Tulisan ini terbit di Harian KONTAN, Rabu, 20 Januari 2016
Peristiwa ledakan bom di kawasan Sarinah, Jakarta, menyedot perhatian publik dalam dan luar negeri dalam sekejap. Hiruk pikuk terkait aksi teror terjadi di dunia nyata juga di dunia maya. Berbagai media sosial ramai membahas tragedi tersebut.
Tidak butuh waktu lama hingga foto korban, video baku tembak dan ledakan bom tersebar secara viral lewat lini massa. Media massa arus utama secara sigap melaporkan kejadian. Sekali lagi, media sosial mengambil peran penting dalam mengkomunikasikan sebuah peristiwa.
Viralnya informasi kejadian teror di Jakarta kembali mencuri perhatian dunia. Indonesia menjadi trending topic lewat hashtag #PrayForJakarta dan #KamiTidakTakut. Meme juga tersebar secara cepat dalam jaringan media sosial. Mulai dari meme yang menunjukan rasa empati hingga meme yang satir.
Tapi bukan itu yang jadi perhatian saya kali ini, hal menarik yang bisa kita cermati adalah tidak adanya manajemen penanggulangan kala menghadapi kondisi darurat seperti terorisme.
Fenomena meme satir tentang penjual kopi, buah dan sate yang masih tetap jualan pasca ledakan menggambarkan sisi lain masyarakat. Bukan takut, bukan juga berani melainkan ketidaktahuan. Masyarakat tidak tahu akan bahaya yang mengancam, masyarakat tidak tahu harus berbuat apa, masyarakat kurang informasi bagaimana harus menyikapi kondisi darurat semacam itu. Â
Hal itu membuka celah yang menganga lebar menunggu untuk dibenahi. Ada ruang kosong yang perlu diisi. Masyarakat butuh panduan bersikap atau semacam prosedur yang aman dalam menghadapi kondisi darurat. Perlu ada informasi yang komprehensif berkaitan dengan cara menyikapi dan menanggulangi ancaman atau kejadian terorisme. Seperti halnya ketika di dalam pesawat, pramugari atau pramugara menyampaikan prosedur evakuasi dalam keadaan darurat.
Kejadian di Sarinah Kamis lalu (14/01) menunjukan bahwa kita tidak punya manajemen penanggulangan teroris, kita tidak memiliki prosedur yang memandu masyarakat ketika terjadi ledakan atau aksis teror.
Kerumunan orang dekat pos polisi pasca ledakan menunjukan bahwa tidak ada kesadaran masyarakat akan pentingnya keselamatan diri. Realitanya adalah masyarakat mendekat ke tempat kejadian ledakan. Hal ini serius. Kesadaran masyarakat masih rendah, ancaman atau kejadian buruk lain masih bisa terjadi sewaktu-waktu. Terbukti, pelaku teror berdiri bebas disekitar kerumunan dan menghabisi nyawa seseorang, baru setelah itu kerumunan pun bubar.
Indonesia perlu manajemen penanggulangan kondisi darurat terorisme. Belajar dari Amerika Serikat, mereka punya semacam pedoman khusus yang dibuat oleh Federal Emergency Management Agency (FEMA) yang bisa digunakan masyarakat dalam menyikapi terorisme. Misalnya saja terjadi aksi teror atau ledakan bom, buku panduan tersebut menjelaskan secara rinci tentang langkah-langkah yang harus dilakukan apabila hal itu terjadi disekitar.
Indonesia memang punya lembaga penanggulangan terorisme mirip dengan FEMA. Lembaga tersebut didirikan melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Sebagai lembaga yang memiliki tugas pokok menanggulangi terorisme seharusnya BNPT juga memperhatikan masyarakat, khususnya pedoman bagi masyarakat apabila ada aksi teror di sekitar mereka.