Pretty Luci
Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim terkait akreditasi memunculkan banyak polemik. Banyak yang setuju tidak sedikit pula yang membantah. Yang uniknya pihak yang membantah ini justru datangnya dari pihak akademisi. Mereka rata-rata pengamat pendidik bahkan sejumlah professor. Mereka tampaknya menduga bahwa Nadiem sama sekali alergi pada akreditasi.
Memang sudah bisa diduga, sebagai menteri termasuk pejabat-pejabat publik lainnya. Apapun statement yang dikeluarkan Nadiem Makarim pastilah menjadi pokok bahasan di banyak kalangan. Apalagi Nadiem memimpin lembaga institusi. Dia adalah nakhoda dari kapal besar yang bernama pendidikan.
Dan saya mempunyai pendapat lain. Saya mendukung pernyataan Nadiem Makarim. Nyatanya fakta di lapangan masalah akreditasi tidaklah menjamin mutu dari lembaga itu. Kita tahu bahwa di pendidikan ini sangat banyak masalah. Salah satunya soal mutu. Nadiem mengungkit soal akreditasi. Menurutnya, akreditasi sama sekali tidak menjamin mutu. Tapi bukan berarti Nadiem menyatakan bahwa akreditasi tidak perlu. Hanya saja  ia mengatakan bahwa akreditasi tidaklah memberikan jaminan 100% bahwa institusi itu benar-benar bermutu. Tetapi janganlah institusi sibuk mengejar akreditasi tetapi abai meningkatkan mutu.
Contoh di lapangannya, misalkan UI yang sudah berakreditasi A tapi tidak masuk dalam ranking dunia atau beberapa kampus-kampus yang berakreditasi baik tapi tidak menjamin bahwa mutu lulusannya baik. Itu artinya apa yang disampaikan Nadiem itu ada benarnya. Namun tidak 100% benar. Mungkin maksud Nadiem mengatakan hal itu bahwa sudah terlampau sering sekali institusi di Indonesia kita, baik dari tingkat dasar, menengah hingga tinggi, menghabiskan banyak waktu dan energi hanya untuk mengurusi akreditasi.
Upaya mendapatkan akreditasi tampaknya seperti sebuah jaminan bagi institusi itu untuk dinilai bagus. Nyatanya usaha mengejar akreditasi justru sering sekali mengabaikan peningkatan mutu. Karena proses akreditasi lebih cenderung kepada usaha melengkapi berkas-berkas atau borang yang ribetnya minta ampun. Sementara berbicara mutu adalah bicara pengetahuan, keterampilan, dan profesionalitas. Ketiga hal itu tentu membutuhkan pelatihan, pembelajaran, peningkatan wawasan. Dan itulah seharusnya banyak dikerjakan oleh institusi pendidikan.
Kita bisa ambil contoh kucuran-kucuran dana dari pemerintah seperti BOS. Kenyataannya dana BOS jarang digunakan untuk peningkatan kemampuan guru, dan siswa. Sebaliknya, dana BOS dipakai untuk memperbaiki bangunan.
Dari sini dapat dilihat bahwa proses pengejaran akreditasi lebih banyak ke perbaikan birokrasi, tidak pada hal-hal yang bersifat substansi. Sehingga peningkatan mutu tenaga pendidik terabaikan. Padahal persoalan pendidikan kita adalah peningkatan mutu guru. Sehingga kebanyakan guru pun kesulitan dalam membuat RPP mengikuti kurikulum yang sudah diterapkan. Sehingga ujung-ujungnya berdampak pada siswa yang diajar yang lemah dalam bernalar pada perhitungan matematiknya, dan sebagainya.
Didukung data dari Kompas, ketakutan anak pelajar di tanah air kepada mata pelajaran matematika terlihat dari terlihat dari Survei Programme for International Student Assessment (PISA). Studi ini dilakukan kepada abah usia 15 tahun yang menempatkan bahwa kemampuan matematika anak pelajar Indonesia berada di peringkat ke-63 dari 72 tahun. Hal ini sungguh memprihatinkan, sebab peran kemampuan guru/tenaga pendidik sangat diharapkan dalam membimbing anak dari pendidikan dasar, hingga menengah.Â
Untuk dosen, Nadiem pun berharap agar para dosen harus mengubah paradigma dalam mengajar. Dosen tidak lagi menyampaikan seluruh materi. Namun, membentuk diskusi kelas sehingga mahasiswa lebih mendapatkan hal yang baru dari pertanyaan-pertanyaan yang timbul. Dosen pun akan menjadi tertantang untuk semakin belajar.
Nadiem menyontohkan dirinya sebagai lulusan hubungan internasional tapi malah sukses di bidang usaha rintisan. Yang artinya sekalipun kampusnya berakreditasi baik, tidak disangka bahwa ia sukses di bidang lain. Apa yang mengantarkan kesuksesan Nadiem sebagai interpreneur muda yang menghasilkan keuntungan milyaran  itu adalah produk pendidikan bahwa pendidikan yang dijalaninya berhasil membuatnya menjadi manusia yang kreatif. Menciptakan manusia-manusia yang kreatif dan inovatif inilah tujuan target pendidikan kita. Yaitu menghasilkan orang yang mampu berkarya secara mandiri.