Mohon tunggu...
Prayudi Setiadharma
Prayudi Setiadharma Mohon Tunggu... -

A IPR consultant by profession, and an life-observer by passion...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Satria Piningit dan Demokrasi

25 Februari 2014   22:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:28 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 2014 ini adalah tahun yang memiliki makna sangat penting bagi seluruh rakyat Indonesia. Tak lain adalah karena pada tahun ini, mau tidak mau, suka tidak suka, Indonesia akan kembali mengalami apa yang dinamakan pergantian kepemimpinan nasional. Ya, Presiden SBY pada 20 Oktober mendatang akan menyelesaikan masa jabatannya yang kedua; dan sesuai konstitusi, masa jabatan seorang presiden dibatasi dua kali lima tahun saja. Tidak ada perpanjangan waktu, apalagi adu penalti.

Dan entah kenapa, pertanyaan yang sama hampir selalu muncul: akankah pada pergantian kepemimpinan nasional kali ini sang Satria Piningit muncul dan berkuasa menjadi sang Ratu Adil di negeri ini?

Siapa sebenarnya Satria Piningit itu? Dalam kepercayaan masyarakat Jawa berdasarkan ramalan (jangka) Prabu Jayabaya – seorang Raja Kediri pada abad ke-12 Masehi – diramalkan bahwa pada saatnya nanti seorang “ksatria”  Jawa akan muncul dari persembunyiannya untuk menjadi seorang pemimpin besar di nusantara, menjadi Ratu Adil, dan akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan tidak hanya di tanah Jawa dan Nusantara, melainkan juga di seluruh dunia!

Dahsyat (tanpa penonton alay bayaran tentunya)!

Lalu benarkah si Satria Piningit ini akan datang tahun 2014 ini?

Dengan segala rasa hormat, saya pribadi harus menjawab tegas: TIDAK!

Jujur saja saya demikian tidak habis pikir, mengapa setelah 69 tahun sejak kita memutuskan untuk merdeka dan memilih demokrasi sebagai jalan politik dari negara yang ingin kita bangun bersama-sama ini, kita masih saja belum bisa – meminjam istilah remaja masa kini – move on dari zona nyaman kita semasa jaman kerajaan dulu.

Dalam sistem monarki atau kerajaan, kekuasaan atas negara dan pemerintahan berlangsung secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Dengan demikian, warganegara tidak perlu pusing memikirkan soal regenerasi kepemimpinan; cukup serahkan saja kepada raja ini atau pangeran itu untuk menghasilkan keturunan.  Apes-apesnya, sesekali mungkin akan datang seseorang seperti Ken Arok yang pesan senjata keris ampuh tanpa bayar – malah membunuh sang pembuat keris, dan memulai revolusi kekuasaan yang mungkin akan mengorbankan beberapa ratus – bahkan ribu – nyawa. Namun setelah itu, hidup akan berjalan lagi seperti biasa bagi rakyat kebanyakan. Regenerasi kekuasaan? Peduli setan!

Namun tidak demikian dengan demokrasi, dimana hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri dijunjung setinggi-tingginya.

Memang demokrasi tidak langsung berjalan dengan semestinya begitu kita merdeka. Melalui demokrasi terpimpin Bung Karno berkuasa mutlak tanpa tanding sampai ia digulingkan oleh Soeharto, yang juga tidak segan meng-extend kekuasaan bagai Raja – meski dengan balutan “demokrasi Pancasila” – hingga 32 tahun kemudian. Namun bukankah melalui reformasi 1998 kita telah meredefinisi jalan politik kita, dan menegaskan kembali komitmen kita pada demokrasi?

Makna paling hakiki dari demokrasi sejatinya adalah kedaulatan – kekuasaan – yang berada sebesar-besarnya di tangan rakyat, terlepas dari metode apapun yang dipergunakan untuk menerjemahkan makna tersebut pada tataran praktis. Dan demokrasi, dengan segala kekurangannya, sejauh ini masih merupakan satu-satunya sistem yang paling besar memberikan kekuasaan kepada masyarakat luas untuk menentukan sendiri nasib dan masa depannya.

Tapi jangan lupa, kekuasaan sebesar itu tentunya tidaklah datang sendirian. Seiring datang pula tanggung-jawab dan konsekuensi yang setara besarnya. Ingat saja kata-kata Paman Ben kepada Peter Parker dalam kisah Spiderman: “With great power comes great responsibility”.

Dalam konteks ini, tanggung-jawab dan konsekuensi besar yang kita emban dari pilihan dan komitmen kita berdemokrasi adalah: kita sendirilah yang harus aktif berperan dalam melahirkan pemimpin-pemimpin baru, bukan hanya sekedar berpangku tangan menunggu datangnya sang ksatria seperti sang sleeping beauty dalam kisah Disney, yang pasrah menunggu dibangunkan oleh seorang pangeran tampan. Demokrasi tidak hanya sekedar memberikan kebebasan kepada siapapun untuk memilih dari pilihan-pilihan yang ada, namun demokrasi juga menuntut kita semua untuk turut selalu siap menciptakan dan melahirkan pilihan-pilihan tersebut.

Jadi sekarang, alih-alih mengharap yang tak sesuatu yang tak nyata, marilah kita bekerja-keras mencari, menemukan, atau mungkin bahkan menciptakan pemimpin-pemimpin baru di tengah-tengah kita untuk maju dan memimpin bangsa ini. Jangan juga bilang bahwa ini adalah melulu tugas partai politik, meski sesungguhnya partai politik memang punya fungsi dan peran penting dalam mencetak kader-kader pemimpin bangsa. Namun sejatinya contoh-contoh kepemimpinan yang baik ada di berbagai bidang dan tidak harus selalu berasal dari dalam partai politik, bukan?

Kita patut acungi jempol keberanian yang telah ditunjukkan oleh  Joko Widodo, Ridwan Kamil, Anies Baswedan dan Dino Patti Djalal, serta banyak lagi, untuk mau keluar dari comfort zone masing-masing sebagai pengusaha, arsitek, akademisi dan diplomat, demi mengambil langkah tegas di jalur politik praktis dengan mengajukan diri sebagai pemimpin dalam struktur formal kenegaraan; entah itu sebagai gubernur, walikota, atau presiden sekalipun.

Orang-orang seperti merekalah barangkali Satria Piningit yang sebenarnya, yang paling relevan dengan konteks kekinian kita di alam demokrasi. Yaitu orang-orang yang berani untuk muncul dan menawarkan pilihan aksi dan gagasan segar mereka tentang kepemimpinan bangsa – yang tentu tidak hanya asal tegas, asal pidato berapi-api, atau asal berani makan nasi aking saja – untuk dapat dipilih secara objektif oleh masyarakat.

Dan manakala pilihan-pilihan tersebut telah tersedia, satu hal yang harus kita camkan betul adalah bahwa siapapun yang akan terpilih nantinya untuk memimpin bangsa dan negara ini untuk setidaknya lima tahun ke depan, tidak akan pernah bisa menjadi seorang Ratu Adil yang mampu memuaskan  dan menyenangkan segenap rakyat Indonesia yang berjumlah hampir duaratus limapuluh juta ini. Namun di sisi lain, jangan lupa bahwa demokrasi juga memberikan kita hak huntuk melakukan kritik dan koreksi terhadap sang pemimpin.

Anda suka, Alhamdulillah. Tidak suka, silakan habiskan sisa hidup Anda mencari sang Satria Piningit dan Ratu Adil di manapun Anda yakin ia sedang ngumpet, dan sampaikan salam saya kalau Anda bertemu dengannya.

Selamat berdemokrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun