Mohon tunggu...
Prayoga Permana
Prayoga Permana Mohon Tunggu... -

a traveler, a grad student in Korea

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Indo-China Backpacking Diary Part 1: Ho Chi Minh City

7 Oktober 2010   13:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:38 1071
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berhubung nggak mampu beli oleh-oleh, jadi mungkin cerita ini yang bisa saya bagi buat teman-teman di tanah air. Well, perjalanan saya kemarin bisa dibilang pas-pasan. 4 negara, semua saya biayai sendiri. Bekerja setahun lamanya mulai dari jadi asisten dosen, bekerja di OIA, MC di conference sampai jadi freelance writer saya lakukan, yang penting halal dan ga perlu nyusahin orang tua buat backpackeran. Maklum, namanya juga mahasiswa.

Selain itu, kali ini saya menerapkan strategi baru. Tidak beli souvenir yang penting bisa makan banyak asal sehat. Sehari saya bisa minum lebih dari 3 gelas susu, makan buah dan makan 3 kali rutin. Pengalaman dulu waktu di Australia, kami bener-bener menerapkan tight money policy. Akhirnya malah jatah makan yang dikurangi. Pulang-pulang saya kena swine flu. Nggak lagi deh.

Kali ini tujuan saya adalah keliling ASEAN. Semua sudah saya rencanakan matang-matang dari setahun yang lalu ketika sebuah maskapai menawarkan tiket promo. Kenapa ASEAN? Simpel aja, karena sampai sekarang saya belum pernah melihat negara di sekitar Indonesia walaupun beberapa yang lebih jauh sudah. Saya penasaran seperti apa sih pencapaian negara tetangga. Jangan-jangan kita cuma menang jumlah orang aja.

Yang jelas kemanapun perginya, travel is my passion, ga ada kata-kata wasting kalo buat traveling. Buat orang mungkin ini cuma senang-senang, buat saya ini adalah pembelajaran hidup yang nggak bisa didapat di bangku sekolah. Dari situ kita belajar well prepared, belajar manage keuangan dengan benar, belajar cermat mengamati situasi, belajar menghadapi krisis dan belajar berinteraksi dengan perbedaan.

Parfum Yang Menggoda (Untuk Dirampas)

OK, cerita saya dimulai dari saat berangkat dari bandara CGK. Dari awal saya emang udah ga niat beli bagasi. Misi saya ya, traveling dengan bawaan seminim mungkin dan jadilah sebuah backpack dengan berat 6 kg di punggung. Itupun berat gara-gara 3 buku Lonely Planet dan peta. Apesnya saya ketauan bawa aerosol. Bapak-bapak petugas screening di CGK tampaknya dari awal sudah mengincar parfum kesayangan saya. Sigh, bapak itu sambil senyum-senyum bilang,’ mas ini parfumnya masih banyak, buat saya aja ya. Daripada dibuang’ .... arrrgh ya sudahlah pak ambil saja.

Perjalanan dimulai dengan flight ke Ho Chi Minh City di Vietnam. Sebenarnya ga ada tujuan yang jelas kenapa saya harus ke kota ini. Yeah, kami cuma serombongan backpacker impulsif yang ngikut kemana aja tiket promo terbang. Waktu itu tiket promo ke HCMC Cuma $20, padahal perjalanan ke sana makan waktu 3 jam. Ke Hongkong yang 4 jam aja bisa habis minimal $150 sekali jalan. Huaaaa, bahkan tiket ini bahkan lebih murah daripada tiket Jakarta-Jogja yang cuma 50 menit.

Than Son Nhat International Airport

3 jam perjalanan ke Saigon aka HCMC nggak terasa, tiba-tiba ban pesawat QZ kami sudah menyentuh tanah Paman Ho. Sungguh kaget waktu pertama kali liat Tan Son Nhat International Airport. Mungkin karena kebanyakan nonton film Rambo & Tour of Duty, bayangan saya Vietnam adalah negara yg belum civilized, diluar dugaan ternyata bandara itu lebih bagus daripada CGK. Ukurannya memang nggak sebesar CGK, mungkin nggak sampai setengahnya, tapi interior bandara ini sudah sejajar sama bandara-bandara bagus lain di Asia. Macam terminal 3 CGK lah

Pelayanan imigrasi juga cekatan. Nggak ada antrian panjang mengular macam di CGK. Kelihatan kalau pelayanan publik di Vietnam makin bagus, ga heran negara ini masuk the next eleven negara dengan ekonomi paling menjanjikan di dunia versi Goldman Sachs (btw, menurut bloomberg dari 11 negara itu yg terbaik sekarang adalah Turki dan Indonesia lho). Belakangan saya baru sadar kalau GDPnya tumbuh di atas 8%. Feeling saya sih negara ini bakal kaya China. Sistem komunisme menawarkan efisiensi kebijakan dan stabilitas yang mengamankan pertumbuhan ekonomi. Halah, hentikan teori-teori pembangunan.

Yang jelas, Viet Nam adalah satu-satunya negara yang membuat saya merasa berduit hahaha. USD 1 dihargai VND 19.000. Waktu saya menukar USD 25 eh dapetnya VND 500.000an. Efek lainnya karena otak masih ngeset rupiah, suka kaget kalo tiba-tiba sekali makan habis VND 30.000, padahal kalau di rupiah ga sampe Rp 15.000. Begitulah, negara-negara berkembang lebih suka mata uangnya lemah terhadap dollar karena bisa memacu ekspor.

Meluncur ke Ho Chi Minh City : Kotanya Motor, Kotanya Makanan dan Kotanya Orang Langsing

Oh iya, beberapa kali terakhir traveling, saya banyak memanfaatkan jasa couchsurfing. Semacam jejaring sosial para backpacker yang menawarkan homestay gratis. Untuk lebih jelasnya bisa dibaca di tulisan kompasiana saya http://wisata.kompasiana.com/group/jalan-jalan/2010/03/01/menginap-gratis-di-luar-negeri-ala-couchsurfing/

Kali ini host saya bernama Simen Platou, warga negara Norwegia lulusan Amsterdam yang lagi internship di World Trade Center Vietnam. Apartemennya terletak di daerah Binh Tanh, sekitar 5 km dari pusat kota Saigon. Pertama kali menginjak apartemennya, Simen langsung ngasih banyak tips soal Saigon. Karena di bandara juga minim soal pelayanan turis gratis, Simen bermurah hati memberikan peta Saigonnya untuk kami pakai. Lumayan lah. Sayang tulisan-tulisan latin Vietnam agak rancu. Kami agak bingung membedakan Bin Thanh dan Ben Thanh, termasuk kata-kata lain. Tapi justru itu tantangannya.

Keesokan paginya kami menyusuri Saigon tanpa Simen. Maklum hari itu Simen harus kerja jadi kami nekat aja. Keluar apartemen, saya shock melihat trafficnya. Yeah, kalo di Jakarta adalah raksasa pengguna motor, Saigon mungkin dewanya para raksasa pengguna motor. Jangan pula samakan dengan Jakarta. Di Jakarta pengguna motor masih punya aturan, lah di Saigon bener-bener hutan. Jarang ada polisi, pakai helm ala gayung, naik motor sampai naik trotoar dan para pejalan kaki dengan semena-mena diklakson! Lah, emang yang punya trotoar siapa??!! Nggak heran hari itu kami jadi saksi 3 kecelakaan motor sekaligus!

Parahnya lagi kalau menyeberang jalan, jangan pernah berpikir mereka akan ngalah. Teknik menyeberang jalan di Saigon ala Simen adalah jalan terus jangan sampai mundur ke belakang. Kalau mundur, habis lah sudah. Soal motor-motor di Saigon, kayaknya saya sering liat motor yang dipakai bapak saya pas bujangan berseliweran di sana. Motor-motor tua itu kelihatan masih lincah, bahkan beberapa dipakai buat jadi seum (semacam ojek).

Pagi itu kami bingung mau naik apa untuk ke kota, kalau naik Taxi bakalan mahal, naik bus gak ngerti tulisan-tulisannya, mau naik seum (ojek) si tukangnya pasti gak ngerti english. Akhirnya kami memutuskan jalan kaki dulu paling nggak untuk 2-3 km.

Sepanjang jalan banyak hal menarik yang kami temui, terutama ngiler ngeliat orang-orang lokal pada sarapan pho. Pho adalah semacam bihun kuah khas vietnam yang biasa disajikan bareng sayuran dan daging babi, ayam atau sapi. Pho begitu legendaris, sampai restonya udah jadi franchise di banyak negara termasuk Indonesia. Konon ada satu racikan pho yang bisa menyembuhkan flu babi, nah yang ini belum saya temuin.

Puas mengamati orang makan pho, akhirnya kami kelaparan sendiri. Nggak mungkin juga beli karena berbabi, untungnya kami nemuin warung kecil di pinggir jalan, itu pun udah setengah mati mencarinya. Jadilah sarapan kami sebungkus roti manis plus susu.

Di Vietnam, khususnya di Saigon, jangan harap anda akan mudah menemukan mini market macam circle K atau seven eleven dengan mudah, kami menemukan cuma 1 di tengah kota. Warung kelontong malah lebih banyak. Di Saigon juga nggak ada McDonalds, KFC ada tapi bisa dihitung dan jumlahnya nggak lebih dari 3 outlet. Sepertinya ini strategi pemerintah buat melindungi pedagang lokal. Nggak heran, di kota ini warung-warung makan tumbuh dengan pesat. Kata pak Bondan Winarno sih, separuh penduduk Saigon adalah penjual makanan, separuhnya lagi ya konsumennya. Jadi urusan di kota ini ya jual makanan, beli makanan dan makan. Surga bukan?

Eits, uniknya saya nggak pernah nemu orang subur disini (maksud saya gendut). Untuk urusan ini saya agak serius ngeliatin satu-satu orang berseliweran di jalan dan bener-bener ga ketemu! Sempet curiga juga jangan-jangan yang gendut diumpetin. Maklum, namanya juga negara komunis, sering ada orang hilang. Mungkin aja praktek-praktek menghilangkan orang sekarang bukan hanya tertuju pada para pembangkang politik, tapi juga para pembangkang hidup sehat haha.

Rahasianya terletak pada green tea. Di malam pertama kami di Vietnam, Simen mengajak kami makan ke sebuah warung makan lokal. Setelah memesan sepiring nasi dan lauk tiba-tiba pelayan membawakan kami green tea. Nah minuman itu adalah keharusan setelah makan, macam kita menenggak air putih sehabis makan. Pantesan

Next : Jejak-jejak Perang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun