Anda yang doyan ngemil produk-produk roti atau pastry pasti tahu apa itu cronut, yang konon saat ini sedang happening di Indonesia, khususnya Jakarta. Bagi yang belum tahu, cronut adalah sejenis penganan yang dihasilkan dari “blasteran” antara croissant dan donut atau donat, jadi wajar kalau namanya tampak sebagai singkatan dari dua jenis makanan tersebut.
Croissant adalah sejenis pastry yang namanya dalam bahasa Perancis berarti bulan sabit, sesuai dengan bentuknya, dimana asal-muasal sesungguhnya adalah dari sejenis pastry khas Wina, Austria, yang bernama kipferl. Barulah setelah pada awal abad ke-19 seorang petugas artileri berkebangsaan Austria bernama August Zang membuka sebuah bakery khas Wina di Paris, Perancis, makanan tersebut menjadi populer dan berkembang dengan nama croissant seperti yang dikenal orang sekarang ini.
Adapun donat, meskipun kerap diasosiasikan dengan bentuknya yang menyerupai ban atau cincin, berasal dari kata doughnut yang merujuk pada penganan yang dihasilkan dari adonan roti yang digoreng, bukan dipanggang seperti roti biasa, baik yang berbentuk cincin maupun yang berbentuk bundar utuh. Nama doughnut sendiri terlahir di Amerika Serikat, dimana makanan ini konon dibawa oleh para imigran asal Belanda (di Belanda penganan serupa dinamai oliekoek atau oliebollen, atau kue yang dimasak dengan minyak).
Alkisah di tahun 2013 seorang pastry chef asal Perancis yang sukses mendirikan dan mengelola sebuah bakery yang sangat terkenal dan mendunia di kota New York –Dominique Ansel Bakery, nama sang chef sendiri – memperkenalkan hasil inovasinya, yaitu adonan croissant yang diolah ala donat: dibentuk cincin, digoreng (deep-fried), dan diberi variasi topping layaknya produk donat pada umumnya.
Entah public relation mana yang disewa oleh Ansel, inovasi ini pun langsung menjadi sensasi baru dan luar biasa di dunia kuliner, tidak hanya di New York dan Amerika Serikat saja, tapi bahkan hingga ke seluruh dunia. Sampai-sampai majalah bergengsi Time pada menobatkan penganan seharga lima dolar per potong sebagai salah-satu dari The 25 Best Inventions of the Year 2013. Nama kudapan sensasional itu adalah, tentu saja, Cronut.
***
Sebagai kreator dari sebuah inovasi yang sensasional dan laris manis, tentunya wajar bila Ansel ingin melindungi hasil karyanya tersebut dari “kejahilan” para penjiplak – atau setidaknya itulah yang berhasil diyakinkan oleh pengacaranya. Namun untuk melindungi konsep inovasinya sendiri dalam hal mengawinkan antara croissant dan donut sebenarnya mustahil untuk dilakukan.
Alasannya pertama adalah karena “ide” tersebut sesungguhnya tidaklah benar-baru baru berasal dari Ansel; setidaknya sudah banyak klaim yang didukung dengan fakta bahwa kudapan serupa memang sudah dibuat orang lain jauh sebelum Ansel meluncurkannya pada bulan Mei 2013. Alasan kedua, perlindungan semacam itu hanya bisa dilakukan berdasarkan prinsip perlindungan paten, sementara perlindungan paten sendiri berlaku hanya untuk invensi di bidang teknologi ; sekedar menggoreng dan menyajikan adonan croissant seperti layaknya donut tentunya sulit dikategorikan sebagai “terobosan” teknologi.
Di sisi lain, Ansel tentu sepenuhnya menyadari bahwa nama Cronut telah menjelma menjadi suatu brand yang bernilai tinggi seiring dengan popularitas hasil karyanya tersebut. Karena itulah Ansel kemudian mendaftarkan Cronut sebagai merek miliknya ke United States Patent and Trademark Office (USPTO) dan juga ke kantor merek di beberapa negara. Pendaftaran tersebut sukses, dan saat ini – setidaknya di Amerika Serikat dan negara-negara lain dimana merek itu terdaftar, hanya Ansel yang boleh menggunakan nama Cronut untuk produk dan/atau jasa yang terkait dengan pastry.
Monopoli Ansel terhadap nama Cronut tentunya tidak akan menghalangi siapapun untuk membuat dan menjual penganan yang mirip, serupa, atau bahkan sama persis, sepanjang mereka tidak menggunakan nama Cronut. Sebut saja Roy Auddino, pemilik Auddino’s Bakery & Café di Columbus, negara bagian Ohio, yang mengklaim sudah membuat penganan serupa sejak tahun 1991, namun memasarkannya dengan nama berbeda: Doughssant. Seperti halnya Ansel, Auddino pun sudah mendaftarkan perlindungan merek untuk doughssant.
Lain Auddino, lain pula Robert Cabeca, pemilik Chocolate Crust di Washington, D.C. Cabeca mengekor Ansel membuat dan menjual penganan serupa di tokonya, tapi dengan nama doissant. Swiss Bakery yang berlokasi di Vancouver, Kanada, punya produknya sendiri yang dinamai Frissant (selain donut, ada juga penganan dari adonan roti yang digoreng dikenal dengan nama fritters). Masih dari Kanada, La Cornetteria yang berlokasi di Montreal pun punya versinya sendiri, yang dinamai The Cronetto.
Toh masih ada juga yang nekad. Toko roti Little Bigs Bakery yang berlokasi di Portland, negara bagian Maine, baru-baru ini ikut terseret demam cronut, memproduksi dan menjual produk yang sama, namun tetap dengan nama yang sama juga. Tak ayal kenekatan mereka mengundang kemarahan Ansel – kemungkinan besar dibarengi dengan sinar mata berbinar-binar sang pengacara – yang segera mengirimkan cease and desist letter (semacam somasi) menuntut toko roti itu menghentikan pemakaian nama “cronut”. Untungnya insiden ini tidak berlanjut ke pengadilan karena toko roti yang disomasi tadi langsung merubah nama produknya menjadi C&D –yang konon bukan singkatan dari croissant & donut, melainkan dari cease & desist...
***
Bagaimana dengan di Indonesia?
Sistem perlindungan merek di Indonesia, sebagaimana diatur dalam UU no. 15 tahun 2001, menganut prinsip first to file, yang berarti hak dan perlindungan atas suatu merek hanya diberikan kepada mereka yang pertama kali mengajukan pendaftaran merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (DJHKI). Karena sistem perlindungan merek universal sendiri menganut asas teritorialitas, maka hak yang dimiliki atas merek yang terdaftar di sebanyak apapun negara tidak akan berarti apa-apa di Indonesia, kecuali sang pemilik melakukan pendaftaran merek juga di negeri ini.
Saya belum melakukan pengecekan di DJHKI, apakah merek cronut ini sudah ada yang mendaftarkan atau belum. Sepertinya Dominique Ansel sendiri belum memiliki merek terdaftar atas cronut di Indonesia, karena kalau sudah sepertinya dia tidak akan diam saja melihat nama itu saat ini dengan bebasnya dipergunakan oleh begitu banyak penjual roti dan penganan yang tidak mau ketinggalan demam cronut.
Di sisi lain kalau mau agak “cerdik”, dan kalau memang nama cronut benar-benar belum ada yang mendaftarkan, sah-sah saja kalau ada pengusaha kuliner Indonesia yang mendaftarkan nama cronut tadi atas namanya sendiri. Jika dikabulkan dan terdaftar maka dialah satu-satunya orang yang berhak menggunakan nama cronut itu di Indonesia, dan bahkan bisa melarang Ansel sendiri untuk memakainya di Republik ini. Kalau perlu dan memungkinkan sekalian saja dengan doughssant, doissant, frissant, dan entah apa lagi; yang penting selama nama-nama tersebut terlanjur menjadi nama generik dan tidak dapat lagi didaftarkan sebagai merek.
Satu pelajaran berharga bagi para pengusaha kuliner di Indonesia adalah: meski Anda tidak bisa memproteksi resep makanan atau minuman yang Anda temukan – seenak atau selaris apapun itu, namun Anda tetap bisa melindungi reputasi dan popularitas makanan atau minuman tadi dengan memberinya nama yang unik dan mendaftarkannya sebagai merek.
Memang sudah terlambat bagi kita untuk mendaftarkan merek untuk “rendang”, “klepon”, atau “rica-rica”, karena nama-nama itu sudah kadung menjadi nama generik untuk masing-masing makanan. Tapi manakala kita cukup kreatif menghasilkan nama baru yang unik – baik untuk suatu resep yang baru dan inovatif, ataupun untuk makanan atau minuman yang sudah lama ada; mendaftarkan nama tersebut sebagai merek tentunya bukanlah suatu investasi yang buruk…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H