Sebuah petuah spiritual mengajarkan bahwa sebelum menjadi pembicara yang baik, jadilah pendengar yang baik. Dalam konteks tulis-menulis, barangkali ungkapan tersebut bisa sedikit “digeser” menjadi; sebelum menjadi penulis yang baik, jadilah pembaca yang baik. Karena tentu antara korelasi antara pendengar dengan pembaca yang baik.
Pendengar yang baik, bukanlah pendengar yang selalu meng-iyakan apa kata pembicara. Pendengar yang baik mampu menyaring inti dari apa yang disampaikan pembicara. Ia kemudian mengolahnya sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya. Jika buntu, pendengar yang baik akan mengajukan pertanyaan hingga tak menimbulkan salah tafsir. Jika dirasanya berbeda (baca: menyimpang) dari pemahaman dirinya, maka pendengar yang baik akan mengajak diskusi, bukan malah protes berlebihan.
Hal yang sama akan terjadi pada seorang pembaca yang baik. Pembaca yang baik bukan cuma bisa memberi vote aktual, menarik, dan sebagainya, tapi lebih kepada kemampuannya menangkap maksud tulisan, mengerti apa yang dimau-i penulis. Tapi tidak berhenti disitu, pembaca yang baik mampu memberi kritik inspiratif dengan bahasa yang sopan. Bukan meledak-ledak, apalagi bukan meledek-ledek.
Barangkali terkait dengan hal itu Tuhan kemudian menganugerahi manusia dua buah telinga dan satu mulut, yang (mungkin) filosofinya adalah agar seorang manusia lebih banyak mendengar ketimbang bicara. Adalah suatu hal yang naif bila kita cuma pandai bicara tanpa tahu bagaimana mendengar.
Sementara dalam kasus penulis-pembaca, Tuhan menciptakan manusia dengan dua buah mata –untuk membaca- dan (satu) tangan untuk menulis, yang (mungkin) filosofinya tak berbeda dengan kasus pembicara-pendengar.
Jadi, jika anda merasa menjadi seorang penulis yang baik (baca: terfavorite), sudahkah anda menjadi pembaca yang baik?
Selamat pagi -setengah siang,
________________
dipost juga di sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H