Siang ini saya kembali mendengarkan keluh-kesah seorang direktur perusahaan besar di industri finansial yang menjadi klien saya. Dia bilang, perusahaannya telah menggelontorkan begitu banyak dana untuk menjalankan digital transformation (dengan konsultan sebelumnya). Tapi apa lacur, bukannya dampak positif yang diterima, malah hasilnya "gak keru-keruan." Boro-boro lonjakan profit, rasanya operasional perusahaan malah semakin  semrawut. Istilah dia, "Awut-awutan macam kepalaku dulu waktu masih ada rambutnya."
Mendengar keluh-kesah tersebut saya hanya bisa tersenyum. Soalnya terus terang saja, saya belum pernah mengalami masalah kerontokan rambut  separah itu. Tapi soal digital transformation perusahaannya yang seolah tak berdampak, saya tentu bisa kasih insight. Toh, saya dan tim dibayar  untuk itu.
Sebagai konsultannya, saya menunjuk beberapa poin kritis yang menjadi titik lemah dari digital transformation yang dijalankan perusahaan tersebut. Sebagian di antaranya adalah:
 1. Perusahaan, wabil khusus orang-orang yang terlibat intens dalam transformasi tersebut (termasuk  konsultannya yang terdahulu) cenderung memandang bahwa digital transformation melulu merupakan masalah IT, teknologi tok, bahkan sekadar "migrasi ke website." Padahal digital transformation sejatinya harus menciptakan value. Dan untuk bisa begitu, digital transformation meniscayakan perubahan atau modifikasi dalam banyak hal, termasuk model  bisnis, proses, budaya, SDM, dan lain sebagainya. Jangan sampai, misalnya, sebuah perusahaan asuransi menawarkan fasilitas pengajuan klaim online tapi begitu diajukan, proses klaim malah makin panjang/lama, merepotkan dan menciptakan ketidakpastian.
2. Manajemen puncak secara keliru menganggap bahwa digital transformation adalah "proyek ad-hoc" yang ada ujung alias akhirnya. Padahal digital transformation merupakan proses berkelanjutan yang mewajibkan perusahaan memiliki kelincahan serta  kelenturan yang memadai sekaligus terus-menerus dalam menghadapi (baca: memanfaatkan) perubahan. Tidak ada yang tahu ujungnya. So when you say it's over, YOU'RE OVER.
3. Terkait dengan poin 2, perusahaan mestinya belajar untuk mandiri setelah masa "kontrak" konsultan digital transformation-nya yg terdahulu berakhir.
Hal-hal lain terlalu spesifik dan kurang etis jika dibeberkan di muka umum.
Yah, demikianlah. Walaupun menjadi berkah bagi saya dan tim karena "kelimpahan proyek," miris juga mengetahui bahwa uang sebegitu banyak  terbuang nyaris percuma hanya karena pemahaman yang salah ihwal digital transformation.
Penulis adalah Senior Consultant di Organization Transformation International (OTI). Email: prayudi@otiinternational.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H