Sampai kemudian aku memutuskan untuk kembali ke asrama saja. Emak bermaksud membungkuskanku masakannya. Aku malah membentak…
Ya, Allah… apa yang ada dipikiranku waktu itu. Sejak pagi emak membuat masakan kesukaanku itu. Demi menyambut aku, putra satu-satunya waktu itu. Jangankan menyentuhnya barang sedikit, pembuatnyapun malah aku hardik.
Dalam perjalanan kembali ke asrama, aku merenungi semua itu. Tapi toh semua sudah terlambat. Makanan itu tak pernah aku makan. Luka di hati emakpun sudah kugoreskan. Dan kata maaf, belum pernah terucapkan.
Aku malu, mak. Malu untuk meminta maaf.
***
Kalau ada yang bilang bahwa sungguh bodoh orang-orang yang masih memiliki orangtua namun tidak berbakti kepada mereka, barangkali aku termasuk salah satu di antara mereka.
Seringkali ada rasa sombong dalam hatiku. Aku merasa lebih tinggi dari emak, karena aku lebih paham teknologi terkini daripada emak.
Padahal, dulu ketika aku masih belum mengenal apa itu a, b, c, dan d, emak-lah yang lebih dahulu memperkenalkannya kepadaku. Lalu akupun mulai belajar membaca.
Emak juga mengajariku nama-nama benda, lalu dengan itu aku menjadi mengerti. Dan mulailah bermacam-macam permintaanku. Dan emak selalu dengan sabar menanggapiku.
Emak jugalah yang mentatihku berjalan. Kata emak, agar kelak aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri.
Lalu sekarang aku menjadi pribadi yang begitu angkuh terhadap emak! Aku merasa emak semakin membosankan. Emak begitu memalukan untuk diperkenalkan kepada teman-teman. Dan aku merasa enggan bila emak meminta tolong kepadaku untuk mengantar ke suatu tempat. Aku malas jika emak hendak bertamu ke rumahku, pikirku hal itu akan merepotkanku. Aku juga merasa risih kalau harus berdekatan dengan emak atau mempersiapkan apa keperluan emak.