Mohon tunggu...
Pipit Agustin
Pipit Agustin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seniman Tepung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Bagi-Bagi Rice Cooker Gratis, Kebijakan yang Problematis?

12 Desember 2022   12:41 Diperbarui: 12 Desember 2022   13:26 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tinggal colok, bisa matang sendiri. Begitulah penggunaan rice cooker saat ini, sangat praktis dan efisien. Tidak hanya bisa digunakan untuk menanak nasi saja, tetapi juga  dapat merebus air, mengukus, masak sayur, hingga membuat kue. Sebagian kalangan bahkan  menilai penggunaan rice cooker tidak akan terlalu berpengaruh ke meteran listrik.

Seperti diketahui, baru-baru ini pemerintah berencana akan membagikan 680.000 unit rice cooker secara gratis kepada keluarga penerima manfaat (KPM). Program tersebut ditujukan untuk masyarakat tidak mampu atau lebih tepatnya pelanggan listrik rumah tangga bersubsidi dengan daya 450 dan 900 Volt Ampere (VA). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan rencana baru untuk meningkatkan konsumsi listrik masyarakat melalui program yang  bernama Program Bantuan Penanak Nasi Listrik (PBPNL).

Dadan Kusdiana, Plt Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, anggaran untuk program tersebut mencapai Rp 340 miliar dari dana APBN dan  saat ini telah masuk dalam DIPA Ditjen Ketenagalistrikan Tahun Anggaran (TA) 2023. Konon, program ini dapat menghemat subsidi LPG 3 kg mencapai Rp52,2 miliar dengan total biaya pengadaan Rp240 miliar tahun depan.

Kebijakan ini menuai kritikan dan mengundang tanya banyak kalangan. Apa manfaat yang akan didapat? Pemerintah mengeklaim, program ini mengandung dua manfaat, pertama, mendukung program Presiden Jokowi dalam pemanfaatan energi bersih yang dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Kedua,  untuk mengurangi penggunaan LPG 3 kg, yang  otomatis akan mengurangi beban impor LPG nasional sebagai salah satu upaya transisi menuju energi bersih.

Jika kita menelisik lebih jauh, pemerintah terkesan ingin menyelesaikan persoalan oversupply atau kelebihan kapasitas listrik namun caranya belum tepat. Selain mengada-ada, kebijakan ini juga terkesan mubazir, dan tidak nyambung. Penghematan penggunaan LPG 3 kg, tidak akan signifikan dengan dibaginya rice cooker karena, faktanya, memasak lauk dan lain-lain tetap menggunakan kompor dengan LPG 3 kg, sedangkan rice cooker hanya memasak nasinya saja.

Akan halnya transisi energi bersih, bukankah hal ini bisa dicapai apabila sumber listriknya dapat terlepas dari ketergantungan batu bara? Selama pembangkit listrik kita masih didominasi batu bara, sehingga upaya mengurangi emisi di hilir konsumen jelas tidak akan efektif. Lagipula, permasalahan yang ada selama ini bukan dari sisi hilir pengguna. Sepertinya, kebijakan ini akan kembali mengulang kegagalan rencana kompor induksi listrik sebelumnya.

Sebenarnya, masyarakat membutuhkan sesuatu yang jauh lebih penting ketimbang rice cooker, yaitu jaminan pemenuhan kebutuhan pokok dan jaminan  kerja bagi kepala keluarga. Dan dalam hal ini, masyarakat sama sekali tidak diuntungkan, tetapi perusahaanlah yang bakal meraup untung dari pengadaan rice cooker ini secara massal.

Semua ini akibat kebijakan ambisius pemerintah tanpa kerangka akidah. Pada Mei 2015 lalu, pemerintah telah meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW. Pemerintah hendak mewujudkan kemandirian dan kedaulatan energi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, Indonesia justru banyak bergantung pada swasta dalam tataran realisasi kebijakannya.

Inilah realitas pengurusan hajat publik oleh negara yang mengadopsi prinsip-prinsip kapitalisme sekuler. Negara kapitalis sangat menggilai angka-angka pertumbuhan ekonomi, investasi, peningkatan konsumsi, ekspor-impor, dan pasar bebas, meski tak satupun terbukti dinikmati rakyat. Karena selama ini negara hanya menjadi objek pasar industri kapitalis global. Lantas bagaimana bisa mewujudkan kemandirian?

Kemandirian itu soal visi yang berangkat dari mindset bernegara. Jika definisi kemandirian adalah kemampuan mengatur diri sendiri dan tidak bergantung pada pihak lain, maka, di aspek manakah Indonesia berada? Faktanya, sumber-sumber energi negeri ini banyak yang 'berbendera asing'. Batu bara, minyak bumi, emas, dll yang sejatinya milik seluruh rakyat, faktanya dikuasai segelintir korporat atas restu negara melalui mekanisme investasi di bawah payung regulasi Omnibus Law.

JIka pemerintah serius hendak mewujudkan kemandirian hakiki, pemerintah  harus merevolusi industri dari industri konsumtif menjadi industri strategis, seperti industri alat-alat berat sebagai penopang industri-industri lainnya. Lebih penting lagi, negara harus mengubah posisi dari hanya sekadar regulator, menjadi actor, yakni menjadi pengelola langsung sumberdaya alam milik publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun