Mohon tunggu...
Prasetya Surbakti
Prasetya Surbakti Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aku suka berpetualang, membaca, menulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sempurna

11 Juli 2010   13:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:56 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Semua telah terjadi. Sangat menyebalkan dan sangat tidak disukai. mau apa dikata? tidak dapat dirubah lagi. Lagi-lagi Neo hanya berdiri mematung dan bersandar di tembok. Rio hanya mengisap rokok dengan santai. Pemadangan kali ini adalah suasana pemadangan alam di Pondok Halimun. Kebun teh menyebar luas bagaikan lautan. Pohon-pohon menjulang tinggi berbaris rapih dan udara sore hari adalah udara yang siap dingin menyambut tulang yang menjadi kaku.

"Bagaimana menurutmu?"

Lagi-lagi perkataan ini selalu dilontarkan kepada RIo. Sedikit jengah dengan kata-kata itu, tapi... apa boleh buat, sebuah perasaan sedang mengalami kesedihan. Entah berapa kali Rio juga merasakan tentang kesedihan, kesimpulannya adalah bahwa hidup ini memang penuh dengan kejutan. Entah mau diterima atau tidak itu adalah terserah kepada manusia masing-masing.

Rio hanya menatap wajah Neo yang sedari tadi hanya menundukkan kepala. Sedih itu yang tersirat diwajahnya. Kesal bahwa pengkhianatan selalu saja terjadi.

"Bagaimana kalau kamu mendengar kisahku dulu. bukan bermaksud untuk mencampur adukkan denganmu tapi akan ku katakan kepadamu bahwa semua selalu terjadi dengan cara yang tidak pernah kita inginkan"

Neo hanya terdiam dan menatap. "Terserah"

Rio bercerita bahwa perihal kehidupan adalah sesuatu yang tidak pernah pasti. Dia menceritakan bahwa kehidupannya dulu adalah sempurna dan akan terus berlanjut menjadi sempurna. Tapi waktu yang tidak pernah mau berhenti selalu memberikan pertanyaan dengan kejadian yang tidak menyenangkan.

Kehidupan sempurna itu adalah pada saat Rio memiliki seseorang yang dicintainya. Perempuan yang telah memberikan sebuah "hidup" dalam perjalanan hidupnya.

"Aku menangis" katanya

Entah mengapa semua terjadi begitu saja. Rio hanya mengungkapkan apa yang terjadi padanya. bukan bermaksud untuk menilai terlalu jauh tapi tanpa semua itu, kehidupan ini tidak akan menjadi sempurna.

"Inilah hidup yang benar-benar sempurna" Ujar Rio.

Neo kini terduduk sambil menyandar. "Hidup ya?". Perkataannya hanya sampai disitu. Tak ada ucapan yang ingin dilanjutkan lagi karena Neo tidak mengerti sama sekali maksud dari Rio.

"Pengalaman, kamu tahu?" Ucap Rio.

"Maksudmu?"

"Semua manusia memiliki takdirnya masing-masing. Aku katakan demikian karena aku sendiri ingin menjadi mereka, tapi...ternyata aku adalah aku. Aku adalah takdir dalam hidupku. Aku takkan bisa menjadi seperti mereka, atau mereka menjadi seperti aku." Ucap Rio sambil mengeluarkan sebatang rokok dari bungkusnya dan membakarnya kembali. "Tapi... setidaknya kita bisa belajar dari mereka semua

"Hidup terlalu sempit hanya untuk mengunjuk gigi diri kita sendiri. Tentang arti pentingnya diri kita atau mereka." Rio melirik kearah Neo yang menatapnya. "Tak ada yang bisa kita lakukan lebih dari kehidupan ini kecuali hanya satu jawabannya." Rio berhenti ucapannya berharap Neo bertanya.

Beberapa saat tidak ada pertanyaan dari Neo. Rio hanya diam.

"Apa itu?" Tanya Neo.

Rio tersenyum. Ternyata dilontarkan juga. "Harapan"

"Harapan?" Neo penasaran.

"Hidup ini hanya sebuah harapan. harapan itu sendiri tidak bisa disamakan satu dengan yang lainnya. Tapi setidaknya ada yang bisa diambil menjadi satu, yaitu harapan selalu ingin hidup bahagia. Demikian juga aku. Aku ingin bahagia. Dan kebahagian itu hampir kudapatkan dan semakin dekat yang kurasakan."

"Ya tentulah karena kamu telah mendapatkan pekerjaan yang diharapkan oleh sejuta umat?"

Rio tersenyum dan menggelengkan kepala. Berjalan mendekati Neo yang sedang duduk. "Berdirilah. Akan kutunjukkan arti bahagia itu" Neo berdiri.

Beberapa saat Rio tidak mengungkapkan satu patah katapun. Mata mereka saling beradu pandang. jari telunjuk Rio naik dan berhenti pas di dada sebelah kiri dada Neo, lalu diketuk-ketuk di dadanya.

"Hatilah yang membuatmu bahagia. Bukan tentang siapa dirimu sebenarnya atau bahkan apa yang kamu bawa sendiri, baik itu harta, tahta atau martabat. Sama halnya dengan cinta. Semakin kamu memanjakan perasaanmu, semakin kamu berharap tinggi tanpa dapat mengolah perasaanmu dengan benar.

"Hidup terlalu singkat untuk ditakuti, walau sebenarnya takut itu selalu ada. Aku memiliki rasa takut. Maka aku selalu kuat karena satu hal dalam hidupku. Semua orang yang berada di sekelilingku adalah orang-orang hebat dalam hidupku. Tak pernah mereka lebih rendah daripadaku, walau kamu tahu, aku terlihat sombong, belagu, keren, sok dan mengagumkan"

"Itu seh maumu untuk di puji" Ejek Neo.

Rio tertawa. "Ya begitulah, tapi setidaknya aku berhasil mengarungi takdirku. Semakin aku berjalan dalam takdir yang sulit, semakin ringan selanjutnya. Sama halnya dengan cinta, semakin tersakiti, semakin mengerti arti cinta itu sendiri."

Neo terdiam, pikirannya menjalar jauh kedalam kata-kata Rio. Siapa yang tidak tahu tentang kehidupan Rio di masa lalu. Sempurna! intinya tapi takdir memang selalu berkata yang tidak sesuai yang diinginkan. "Pilihan bukan?"

Rio terdiam. Dan sesaat kemudian mengangukkan kepala. Rio tersenyum.

"Setidaknya harapan itu selalu ada ya?" Tanya Neo.

Rio tersenyum. "Tentu. Siapapun memiliki harapan bila ingin hidupnya lebih baik lagi. Setidaknya masa sulit adalah pelajaran untuk hidup menjadi lebih baik lagi." Ujar Rio. " Selanjutnya Tuhan lebih tau yang terbaik. Belajarlah menyerahkannya. Aku juga tidak sempurna, tak berharap menjadi seorang yang hebat. Tapi aku hanya ingin dalam hidupku adalah belajar. Tidak sulit bukan?"

Neo tersenyum. "Benar, tidak sulit. Ternyata hidupmu telah memberikan pelajaran yang sangat penting"

Rio tersenyum. "Sama denganmu. Aku akan belajar lebih baik lagi dengan pengalaman cintamu ini. Aku mengerti sedikit tentang arti cinta. Terima kasih telah memberikan pelajaran kepadaku. "

"Ah kamu bisa saja. Aku seharusnya berterima kasih kepadamu karena telah memberikan pelajaran yang tidak pernah aku rasakan. Ternyata hidup ini sempurna ya?"

Rio menganguk. "Sangat sempurna"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun