Mohon tunggu...
Prayoga Permana
Prayoga Permana Mohon Tunggu... -

a traveler, a grad student in Korea

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Menginap Gratis di Luar Negeri ala Couchsurfing

28 Februari 2010   17:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:41 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebelum ke Australia, pengalaman terakhir saya traveling ke luar negeri adalah saat saya berumur 16 tahun ke Saudi Arabia. Walaupun waktu itu 'sebatang kara' alias sendirian, saya nggak perlu khawatir banget karena mulai dari tidur sampai tidur lagi semuanya sudah diatur travel agent. Nah saat ke traveling Australia tahun lalu, saya harus arrange semuanya sendiri, mulai dari tiket sampai urusan perut. Thanks to google yang membuat informasi tentang kebutuhan traveling jadi accessible. Untuk urusan hunting tiket murah aja kita bisa compare harga dalam 5 situs sekaligus hanya dalam sekali klik. Mau penginapan, tinggal pilih-pilih hostel yang cocok banget dengan budget dan kebutuhan kita. Masalahnya buat traveler muda macam saya yang jelas-jelas berkantong cekak, budget adalah masalah terbesar. Soal pengeluaran makan misalnya, untungnya saya pemakan segala jadi bisa lah bertahan dengan makanan asal masuk. Soal tiket juga nggak masalah kalo kudu naik Budget Airlines yang resikonya mesti berjam-jam dehidrasi karena nggak dikasih minum. Walaupun ujung-ujungnya sih saya dapet tiket promo Singapore Airlines hehe. Nah kalo soal akomodasi, ini wajib ada. Nggak mungkin kan mau tidur di pinggir jalan. Bisa-bisa dideportasi karena dikira imigran ga jelas. Belum lagi kalau musim dingin tiba, bisa jadi nugget beku deh tidur di luar rumah. Akhirnya saya browsing beberapa hostel di kota Brisbane. Karena lagi peak season, harganya jadi lumayan mahal. Bisa $15-20 per ranjang untuk semalam. Waduh, di Beijing aja dengan harga segitu saya bisa dapet hotel bintang 3 plus sarapan steam bun dengan full course tiap pagi. Untungnya salah satu teman menyuruh saya untuk gabung ke Couchsurfing.org. Labelnya lumayan keren, hospitality exchanges atau jejaring silaturahmi. Tapi intinya buat saya ya gimana dapet penginapan gratis (duh ketahuan deh pragmatisnya). Di awal gabung di situs ini lumayan ribet juga, persis kaya pas pertama kenal facebook haduuh. Terus saya seach member yang bisa ngehost saya di Brisbane. Orang pertama namanya Adam, dia menolak saya karena sedang traveling. Kedua namanya Jim, dan yippiee !! saya dapet host yang siap menampung saya selama di Brisbane. Setelah deal kami janjian untuk ketemu langsung di depan rumahnya di daerah Paddington. Buat tanda terima kasih, sebelum berangkat ke Australia saya menyempatkan diri bergegas ke Malioboro. Cari-cari souvenir sebagai tanda terima kasih untuk host saya itu. Hari H akhirnya tiba. Saya dan Tesa, teman traveling saya sampai di rumah Jim. Saat itu kami kelelahan banget karena habis main seharian di MovieWorld Gold Coast plus petak umpet sama kondektur kereta gara-gara salah pakai tiket (yang ini saya ceritakan nanti yah). Bencananya, teman saya si Tesa sedang dilanda sakau nasi. Di Brisbane, makanan termurah yang berhasil kami dapat adalah Hungry Jack. Mirip-mirip dengan Burger King di Indonesia. Sepaket berisi burger, french fries dan coke harganya sekitar $4,5. Mungkin inilah 'wartegnya' Australia, perut kami berasa demo karena disuguhin makanan ini tiap hari. Pernah juga sih makan di resto kecil ala Vietnam tapi harganya bisa $10 alias 2 kali lipatnya ! Tak disangka-sangka, Jim menyiapkan kami acara penyambutan dengan dinner sederhana tapi keren abis. Begitu duduk di meja makan kami dituangi sepiring nasi plus ikan kuah bumbu Padang. Jadi inget deh kata-kata mutiara ' Lo Jaim, Lo Laper' , langsung aja kami sikat semua sajian malam itu dengan lahapnya. Ternyata Jim memang hobi masak dengan masakan Asia sebagai makanan favoritnya. Di rumahnya aja ada berbagai macam bumbu lengkap-kap, bahkan koleksi bumbu-bumbunya lebih lengkap daripada punya ibu saya di rumah. Hebatnya lagi, beberapa bumbu sengaja ditanam di belakang rumah. Mau cabe rawit atau daun bawang tinggal ke halaman belakang. Kerennya lagi, mau omelet tinggal nyuruh ayamnya berdiri trus diambil deh telurnya. Waaah... Keesokan paginya, giliran kami yang masak. Karena kehabisan ide, ya jatuh-jatuhnya kami masak nasi goreng. Dan This is It ! Nasi Goreng kami kepedesan karena grogi hahaha..Makanya kami sih ikhlas-ikhlas aja dibilang Jim sebagai Baby Chef Masih banyak sebenarnya pengalaman dari Couchsurfing ini. Yang jelas di luar menginap gratis, ada banyak value yang bisa saya temukan. Pertama, Kalau kita menginap di Hotel dan sendirian mesti ujung-ujungnya cuma nonton TV di kamar. Mau pergi keluar juga nggak tau kemana kalo sebelumnya nggak melakukan riset macam baca buku Lonely Planet. Ujung-ujungnya pergi jauh-jauh ke negara orang cuma pindah tidur ! rugi ga sih ? Dengan couchsurfing, udah jadi budaya kalo si host mengantarkan kita ke tempat-tempat menarik di kotanya. Kadang-kadang mereka juga nggak segan-segan nunjukin hidden spot, tempat yang menarik tapi nggak turis banget dan yang paling penting mereka udah paham kalo kita budget traveler. Kedua, mempersiapkan kita menerima dan membalas kebaikan mereka dengan cara kita. Ada kalanya kita jadi host. Nah kalo ini kudu kreatif dong! Nggak banget kalo lagi-lagi mereka diajak ke Monas, TMII terus Ancol. Haduh, anak kecil aja udah bosen ! Pas ketiban giliran saya jadi host, mau nggak mau saya pelajari lagi Jakarta. Culunnya saya baru tahu ada Museum Bahari dan pertama kali ke pelabuhan Sunda Kelapa gara-gara jadi host. Saya sering terkekeh-kekeh karena ibu saya yang selalu heboh kalo ada member couchsurfing yang mampir di rumah saya. Bukan karena phobia atau apa, ibu saya selalu meributkan kelakuan bule yang jarang mandi. Hampir tiap 6 jam sekali ibu saya nanya udah mandi belum. Soal makan, saya nggak pernah ngajak mereka ke tempat makan yang 'mereka' banget. Justru sebaliknya, saya ajak aja makan mie ayam di pinggir jalan, makan pecel lele, makan bubur ayam, lontong sayur, pokoknya yang Jakarta banget lah. Mereka juga lebih tertarik karena street food adalah hal baru. Liat aja di Singapore misalnya, mana ada street food! Lagian dengan ngajak makan di pinggir jalan saya bisa lebih royal. Nggak perlu mahal-mahal juga kan buat ngenalin makanan kita, yang penting gimana esensinya dapet yaitu mempererat jejaring silaturahim dan saling memahami perbedaan!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun