan alasan bahwa aparat keamanan atau aparat penegak hukum belum melakukan tugasnya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H