[caption id="" align="aligncenter" width="534" caption="sumber gambar: www.metrotvnews.com"][/caption]
Indonesia merupakan salah satu negera berkembang di dunia. Dari tahun ke tahun, jumlah penduduk Indonesia sebagai salah satu negara berkembang di dunia terus mengalami pertumbuhan. Berdasarkan data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah penduduk di Indonesia mencapai 237 juta pada tahun 2010 dan diperkirakan pada tahun 2020 jumlah penduduk Indonesia mencapai angka 278 juta. Pertumbuhan yang sangat tinggi tersebut menimbulkan berbagai dampak terhadap aspek kehidupan manusia. Salah satu aspek yang cukup terpengaruh dengan adanya pertambahan jumlah penduduk adalah penggunaan energi untuk menunjang kebutuhan hidup yang meliputi sektor industri, transportasi, rumah tangga, dan lain sebagainya. Semakin banyak penduduk yang berada di sebuah negara, semakin banyak pula energi yang dibutuhkan dan digunakan oleh negara tersebut. Sebagai negara berkembang, tentunya pemerintah Indonesia harus menyediakan sumber-sumber energi yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Dengan kata lain, ketahanan energi merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak bagi Indonesia.
Saat ini, berdasarkan KESDM (Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral) penggunaan energi di Indonesia masih bergantung kepada energi fosil. Energi fosil tersebut adalah minyak dan gas bumi. Salah satu perusahaan milik negara yang bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan energi fosil tersebut adalah PT. Pertamina Persero. Pertamina saat ini memiliki kapasitas produksi mencapai 120.798 BOPD (Barel Oil Per Day). Kapasitas produksi tersebut jauh dibawah perusahaan asal Amerika, Chevron, yang mencapai 327.692 BOPD. Kondisi ini sangat memprihatinkan bagi kita semua. Pertamina, sebagai satu-satunya National Oil Company (NOC) Indonesia, tidak memiliki kapasitas produksi terbesar walaupun berada di negara asalnya sendiri. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Pertamina saat ini memang menguasai 47 % lapangan migas di Indonesia. Tetapi, lapangan yang dikuasai oleh pertamina adalah lapangan-lapangan yang sudah tua dengan jumlah cadangan hidrokarbonnya yang sedikit. Selain itu, birokrasi yang cukup rumit juga menyulitkan pertamina untuk menjadi operator suatu lapangan migas.
Salah satu isu yang sedang berhembus kencang saat ini adalah isu berakhirnya Kontrak Kerja Sama (KKS) Blok Mahakam pada tahun 2017. Seperti yang kita ketahui bahwa sejak 31 maret 1967 operator dari blok tersebut adalah perusahaan asing asal Prancis yaitu Total E&P Indonesia dengan perusahaan asing lainnya asal Jepang yaitu Inpex Corporation. Blok Mahakam merupakan suatu kawasan delta yang terdiri dari beberapa pulau yang terbentuk akibat endapan di muara Sungai Mahakam dengan Selat Makassar, Kalimantan Timur. Pada awal ditemukannya, Blok Mahakam memiliki cadangan terbukti sekitar 26 Trilliun Cubic Feet (TCF) gas dan 1,4 miliar barel minyak. Ada pula sumber lain yang menyebutkan cadangan awal blok tersebut adalah 21,2 TCF dan 1,68 miliar barel minyak. Sampai akhir tahun 2013, produksi kumulatif Blok Mahakam mencapai 16,2 TCF dan 1,3 miliar barel minyak. Artinya, estimasi cadangan terbukti Blok Mahakam pada saat ini sekitar 5-9,8 TCF gas dan 100-380 juta barel minyak. Dengan asumsi harga jual gas dunia adalah $2,5 per MMBTU (1 juta British Thermal Unit) dan harga jual minyak dunia $60 per barel, kita dapat melakukan kalkulasi sederhana perhitungan jumlah minimum uang yang akan didapatkan dari sisa cadangan Blok Mahakam tersebut adalah (5.1012 CF x 0,001025MMBTU/CF x $2,5/MMBTU) + (108 barel x $60/barel) = $18,8 milliar. Jika dirupiahkan, keuntungan dari sisa cadangan Blok Mahakam adalah 244,6 triliun rupiah. Jumlah uang yang sangat fantastis bukan? Jumlah tersebut setara 13,6% APBN Indonesia tahun 2015.
Total E&P dan Inpex Corporation tentunya tidak akan membiarkan uang sebanyak itu mengalir seratus persen ke kantong pemerintah Indonesia. Mereka menginginkan sebagian uang dari sisa cadangan itu karena Blok Mahakam merupakan salah satu aset terbesar perusahaan tersebut selama 48 tahun. Bahkan kedua perusahaan tersebut telah mengajukan perpanjangan kontrak sejak tahun 2011. Kontrak yang diajukan kepada pemerintah adalah selama 10 tahun. Padahal, dengan kondisi cadangan terbukti tersebut, umur produktif Blok Mahakam hanya 6 tahun saja! Terlepas dari jumlah keuntungan dari sisa cadangan blok tersebut, mengapa Total dan Inpex ingin mengajukan perpanjangan selama itu? Hal ini sangat mencurigakan mengingat berdasarkan sistem PSC (Production Sharing Contract) yang dipakai oleh Indonesia saat ini, semua data yang dimiliki Total dan Inpex tentang Blok Mahakam tidak boleh diserahkan kepada pihak lain termasuk Pertamina sebelum kontrak berakhir. Apakah cadangan yang dimiliki Blok Mahakam jauh lebih besar dari yang diperkirakan saat ini? Mungkin saja! Tetapi, poin yang terpenting sekarang adalah bagaimana langkah pemerintah untuk mengamankan aset yang cukup besar itu agar aset tersebut dapat dikuasai seratus persen oleh negara untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Dengan berakhirnya KKS Blok Mahakam pada tahun 2017, ini merupakan kesempatan yang sangat berharga bagi Pertamina untuk mengelola blok tersebut. Mengapa harus Pertamina? Pertama, sesuai dengan amanat pasal 33 UUD 1945 telah dinyatakan bahwa semua kekayan alam, bumi, dan air adalah milik negara. Pertamina sebagai perusahaan Indonesia tentunya wajib dan berhak untuk menjalankan operasi di Blok Mahakam karena hal tersebut telah diatur berdasarkan konstitusi negara ini. Kedua, karena penguasaan Blok Mahakam oleh Pertamina sesuai dengan kepentingan strategis ketahanan energi nasional. Ketiga, Pertamina akan mendapatkan pengalaman mengelola lapangan yang cukup besar. Pengalaman tersebut penting karena Pertamina saat ini telah merencanakan lifting minyak dari luar negeri. Keempat, nilai cadangan hidrokarbon yang sangat besar untuk dimanfaatkan Pertamina guna meningkatkan keuntungan, aset dan leverage perusahaan. Ditambah lagi, Pertamina menargetkan untuk masuk 100 besar World Class Company (WCC) pada tahun 2025. Posisi Pertamina saat ini adalah peringkat 122 dari 500 perusahaan di dunia, kalah bersaing dengan perusahaan minyak lainnya seperti Shell (1), Total (10), dan Petronas (75). Salah satu penilaian dalam WCC ini adalah besarnya aset yang dimiliki oleh perusahaan tersebut. Jika Pertamina diberikan kesempatan untuk mengelola Blok Mahakam, tentunya aset dari Pertamina akan bertambah. Diharapkan Pertamina akan lebih mudah untuk mencapai target 100 besar perusahaan pada tahun 2025.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah Pertamina mampu untuk mengelola Blok Mahakam? Kemampuan tersebut telah dibuktikan dengan Blok ONWJ (Offshore North West Java) dan WMO (West Madura Offshore) yang telah dikelola oleh Pertamina saat ini. Saham dari Blok tersebut sebelumnya dimiliki oleh BP yang pada tahun 2009 lalu diakuisisi oleh Pertamina. Produksi Blok ONWJ meningkat dari semula sekitar 23.000 BOPD menjadi 40.000 BOPD. Begitu pula Blok WMO yang produksinya semula sekitar 11.000 BOPD meningkat menjadi 23.000 BOPD setelah dikelola oleh Pertamina. Keberhasilan Pertamina meningkatkan produksi Blok ONWJ dan WMO secara signifikan, dimana letaknya berada di lepas pantai, membuktikan bahwa sebenarnya Pertamina mampu mengelola Blok Mahakam yang memang berada di lepas pantai. Selain itu, dari segi sumber daya manusia pekerja di Blok Mahakam saat ini sebagian besar merupakan warga negara Indonesia. Sehingga, kita tidak perlu meragukan lagi kemampuan sumber daya manusia Indonesia untuk mengelola Blok Mahakam tersebut. Hanya saja, hal yang dibutuhkan oleh Pertamina saat ini adalah proses transfer teknologi untuk menunjang jalannya operasi migas di blok tersebut.
Isu Blok Mahakam ini telah menjadi isu yang hangat dibicarakan masyarakat akhir-akhir ini. Selalu ada pro dan kontra dibalik sebuah isu tersebut. Tidak sedikit masyarakat yang turun ke jalan untuk menyuarakan pendapatnya tentang Blok Mahakam. Lalu, apakah langkah-langkah yang seharusnya diambil oleh pemerintah untuk menyelesaikan isu ini? Pertama, pemerintah dalam hal ini SKK Migas diharapkan tidak memperpanjang kontrak Total dan Inpex untuk menjadi kontraktor utama lapangan tersebut. Pemerintah harus memberikan kepercayaan kepada Pertamina untuk mengelola Blok Mahakam dengan PI (Participating Interest) minimal diatas 50%. Kedua, pemerintah diharapkan tetap memperhitungkan pendapatan daerah. Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah tahun 35 tahun 2004 tentang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi, bahwa kontraktor wajib menawarkan participating interest sebesar 10% kepada Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Ketiga, pemerintah melalui SKK Migas tetap harus mengawasi Pertamina sebagai operator migas di Blok Mahakam tersebut. Karena penurunan produksi migas pada blok tersebut dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi negara. Keempat, pemerintah perlu membuat mekanisme baru yang mengatur tentang proses pergantian operator suatu lapangan. Hal tersebut diperlukan guna menjamin transfer teknologi dan data berjalan dengan baik sehingga operator baru tidak perlu melakukan riset dari awal.
Sudah saatnya kita mandiri dalam mengelola sumber daya alam yang kita miliki atau selamanya kita hanya akan menjadi budak asing yang diperkejakan di rumah kita sendiri. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar dan memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan bangsa asing. Inilah pembuktian bagi kita semua, segenap lapisan masyarakat, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berdikari sesuai dengan harapan founding father NKRI, bung Karno, pada jamannya. Semoga dengan tulisan yang singkat ini, pikiran kita terbuka bahwa kita mampu jika ada kemauan untuk melakukannya. Jayalah Indonesiaku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H