Menyusul pecahnya Kekaisaran Romawi menjadi Barat dan Timur, dan keruntuhan Kekaisaran Romawi Barat, Eropa memasuki apa yang dalam sejarah dikenal sebagai Abad Pertengahan (Middle Ages). Pada masa itu, kedudukan orang-perorangan sebagai warga atau subjek dari suatu negara - yang lazimnya berbentuk monarki absolut – biasanya terbagi ke dalam kelas-kelas sosial yang tersusun secara hierarkis dan vertikal, dimana hak serta privilege masing masing pun berbeda mengikuti tinggi rendahnya kelas.
Secara umum sistem sosial yang berlaku di Eropa Abad Pertengahan itu disebut dirujuk dengan istilah estates of the realm, dimana pembagiannya pun relatif seragam: Kelas pertama, first estate, adalah kaum pemuka agama/agamawan - dalam hal ini gereja; kelas kedua, second estate, adalah kaum bangsawan; sedang kelas ketiga, third estate, diisi oleh para commoners, rakyat biasa, atau sering pula disebut sebagai rakyat jelata.
Tatanan ini diakui dan bahkan diformalkan dalam bentuk keterwakilan di parlemen. Di Perancis pada masa Ancien Regime, perwakilan-perwakilan dari kelas-kelas inilah yang membentuk Etats Generaux, atau Estates General, sebuah lembaga yang menyerupai parlemen meski fungsinya lebih pada memberikan advis kepada raja yang berkuasa mutlak. Berkumpulnya lembaga ini pada tahun 1789 memiliki makna krusial, dimana perwakilan rakyat kebanyakan (Communes) kemudian justru membentuk National Assembly yang dianggap sebagai salah-satu titik awal Revolusi Perancis. Jangan pernah lupakan bahwa Declaration des droits de l’homme et du citoyen, dokumen penting hak asasi manusia yang juga dianggap sebagai salah-satu dasar lahirnya demokrasi modern, adalah produk dari National Assembly.
Di zaman sekarang, di mana kekuasaan absolut sudah nyaris punah dan demokrasi modern sudah diterapkan di mana-mana dengan berbagai variasinya, tentunya sistem sosial a la estates of the realm ini sudah menjadi barang antik. Bagaimana mungkin sebuah sistem pengkelasan manusia berdasarkan hierarki vertikal bisa hidup dalam demokrasi modern yang berdiri di atas pondasi prinsip bahwa semua manusia diciptakan sederajat?
Namun jika sistem sosial politik masyarakat di Abad Pertengahan ditopang oleh tiga kelompok tadi, sistem sosial politik dalam demokrasi modern pun ditopang oleh adanya prinsip pemisahan kekuasaan negara di antara tiga cabang kekuasaan yang berdiri setara: eksekutif, legislatif dan judikatif. Bisa dikatakan, ketiga cabang kekuasaan inilah estates of the realm di alam demokrasi modern.
Dan jangan lupakan pula kekuatan yang semakin hari semakin diakui sebagai kekuatan ke-empat, the fourth estate, yaitu kekuatan media atau pers. Meski bukan cabang kekuasaan formal, media/pers diakui memiliki pengaruh yang sangat besar dalam suatu sistem demokrasi. Tengok saja pendapat dari Walter Lippmann, seorang pakar humas berkebangsaan Amerika, yang menyatakan bahwa tidak ada pemerintah yang akan dapat menjalankan perannya dengan efektif tanpa didukung oleh adanya pemberitaan pers yang kritis, cerdas dan andal.
Dengan demikian, demokrasi dapat dianalogikan sebagai mahluk berkaki empat, yang mana keempat kakinya tersebut terdiri atas cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif; ditambah kekuatan media/pers. Masing-masing dari keempat kaki tersebut harus bebas supaya bisa menjalankan fungsinya dengan baik. Namun demikian, keempatnya juga harus bisa saling bekerja-sama dan saling menopang fungsi satu sama lain, sehingga mahluk yang bernama demokrasi tadi bisa berjalan baik dan lurus. Pengertian lurus di sini tentunya adalah: konsisten dan tidak menyimpang dari arah, tujuan dan platform demokrasi yang telah ditetapkan.
Bagi Indonesia tentunya sudah cukup jelas. Platform demokrasi kita adalah Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar dan konstitusi negara. Mengenai arah dan tujuan, mudah-mudahan tidak salah jika kita merujuk pada apa termuat pada alinea ke-empat Pembukaan UUD 1945, khususnya demi memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tinggal lagi sekarang, apakah keempat kaki demokrasi kita semuanya sudah berperan dengan baik sesuai harapan, ataukah demokrasi kita masih terpincang-pincang dan tidak lurus jalannya?
Yang jelas bukan rumput yang bergoyang, namun kita semualah yang harus menjawabnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H