Sepertinya humor Indonesia baik di TV maupun buku-buku yang dipajang di toko buku sekarang memiliki satu kejangkitan yang sama. Di layar kaca, acara komedi sekarang berbau rusuh, penuh timpuk-timpukan, seperti orang mabuk, dan semua berantakan. Ada lagi yang bikin aku sedikit kurang menyukai komedi di TV kita sekarang, main ngatain orang seenak udhel-nya (baca: pusar). Ya,begitulah...jurus ampuh membuat lelucon adalah “menyerang”. Orang akan tertawa melihat satu orang bisa menyerang dan menjatuhkan lawan mainnya. Dan memang cara ini memang cara yang paling mudah dan aman dalam berkomedi, gak perlu susah-susah mutar otak bagaimana membuat lelucon yang benar-benar lelucon. Seolah tidak ada cara lain melakukan komedi selain menyajikan adegan-adegan yang saling serang dan saling mengacau satu sama lain. Misalnya :
“Eh, muke lu udah kaya gaplek!”
“Biji kedondong, diem lo! Balik aja lo ke neraka sono!
“Eh kampret, sakit gila lo!”
Dan itu pula lah yang terjadi ketika kita baca-baca buku komedi, penulis
memasukkan adegan-adegan timpuk-timpukan, mukul, jitak,dll untuk menegaskan
bahwa disana ada adegan konyol yang penulis ingin ceritakan disana. Seolah
penulis-penulis komedi sekarang sudah tak mampu menahan diri mereka untuk
mbanyol karena mereka pengen sesegera mungkin pembaca langsung tertawa
dari halaman pertama. Ada panci melayang dari kejauhan, menampar wajah orang
dengan setrum nyamuk atau saling cakar atau lempar, pokoknya adegannya
rusuuuuuuuuh aja. Kejangkitan yang sama pada buku-buku komedi kita yaitu
dengan mudahnya para karakter didalamnya menjatuhkan, mengolok-olok orang
lain. Lucu sih emang lucu, tapi buatku efek komedinya hanya sementara dan
setelah itu, dalam hatiku : “kog kasar banget ya?! menohok banget ejekannya?!“.
Lalu, rasa lucu itu hilang dan setelah itu lupa.
Kadang juga diceritakan adegan-adegan yang menurutku kurang masuk akal.
Mungkin (ya mungkin, karena aku juga gak tahu maksud penulisnya) biar semakin
lucu dan variatif dalam berkomedi, tapi sekali lagi yang ingin kutanyakan, “Apa iya
mereka benar-benar melakukan hal konyol seperti itu?? Apa ini ada di kehidupan
nyata??”. Kadang aku membacanya masih berpikir adegan ini gak masuk akal.
Meskipun di cover, kata pengantar, endorsement, jelas tertulis bahwa apa yang
ditulis disini 100% berasal dari pengalaman sehari-hari penulis, buatku ini muskil
untuk dimasukkan ke logika. Aku ambil cuplikan dari bukunya Raditya Dika, Babi
Ngesot: Datang Tak Diundang, Pulang Tak Berkutang (2008) :
“Ada juga kepercayaan yang tidak menganggap anjing itu binatang haram.
Contohnya saja, kepercayaan tetangga Tabib yaitu agama bernama Jipay, yaitu
kepercayaan yang menyembah biji pepaya. Ritual keagamaannya simpel banget,
taro biji pepaya di atas papan lalu sembahlah. Tabib pernah suatu waktu
ngelewatin rumah tetangga Tabib itu eh malah disembah. Monyet, Tabib dikira biji
pepaya!”
Bukan ingin mendiskreditkan Raditya Dika, banyak teman-teman disini termasuk
aku sendiri juga menyukai buku-bukunya. Di blog-nya dia sebenarnya sudah
meng-image-kan dirinya seperti itu, hal-hal absurd adalah image yang ingin
dilekatkan pada dirinya. Tapi, bukankah gaya-gaya tulisannya banyak dipakai oleh
penulis komedi saat ini?? Seingatku setelah kemunculan buku-bukunya yang best
seller itu, mulai menjamur buku-buku yang bergenre sama yang ada bau-bau :
Dodol, Gokil, Stupid, Bego, Bodoh, Lebay, Konyol, dll. See??! Jadi terkesan
monoton dan gersang akan kreativitas. Dari penerbit juga seolah mereka ingin
cepat melempar buku-buku komedi yang sedang laris manis saat ini, jadinya
mungkin kualitas yang ingin ditunjukkan jadi seolah kurang diperhatikan disini.
Semua sepakat bahwa lelucon yang benar lelucon itu membutuhkan kecerdasan
logika. Meskipun komedinya absurd tapi semuanya haruslah bisa masuk logika.
Dan logika itu paling punya sarat makna dan hikmah dari lelucon yang ingin
ditampilkan. Lihat saja Kesenian-kesenian lokal yang bertema komedi, mereka
melucu untuk mengkritik kehidupan sosial, politik, membeberkan hal yang
bukannya membiasakan kebenaran tapi malah membenarkan kebiasaan, dll
dimana disitu ada pesan yang ingin mereka sampaikan diantara tawa penonton.
Dan ternyata satu kenyataan yang baru kusadari bahwa hal ini sebenarnya gak
hanya buku atau acara komedi saja, tapi juga industri perfilman negeri ini dimana
sekarang semakin monoton saja genre film yang nampol di bioskop kalo gak film
horor ya film tentang cinta-cintaan. Apakah sebenarnya kita itu miskin ide?
Sampai muncul ide-ide cerita yang sekarang makin monoton ini? Kalau gak
seperti itu apakah jalan pintasnya dengan mengkloning ide cerita dari negari lain?
Semoga saja tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H