By: Prayogo Samsul Ibrahim
“Dunia begitu kelam saat air mata jatuh di Surabaya, begitulah aku menyebut hidup yang jalang ini.” Beginilah aku merenung dalam hati.
Asap kendaraan memenuhi jalan metropolitan, pengemis di trotoar mengusir sial dan kesengsaraan, memandang kendaraan sebagai lambang kehidupan yang lebih nyaman. Tak ada yang peduli dengan pilu yang mereka rasakan saat ini.
Kini usiaku 46, setengah hidup kuhabiskan untuk memandang kesengsaraan kota, jauh dari kata baik. Bahkan akhir kisah bahagia Cinderella sama sekali tak menyapa wanita pengemis di persimpangan jalan itu. Senyum tawa mereka adalah dusta dari keringat, jenuh dan air mata. Kesengsaraan kota sungguh menyayat perasaanku.
Kota ini semakin ramai dengan persoalan kehidupan, jauh berubah dari tahun – tahun sebelumnya, bukan karena bangunan atau padatnya jalanan. Tapi karna peradaban tak kunjung memberi harapan. Jalanan aspal, rel kereta api dan ratusan gedung tinggi adalah saksi bahwa kota ini di bangun dari sejuta nadi para pemberani. Aku tak ingin tertawa di atas bumi yang di penuhi oleh asamnya air mata.
Semenjak kepergianmu Bram, aku hidup menyendiri, merenungi dan membangun kenangan yang pernah kita jalani sebagai manusia. Aku bangga menjalaninya bersamamu sebagai makhluk yang sederhana namun tetap mensyukuri keadaan yang ada. Bram, kini hidupku jauh lebih baik, aku memiliki mobil, rumah bahkan toko baju yang tak begitu besar tapi cukuplah untuk menghidupi anak anak tanpa harus menghamba pada tikus berdasi di kota ini. Namun satu hal yang harus kau tau, semua terasa hambar tanpamu disisiku. Aku rindu semangatmu, aku rindu suaramu bahkan aku rindu saat kau menghisap asap tembakaumu. Aku rindu segalanya tentangmu, tentangku dan tentang kita kala itu.
Anak anak kini sudah cukup dewasa bram, Qilla anak pertama kita sudah masuk kuliah tahun ini, dan Bima sudah lulus smp. Mereka berdualah permata yang mengingatkanku pada kenangan kita dulu. Aku melihat semangatmu pada Bimma dan qilla, jiwa yang humoris juga romantis, ceria dan berwibawa, tak begitu rupawan namun tetap semangat dalam setiap kehidupan. Begitulah kira kira yang aku bisa tangkap darimu.
Waktu kita remaja dulu, aku sering mencubitmu, gemas dengan tingkah lakumu yang sekarang aku selalu merindunya. Aku ingin mengulang semuanya bersamamu, menanti kehadiranmu di kehidupan yang lain atau selanjutnya.
“aku memandang lesungmu seperti Audrey Hepburn, aku melihat sedikit psycodellic dalam dirimu seperti Janis Joplin dan ambisimu sebagai Wu Zetian, pria macam mana yang tak jatuh hati melihatmu?” begitu lihainya kau selalu menggombaliku, aku kesal saat itu namun ku rindu kini.
Bukankah kau sendiri yang mengajariku untuk selalu mencintai masa lalu, meski sedikkit melukai namun sudahlah aku selalu mencobanya untukmu Bram. Sejak kau mengucap janji matrimony untuk hidup bersamaku dalam ikatan yang sakral, tak banyak yang aku rubah dari apa yang kita bangun bersama, ranjang tidur, meja kerjamu, pena bahkan barisan buku di rak milikmupun aku tak merubahnya, hanya kubersihkan saat berdebu, dan ku rapikan kembali di tempatnya, sama saat seperti kau meletakkanya. Kau sangat mencintai duniamu kala itu, mencintai apa yang kau miliki, kini aku yang harus mencintai peninggalanmu, buku – buku ini biarlah menjadikan kenangan antara kau dan aku, Di Bawah Bendera Revolusi, Mein Kamf, Fatherland dan beberapa tulisan Pramoedya Ananta Toer adalah bacaan yang sangat kau gemari. Mungkin itu yang membuatmu tak tergantikan di mataku.
Saat kau muda dulu, kau sering mengajakku ke taman baca di tengah kota, mengayuh sepeda dari rumahku ke sana, kau sungguh berbeda dengan pria seumuranmu kala itu. Sampai saat ini akupun masih sering mengunjungi tempat itu, jauh berbeda saat kau ajak aku kesana. Kini motor dan mobil yang ada di parkiran taman baca itu,juga caffe di situ lebih ramai ketimbang kedai buku itu sendiri, bahkan aku tak melihat satupun sepeda seperti yang kau bawa dulu. Maklum, kehidupan sudah mengalami jauh perubahan. Kalau tidak salah di kedai buku langgananmu ada penjaga buku yang bernama Wilujeng. Ya, aku ingat. Aku masih menemui nya di tempat itu tempo hari, Wilujeng sudah ber anak 2, anak – anak yang hiperaktif seperti ibu nya. Wilujeng sangat cerewet saat kita datang di kedai bukunya. Namun kesan humoris tak pernah luput dari dirinya. Tempo hari aku juga bertemu wilujeng di kedainya.