Merdeka dari Penjajahan Budaya (Pelajaran dari Itaewon)
Perayaan haloween telah usai. Namun, duka masih menyelimuti Korea Selatan. Tragedi Itaewon telah mengorbankan  156 nyawa dan 172 orang cedera. Di Indonesia, ada tragedi Kanjuruhan yang juga memilukan, lalu event Berdendang Bergoyang dan masih banyak lagi ajang hiburan maupun peyaraan yang justru berakhir menyedihkan. Kita semua patut merenungkan dengan mendalam. Terlintas tanya, mengapa generasi muda hari ini sangat menggandrungi hura-hura tanpa memikirkan maknanya?
Tak dimungkiri, globalisasi ekstrem telah menularkan  budaya asing ke berbagai negeri. Dalam konteks islam, menularkan budaya kafir ke negeri-negeri muslim. Generasi muda cenderung latah dan terlalu liberal sehingga sangat adaptif dan permisif terhadap budaya asing yang tidak memiliki akar historis maupun filosofis dalam ajaran agama.
Akibat Sekularisasi Global
Globalisasi saat ini juga memuat invasi. Pola penjajahan era baru  ini bukan lagi fisik, melainkan berbentuk nonfisik, seperti industri life style, termasuk perayaan-perayaan yang hanya sekadar mengeksploitasi sisi kesenangan, seperti Halloween. Pola invasi modern menyasar generasi muda bahkan anak-anak, di mana fokus utamanya dengan menjual 'budaya' juga produk branded dengan tarif yang tidak murah. Industri life style yang ditumbuhkembangkan dalam ruang kapitalisme sekuler liberal begitu ampuh memengaruhi konsumen, yakni generasi muda di negeri-negeri muslim. Mereka dijadikan pasar industri hiburan ini, dibuai dengan kesenangan yang ditawarkan, serta dibuat ketagihan sampai-sampai membuat mereka tidak mampu berpikir cemerlang. Inilah sejatinya bentuk eksploitasi konsumerisme kaum muda. Ini adalah hegemoni sejati kapitalisme sekuler liberal terhadap kaum muslim.
Bentuk invasi ini tak kalah berbahaya dibandingkan invasi senjata. Mereka, generasi muda tidak menyadari bahwa sejatinya sedang terjajah. Akibat hembusan paham kebebasan dan keterbukaan kepada semua budaya, mereka kehilangan sensor dan filter tsaqofah. Isme-isme destruktif seperti liberalisme, feminisme, sekularisme latah diikuti tanpa mengkajinya dahulu. Tak hanya itu, mereka pun menyandarkan orientasi dan makna kebahagiaan dan kesuksesan sebagaimana kata banyak orang, yakni cenderung bersifat materialis.
Bahaya lainnya dari invasi budaya dan pemikiran asing terhadap generasi muslim adalah hilangnya sense of belonging terhadap islam ideologis dan mengikis spirit dakwah dalam rangka  amar makruf nahi  mungkar. Propaganda media secara massif telah menggeser kedudukan tsaqofah islam yang mulia dan menggantinya dengan tsaqofah Barat yang sekuler. Kita lebih sering menyaksikan gosip murahan, iklan produk dan iklan gaya hidup bertebaran di media sosial, dibandingkan tsaqofah islam. Alhasil, gempuran gaya hidup bebas, konsumerisme, dan hedonisme lebih mendominasi ruang pikir generasi dan itulan yang mereka amalkan. Hidup mereka disibukkan dengan urusan perut dan kesenangan dunia, tanpa sensosr halal-haram.
Banyak generasi muda yang tidak menyadari, ini penjajahan atau bukan, ini kezaliman atau bukan. Hal ini menunjukkan sikap mental generasi umat Muhammad tengah terbelenggu sekularisme akut sehingga mereka tidak cepat tanggap terhadap penjajahan. Kalaupun mereka mengetahuinya, mereka cukup merasa resah tanpa berani bersuara. Tidak ada kapasitas pada diri mereka untuk berinteraksi dengan probematik umat yang lebih luas serta tidak adanya kualitas diri yang sepadan untuk bervisi besar membebaskan umat dari keterjajahan.
Merdeka dengan Islam
Islam memiliki visi mulia dalam membangun generasi, yang tidak sekadar menjadi manusia "duniawi" yang menjalankan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan biologis, tetapi menjadi manusia "ukhrawi" yang menjalankan hidup dengan kepribadian khas berorientasi akhirat. Untuk itu, Islam memberikan pedoman untuk meraih tujuan mulia generasi. Islam menjaga tumbuhkembang generasi dalam koridor syariat yang komprehensif dalam sebuah naungan institusi negara yang dikenal dengan nama khilafah. Menurut Imam Al-Ghazali, ada lima penjagaan yang harus dilakukan oleh negara, yakni menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan, dan menjaga harta.
Generasi islam adalah generasi yang punya kepribadian, punya agenda, punya tujuan hidup yang lebih besar. Generasi seperti ini adalah mereka yang concern pada  urusan-urusan besar umat, bukan urusan perut apalagi sekadar urusan syahwat. Generasi seperti ini tidak lahir instan, melainkan karena didikan. Negara hadir sebagai pendidik utama generasi melalui sistem kurikulum yang berpapu dengan sistem ekonomi dan politiknya. Negara juga hadir sebagai perisai informasi karena informasi hari ini telah dikuasai dunia digital kapitalistik. Tsunami informasi di era ini sangat luar biasa memengaruhai pola pikir dan pola sikap generasi muda. Karenanya, harus ada negara yang menjadi perisai.  Negara harus menjadi perisai informasi dalam hal pendidikan karena sejatinya ilmu itu bukan sekedar untuk mendapatkan ijazah, lalu bekerja menjadi 'budak' korporasi. Karenanya, negara juga harus menjadi perisai dalam masalah ekonomi sebab hari ini, umat  juga terhimpit dengan kehidupan yang sempit.