Mohon tunggu...
Ticklas Babua Hodja
Ticklas Babua Hodja Mohon Tunggu... Konsultan - Petani/Buruh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Life is choise

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarah Penyebutan Wanita dan Perempuan di Indonesia

7 Juni 2021   08:23 Diperbarui: 7 Juni 2021   08:32 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perannya sebagai masyarakat kelas dua juga jelas terlihat dalam Panca Darma Wanita yang berbunyi; wanita sebagai pendamping suami setia, wanita sebagai penerus keturunan bangsa, wanita sebagai pembimbing anak, dan wanita sebagai pengelola rumah tangga dan pencari nafkah tambahan. Narasi domestikasi melalui ideologi ibuisme mewarnai gerakan perkumpulan wanita di masa ini.

Wanita yang baik direpresentasikan sebagai pribadi yang manut dan patuh pada suami, tidak neko-neko, lemah lembut, merawat anak dengan baik, dan tidak banyak menuntut. Sedangkan kata perempuan mengalami proses peyorasi yaitu berubah menjadi makna negatif. Karena diksi perempuan mengarah pada sebuah pergerakan yang massif, melawan ketertindasan, mendobrak kodrat, dan anti kemapanan.

Gerakan kamuflase Ibu dan Politik Susu untuk Merebut Posisi Perempuan

Tidak hanya diam, gerakan melawan domestikasi wanita dimasa Orde Baru  juga banyak dilakukan. Seperti munculnya solidaritas perempuan, APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan), Yayasan Jurnal Perempuan, dan lain sebagainya. Organisasi ini sengaja menggunakan diksi perempuan sebagai upaya melawan otoriterisme Orde Baru terhadap posisi perempuan.

Organisasi perempuan ini banyak mengkritik kebijakan Orde Baru melalui gerakan kamuflase ibu dan politik susu. Diksi "ibu" digunakan untuk menarik simpati publik secara umum atas kondisi perempuan di masa tersebut. Perempuan hanya didoktrin untuk menjalankan kewajiban domestiknya, dituntut untuk mentaati suami secara mutlak namun tak ada hak yang ia dapatkan. Bahkan mereka tertekan secara ekonomi karena tak mampu memberikan gizi yang cukup bagi anak di tengah krisis moneter yang mencekik perekonomian negara.

Sedikit demi sedikit organisasi perempuan mulai menghilangkan legacy patriarki yang dibangun oleh Orde Baru meskipun belum seluruhnya. Kementerian berubah nama menjadi Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, berdirinya Komnas perempuan, Inpres no 9 Tahun 2000 yang mewajibkan seluruh instansi pemerintahan melakukan pengarusutamaan gender, UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah tangga, dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.

Bersamaan dengan dibukanya keran demokrasi dan kebebasan pendapat pasca reformasi, maka perempuan juga memiliki kebebasan untuk menyampaikan aspirasinya, tak lagi menumpang pada jabatan suami, dan berkesempatan menduduki jabatan politik karena kemampuan dirinya.

Berkaca pada bagaimana makna wanita di masa Orde Baru dimaknai sebagai konco wingking bagi laki-laki, maka pasca reformasi penggunaan diksi perempuan lebih banyak digunakan. Selain itu, secara arti bahasa makna perempuan memiliki makna yang lebih mulia dan bermartabat. Karena berasal dari kata empu yang berarti tuan, orang yang mahir, hulu, dan besar. Diksi perempuan lebih merepresentasikan maknanya sebagai pribadi yang mandiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun