Mohon tunggu...
Priyono .
Priyono . Mohon Tunggu... karyawan swasta -

life is sharing the simple things

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Jadi Orang Tua Harus Kuatir?

18 Juni 2012   02:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:51 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Hari ini, setelah membaca tulisan Mbak Aridha, saya jadi teringat kejadian yang sering kita lihat di lingkungan kita, yaitu tentang "panik"nya seorang ibu yang, misalnya, melihat anaknya yang tiba-tiba terjatuh karena tersandung batu dan menangis. Lalu biasanya untuk menenangkan si anak, si ibu lantas memukul-mukul tembok atau jalanan sambil bilang, "Ini tembok nakal", "Batunya nakal sudah ibu pukul", dan sebagainya.

Kita harus sadar bahwa melakukan hal tersebut bukan saja salah namun juga tidak mendidik. Biarkan dia jatuh agar dia tahu bagaimana berhati-hati. Sesungguhnya panik (baca: kuatir)-nya seorang ibu adalah hal yang naluriah. Namun dalam beberapa kasus, seperti contoh di atas, bersikap kuatir atau panik adalah hal yang tidak disarankan.

Tentu saja kita sebagai orang tua harus selektif memilih respon. Maksudnya adalah dalam kondisi seperti apa kita harus kuatir dan dalam keadaan bagaimana kita tidak boleh (terlihat) panik. Karena yang banyak terjadi adalah si anak "melihat" bagaimana respon orang tua. Anda sadar atau tidak, ketika si anak terjatuh dan Anda terlihat panik, maka anak akan menangis sejadi-jadinya. Kalau boleh saya mengimajinasikan, seolah-olah si anak berkata, "Ibu kuatir, nih. Aku menangis, ah biar tambah disayang..." atau "Ibu, sakiittt... tolong aku, dong!". Dengan langsung menolongnya dan bersikap kuatir sebenarnya justru akan membuat si anak merasa "didukung": menangis karena tersandung itu, boleh.

Lalu bagaimana kita harus bersikap ketika melihat anak kita tersandung?

Pertama kali, lihat apakah jatuhnya itu berkemungkinan menyebabkan keadaan fatal pada anak atau tidak. Bila tidak, tunggu sebentar jangan langsung diangkat, biarkan anak menyadari bahwa dirinya terjatuh. Lalu katakan dengan nada tegas (bukan keras) meminta dia untuk bangun, katakan kepadanya bahwa terjatuh seperti tidak apa-apa. Setelah itu dekati dia, pastikan dia memang tidak apa-apa (dengan memegang, dsb.) lalu ceritakan kenapa dia bisa terjatuh seperti tadi, misalnya, "Adek tadi jalannya ndak lihat bawah. Ini ada batu terus adek tersandung. Lalu jatuh, deh. Lain kali hati-hati, ya!"

Yang perlu saya garis bawahi disini adalah bahwa panik atau kuatir itu naluriah. Sungguh pun demikian, jangan sampai kepanikan tersebut "terserap" oleh anak.

Peduli pada anak bukan berarti memanjakannya.
=========

Selamat pagi.
Mari nge-teh!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun