Mohon tunggu...
Habib Ab Abdul
Habib Ab Abdul Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

I still believe that if your aim is to change the world, journalism is a more immediate short-term weapon.\r\n\r\n- Tom Stoppard -\r\n

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi Effect Hanya Lambat Meledak

17 April 2014   05:05 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:35 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1397660430308710328

Foto oleh Kompas.com

Pemilu Legislatif (Pileg) 9 April lalu telah dilaksanakan dan hasilnya sudah diketahui lewat hitung cepat, di mana PDI-P menjadi pemenangnya dengan perolehan suara 19,23 persen (Hitung Cepat Kompas, 11/04/14), begitu pun dengan hasil survei yang dilakukan oleh berbagai lembaga hitung cepat lainnya yang menempatkan partai banteng tersebut berada di posisi teratas.

Hasil ini tentu mengecewakan bagi internal Partai PDI-P karena perolehan suara 19,23 persen tersebut jauh dari target internal PDI-P yang mematok angka sebesar 27 persen suara nasional. Sementara bagi para pesaing partai lainnya, hal ini cukup menggembirakan. Artinya tidak ada satu partai pun yang mampu melewati perolehan suara 20 persen untuk bisa memajukan capres dari internal partainya sendiri. Di sisi lain, hasil pileg lalu muncul dengan mematahkan tesis politik yang berkembang menjelang dilaksanakannya pileg yaitu Jokowi Effect.

Saya tidak tau dari mana, dan siapa yang pertama kali mempopulerkan tesis Jokowi Effect ini. Apakah dari kelompok para pengamat dan konsultan politik? Dari jurnalis dan media massa? Dari kalangan pengusaha dan pasar saham? Atau dari internal PDI-P sendiri? Sehingga, tesis Jokowi Effect begitu menggema mewarnai wacana politik nasional. Asumsi politik dari tesis Jokowi Effect ini pun berkembang semakin renyah paska pendeklarasian Jokowi sebagai capres dari PDI-P, seperti; “Majunya Jokowi sebagai capres menggugurkan nama capres lainnya”, “Pencalonan Jokowi sebagai capres menjelang kampanye akan menaikan suara PDI-P hingga 36 persen”, dan berbagai asumsi politiknya lainnya menjelang dilaksanakannya pileg 9 April lalu.

Lantas paska dilaksanakannya pileg dan hasilnya bisa diketahui segera di TV, muncul jawaban-jawaban baru yang bergentayangan terhadap tesis Jokowi Effect di atas, mulai dari jawaban yang menyebutkan bahwa tesis Jokowi Effect tidak manjur, karena perolehan suara PDI-P hanya di bawah 20 persen, serta melesetnya prediksi pengamat politik. Dan fakta lainnya bahwa persaingan menuju RI 1 menjadi semakin ketat di antara dua hingga tiga kandidat capres.

Di dalam kolom blog ini, saya ingin mencoba untuk menguraikan tentang tesis Jokowi Effect tersebut, dan mengajukan beberapa pertanyaan untuk saya jawab sendiri.

Pertama; Benarkah Jokowi Effect tidak ampuh?

Kedua; Apakah Jokowi sebagai pribadi dan capres, harus bertanggung jawab atas kegagalan tesis Jokowi Effect yang membuat tidak tercapainya target internal partai?

Jawaban Pertama, Benarkah Jokowi Effect tidak ampuh?

Jawaban saya untuk pertanyaan pertama ini adalah; Jokowi Effect bukan tidak ampuh, tapi hanya lambat untuk meledak. Kita menerima tesis Jokowi Effect muncul dalam wacana politik nasional kita. Tapi sebagai sebuah tesis politik yang masih bayi, tesis Jokowi Effect ini tidak akan memberikan jawaban secara langsung terhadap fakta politik di lapangan. Tesis ini masih butuh waktu yang sedikit lama untuk benar-benar menjadi sebuah tesis yang aplikatif dan sesuai dengan jawaban sementaranya.

Menurut saya, sampai paska hasil hitung cepat pileg minggu lalu, sesungguhnya tesis Jokowi Effect itu masih terus akan membuktikan jawabannya sampai saat ini, bahwa Jokowi Effect itu benar-benar terjadi dampaknya dalam hiruk pikuk politik nasional saat ini, setidaknya khusus untuk Partai PDI-P. Hanya saja, perilaku politik kita cendrung tidak bisa untuk bersabar menyaksikan fenomena gejala politik itu terjadi. Sehingga, kita menuntut untuk adanya pembuktian atas fenomena politik tersebut dengan waktu yang cepat.

Saya akan coba memberikan contoh dari tesis Jokowi Effect yang sesungguhnya berdampak untuk perolehan suara partai PDI-P. Dalam contoh ini tentu akan saya jelaskan keterlibatan Jokowi sendiri sebagai objek dari tesis Jokowi Effect tersebut, misalnya keterlibatan Jokowi dalam upaya memberikan dampak suara terhadap PDI-P, di mana Jokowi ikut terjun dalam proses kampanye di daerah-daerah, seperi DKI Jakarta, Jawa Barat, Sumatera Utara, Bali, dan Jawa Tengah. Alasan saya menjadikan lima provinsi di atas karena, besarnya perhatian media massa dalam kompetisi pilkada di daerah tersebut. Dan kehadiran Jokowi, sebagai kader PDI-P yang menjadi jurkam pilkada di lima provinsi tersebut menambah angin segar yang dihembuskan untuk para kandidat yang diusung PDI-P. Tentunya, lima provinsi di atas juga menjadi barometer politik nasional karena besarnya jumlah penduduk, dan sumbangannya bagi pertumbuhan ekonomi-sosial-politik di Indonesia.

Jokowi Effect dari Jakarta ke Daerah

Nama Jokowi sebagai politisi semakin melambung setelah keikutsertaanya dalam kompetisi pemilihan pilgub DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Banyak orang yang menyetujui bahwa kompetisi pilgub Jakarta tahun 2012 merupakan yang paling kompetitif persaingan, karena melibatkan banyak tokoh-tokoh politik terkenal, mulai dari incumbent Fauzi Bowo, Hidayat Nur Wahid, Alex Nurdin, dan Faisal Basri. Dalam persaingan yang berlangsung selama dua ronde ini, Jokowi dan pasanganya Ahok menang dua set langsung. Pada putaran pertama, Jokowi berhasil memperoleh suara sebanyak 42,85 persen. Sementara saingan terdekatnya, Fauzi Bowo, mengumpulkan suara sebanyak 34,42 persen suara. Lanjut di putaran kedua, Jokowi kembali unggul dengan jumlah suara 53,82 persen, sedangkan Fauzi Bowo mengumpulkan 46,18 persen. Jokowi pun keluar sebagai pemenang, dan PDI-P mengambil alih kuasa Jakarta yang sebelumnya dipegang oleh Demokrat dan PKS.

Sejak menjadi gubernur Jakarta, nama Jokowi terus menjadi sorotan mata kamera wartawan yang terus meliput implementasi janji kampanyenya di lapangan. Jokowi sebagai individu pun semakin populer. Banyak dari gayanya ditiru oleh para politisi lainnya, mulai dari Kemeja Kotak Merah yang menjadi ciri baju kampanyenya, sampai pada gaya kerja politiknya yang selalu blusukan ke kantong-kantong masalah, yang turut kembali membangkitkan semakin berpolitik seperti yang pernah dilakukan oleh para politisi kita terdahulu. Tak bisa dipungkiri, wajahnya yang menghiasi pemberitaan media di koran, internet dan TV membuatnya mendapat julukan Media Darling.

Jokowi sebagai Media Darling jurnalis ibukota, diuntungkan oleh banyaknya pemberitaan yang positif terkait dengan kinerjanya, seperti upaya Jokowi mencegah dampak banjir Jakarta, reformasi birokrasi pejabat daerah, relokasi Waduk Pluit dan Waduk Ria Rio, relokasi PKL ke Blok G, serta hal lainnya yang terkait dengan tindak-tanduk kinerja pemerintahan DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi. Gencarnya pemberitaan positif Jokowi yang turut diikuti oleh masyarakat lainnya di luar daerah Jakarta, dan memberikan semacam cap atau stempel untuk Jokowi atas usaha berhasil Jokowi dalam menata ibukota yang sebelumnya tidak bisa dilakukan oleh gubernur terdahulu. Sehingga pemberitaan positif itu memberi nilai tidak langsung dari masyarakat untuk Jokowi bahwa hasil positif yang sedang terjadi di ibukota Jakarta karena pemerintahan tanggap Jokowi.

Dampak bagi daerah lain apa? Tentu adanya keinginan dalam bingkai bayang berita di TV dan koran oleh masyarakat di daerah untuk bisa memiliki sosok pemimpin seperti Jokowi yang mereka lihat dan baca setiap harinya. Dari sinilah, di Jakarta, kampanye untuk memperkenalkan Jokowi Effect dimulai. Dari Jakartalah, gerakan Jokowi Effect secara tanpa/kita sadari telah dilakukan, dan coba diimplementasikan di daerah lainnya. Caranya adalah menjadikan Jokowi sebagai jurkam pilgub para jagoan PDI-P yang terjun dalam persaingan pilgub di daerah. Harapannya tentu dengan kehadiran Jokowi di daerah dan mendukung teman separtainya bersaing akan mampu mendulang suara untuk calon dari PDI-P.

Dan hasil tim pemenangan PDI-P mengumumkan, bahwa DKI Jakarta berhasil dimenangkan oleh PDI-P pada pileg 9 April lalu. Jakarta yang selama ini menjadi basis kekuatan dari PKS dan Demokrat jatuh ke pelukan PDI-P. Tentu faktor ini adalah berkat peran Jokowi Effect sebagai gubernur serta politisi PDI-P yang saat ini sedang memerintah di ibukota.

Kampanye Jokowi di Jawa Barat

Ladang pertama untuk membuktikan tesis Jokowi Effect berpengaruh dalam mendulang kemenangan bagi para jago PDI-P di daerah adalah di pilgub Jawa Barat (Jabar). Tanpa pasangan partai koalisi, calon PDI-P di pilgub Jabar 2013 adalah tokoh perempuan Rieke Diah Pitaloka dan tokoh anti-korupsi Teten Masduki. Sementara para kandidat lainnya adalah incumbent Ahmad Heryawan yang berpasang dengan tokoh film Deddy Miswar. Sementara wakil gubernur Dede Yusuf berpasangan Lex Laksmana, dan Yance berpasangan dengan Tatang.

Dalam beberapa kampanye yang dilakukan oleh Rieke-Teten di Jabar, Jokowi turut hadir berkampanye di depan massa simpatisan PDI-P dan orang yang ingin melihat kehadiran Jokowi. Untuk tujuan menarik massa hadir dalam kampanye, Jokowi bisa saja berhasil, tapi hasil akhir dari perolehan suara adalah hal yang menentukan apakah jago PDI-P di Jabar memenangkan pilgub? Berdasarkan hasil data KPUD Jabar pasangan Aher-Deddy memperoleh suara 6.515.313 suara (32,39%), sedangkan Rieke-Teten berada di posisi kedua dengan memperoleh 5.714.997 (28,41%), Dede-Lex sebesar 5.077.522 (25,24%) dan Yance-Tatang 2.448.358 (12,17%).

Secara total jumlah suara antara Rieke dan Aher memang cukup besar, yakni delapan ratus ribu lebih suara. Tapi untuk bisa mendapatkan posisi kedua perolehan suara di wilayah yang memang menjadi basis massa Demokrat dan Golkar, adalah prestasi yang cukup lumayan. Setidaknya inilah yang bisa menjadi modal kuat bagi PDI-P menghadapi pileg dan pilpres di 2014. Lantas apakah hasil? Berdasarkan data tim PDI-P paska pileg 9 April lalu, Jawa Barat menjadi salah satu dari 15 provinsi yang dimenangkan PDI-P. Ini sudah menjadi modal cukup yang bisa membuat PDI-P pede dalam pilpres mendatang. Setidaknya Jabar yang sebelumnya identik dengan Demokrat dan Golkar, kini jatuh ke tangan PDI-P. Menurut saya ini adalah gelombang kecil dari Jokowi Effect di luar Jakarta.

Kampanye Jokowi di Sumatera Utara

Dalam kontestasi hiruk pikuk persaingan kepala daerah Sumatera Utara (Sumut) menjadi salah satu pilkada yang meraih perhatian penting media nasional. Tentu hal ini karena, Sumatera Utara adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbesar keempat setelah Jabar, Jateng, dan Jatim. Dalam beberapa periode pemilu paska reformasi, tidak pernah ada satupun partai yang terus berkuasa di Sumut. Pada pemilu tahun 1999 PDI-P meraih suara terbanyak di sini, lalu 2004 Golkar menjadi yang pemenang terbanyaknya, dan di tahun 2009 Demokrat merasakan menjadi pemenang.

Jago PDI-P dalam pilgub Sumut tahun 2013 adalah Effendy Simbolon – Jumiran Abdi, calon partai lain adalah incumbent Plt Sumut Gatot berpasangan Tengku Erry, Gus Pasaribu – Soekirman, Hairuman Harahap – Fadly Nurzal, Amri Tambunan – Rustam Effendy. Dalam persaingan pilgub Sumut, PDI-P mengggandeng partai kecil seperti PDS dan PPRN.

Kehadiran Jokowi ke Medan, ibukota Sumut, dalam upaya mendukung jago PDI-P cukup menyita perhatian media massa lokal dan nasional, serta mampu menarik animo masyarakat Sumut. Bersarkan pengamatan saya, bisa dibilang Sumut adalah tujuan kunjungan daerah pertama Jokowi dan yang paling jauh di luar ibukota pada waktu itu. Sehingga rasa penasaran masyarakat akan sosok Jokowi yang selalu menjadi pemberitaan media bisa diwujudkan dengan menghadiri kampanye terbuka pilgubsu calon PDI-P di Sumut.

Dalam amatan penulis yang berasal dari Sumut, kehadiran Jokowi mampu mendongkrak raihan suara jago PDI-P di Sumut. Hal tersebut terlihat dari hasil akhir KPU yang menempatkan jago PDI-P di Sumut berada di posisi kedua. Menurut penulis, hasil ini sangat positif untuk jagonya PDI, pasalnya keterkenalan akan sosok Effendy Simbolon di masyarakat Sumut saat itu masih jauh sangat kecil dibandingkan calon wakilnya Jumiran Abdi, yang memang mantan PNS Pemprovsu dan politisi lokal, sedangkan Effendy merupakan cagub dan anggota DPR-RI perwakilan DKI Jakarta.

Hasil akhir hitungan KPUD Sumut memutuskan pasangan Gatot-Tengku Erry menjadi pemenang pertama dengan perolehan suara 1.604.337 (33,00%), sedangkan Effendy-Jumiran 1.183.178 (24,36%), posisi ketiga Gus-Soekirman dengan jumlah suara 1.027.433 (21,13%).Terlepas faktor besarnya angka golput sebanyak 51,49 persen, dan kecilnya partisipasi warga Sumut dalam menggunakan hak politiknya, serta strategi politik internal partai PDI-P dalam mengusung calon yang dijagokan, setidaknya kehadiran Jokowi yang membawa angin Jokowi Effect mampu merambahi warga Sumut, khususnya dalam mendulang masuknya katong suara calon dari PDI-P.

Dampak yang bisa dirasakan dari Jokowi Effect paska pileg 9 April lalu adalah, Sumut juga masuk dalam 15 wilayah provinsi yang dimenangkan PDI-P. Tentu kabar ini membuat partai lain seperti PKS dan Demokrat gigit jari, terlebih PKS yang pada pilgubsu lalu calon gubernur yang mereka usung menjadi pemenangnya.

Kampanye Jokowi di Bali

Sosok Jokowi tetap dijadikan juru kampanye dalam pilkada Bali 2013 lalu. Bali merupakan salah satu basis tradisional terkuat PDI-P selain Jateng. Dalam kompetisi pilkada 2013, wakil gubernur Bali saat itu, AA Ngurah Puspayoga menjadi jago PDI-P yang berhadapan dengan incumbent Made Mangku Pastika, yang pada tahun 2008-2013 diusung oleh PDI-P.

Pilkada di Bali tahun 2013 lalu menjadi persaingan pilkada yang paling sengit, karena perolehan hasil akhir dua kandidat berselisih tipis yaitu 996 suara saja. Hasil pilkada di Bali dimenangkan oleh pasangan incumbent dengan jumlah suara 1.063.734 (50,02%), sedangkan AA Puspayoga meraih suara 1.062.738 (49,98%).

Terlepas dari sengketa politik hasil pilkada Bali tahun 2013 yang dibawa ke Mahkamah Konstitusi, serta intri-intrik politik yang menjadi bumbu penambahnya. Kehadiran Jokowi dalam kampanye pilkada di Bali tentu menarik perhatian peliput media. Terlepas dari berhasil atau tidaknya Jokowi Effect di Bali dengan kehadiran Jokowi untuk memenangkan jago PDI-P, ini menjadikan suatu penilaian yang sulit, karena pada dasarnya warna tanah politik di Bali adalah merah. Dan dalam kasus pilkada Bali, kandidat yang saling berkompetisi merupakan sama-sama kader polesan PDI-P. Namun satu yang tetap bisa dijaga oleh PDI-P di Bali yaitu, hasil pileg 9 April lalu tetap dimenangkan oleh PDI-P.

Kampanye Jokowi di Jawa Tengah

Basis massa terbesar PDI-P di Indonesia adalah Jawa Tengah (Jateng). Provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia ini tentu juga menarik perhatian media nasional. Untuk ke sekian kalinya, Jokowi yang juga berasal dari Solo, Jateng, dilibatkan dalam pemenangan kampanye jago dari PDI-P yang juga asli Jateng Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Bupati Purbalingga Heru Sudjatmoko. Selain itu calon incumbent yang pada 2008-2013 didukung oleh PDI-P Bibit Waluyo, juga ikut kembali berpasangan dengan rektor UNS Semarang Sudjiono, lewat dukungan partai Demokrat, PAN dan Golkar. Calon lainnya adalah sekda jateng Hadi Prabowo dan Don Murdono.

Hasil KPUD Jateng memutuskan Ganjar-Heru sebagai pemenang dengan suara 6.962.417 (48,82%), Bibit-Sudjiono 4.314.813 (30,26%), Hadi-Bon 2.982.715 (20.92%). Berbeda dengan hasil pilkada di Jabar, Sumut dan Bali yang dimenangkan oleh calon incumbent. Ternyata Bibit yang juga merupakan incumbent tidak berhasil merebut simpati rakyat Jateng untuk bisa melanjutkan kepemimpinan dua periodenya. Bendera PDI-P terlalu kuat tertanam di Jateng. Dan data hasil suvey pileg 9 April lalu, Jateng menjadi penyumbang terbesar dalam perolehan suara nasional PDI-P yaitu 12 persen (Kompas, 10/04/14).

Melihat dari hasil pileg 9 April lalu, seharusnya PDI-P tidak perlu terlalu gusar bahwa target suara nasional 27 persen tidak tercapai. Jumlah suara 19,23 yang diraih PDI-P sebenarnya sudah cukup hebat, meskipun kenaikannya hanya sebesar (+)5,16 persen jika dibandingkan hasil pileg tahun 2009. Mesin kerja politik PDI-P seperti mesin Tank Panser yang lambat panas, tapi jika mesin sudah stabil halangan di depan tak tampak. Lihat saja bagaimana PDI-P mampu meraih kemenangan di 15 provinsi Indonesia, tentu ini juga berkat gelombang kecil dari Jokowi Effect. Sekarang tinggal bagaimana PDI-P mampu menciptakan gelombang kedua yang lebih besar dari tesis politik populer saat ini, Jokowi Effect, dengan kerja politik yang bagai mesin Tank Panser itu.

Jawaban kedua, Apakah Jokowi harus bertanggung jawab atas tesis Jokowi Effect terhadap gagalnya perolehan suarapartai?

Jokowi tidak harus bertanggung jawab atas gagalnya target 27 persen yang dipatok oleh PDI-P untuk pileg 9 April lalu, terlebih untuk tesis Jokowi Effect ini. Jokowi sebagai objek dari tesis politik, tidaklah seperti objek tesis dalam ilmu pasti yang perkembangan dan perubahan dari si objek bisa terus diamati. Keyakinan para pengamat bahwa Jokowi Effect akan mampu mendulang raihan suara PDI-P sampai 36 persen adalah keyakinan yang berlebih.

Saya ambil contoh, paska deklarasi capres Jokowi melalui Surat Perintah Tugas dari PDI-P, respon masyarakat dan segmen lainnya berlebihan dalam menyambut majunya Jokowi. Pada penutup pekan hari Jumat, menjelang kampanye terbuka sabtu 15 Maret 2014, harga pasar saham menyambut dengan nilai positif dan rupiah menguat terhadap dollar atas pencapresan Jokowi. Ini karena segmen pasar saham mendapat kejutan dari kabar politik, dan maju atau tidaknya Jokowi telah ditunggu-tunggu masyarakat dari berbagai segmen. Tapi bagaimana dengan hari-hari berikutnya setelah deklarasi Jokowi sampai pada hasil pileg 9 April, apakah harga saham selalu ditutup dengan nilai positif? Apakah nilai tukar rupiah terus menguat terhadap dollar? Tentu tidak, pasang turut pasti tetap terjadi. Hanya hal tersebut masih merupakan kejutan kecil dan singkat dari Jokowi Effect atas pencapresan Jokowi.Dan sentuhan positif Jokowi Effect di dalam harga saham (ekonomi) tentu berbeda di dalam bidang politik. Meskipun kaitan hubungan antara ekonomi dan politik erat. Namun dalam kasus gagalnya tesis Jokowi Effect terhadap perolehan suara PDI-P di pileg, tentu dikarenakan adanya faktor-faktor strategi politik dari PDI-P sendiri yang mungkin kurang maksimal, sehingga membuat tim PDI-P terlalu berkeyakinan tinggi dan ‘kepedean’ dalam merespon hasil survey terhadap elaktabilitas Jokowi yang selalu tinggi, sehingga kerja politik lengah dan target tidak terpenuhi.

Kiranya faktor-faktor yang membuat tidak tercapainya misi PDI-P dikarenakan kurangnya iklan diri Jokowi di layar TV. Mengingat TV masih merupakan faktor terbesar dalam upaya pengenalan tokoh terhadap masyarakat. Dan pengamatan penulis, hanya ada dua versi iklan kampanye ‘Indonesia Hebat’ dari PDI-P yang tayang di TV. Tapi hal tesebut tidak perlu terlalu diperbedatkan, karena saat ini PDI-P sedang bermain bola cantik yang terkesan bertele-tele dan lambat, tapi target jelas Jokowi For President adalah hasil akhir. Kita lihat saja nanti!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun