Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengukur Medan Juang Golkar dan Demokrat

21 Desember 2009   18:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:50 1351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Didalam menilai sebuah medan pertempuran, ada empat hal yang harus diukur oleh intelijen, yaitu kekuatan, kemampuan dan kerawanan lawan, lengkapnya ditambah yang terakhir adalah niat. Kekuatan pengertiannya jumlah, baik personil ataupun persenjataan, kemampuan berarti musuh itu seberapa besar mampu melakukan penekanan, mendikte serta menghancurkan pasukan sendiri dan pasukan kawan. Sementara kerawanan adalah titik terlemah dari satuan sendiri ataupun satuan lawan, yang apabila di eksploitir akan menyebabkan kelumpuhan. Nah yang ke-empat dan harus harus diketahui adalah niat dari lawan itu, mau apa, bilamana, dimana, bagaimana dan mengapa. Menurut teori Jenderal ahli perang legendaris Cina, Sun Tzu, kita harus mengenali musuh, apabila sudah dikenali, dan juga mengenal; diri sendiri maka kemungkinan besar kita akan memenangkan peperangan itu. Nah, kini kita mencoba menerapkan teori tersebut di ranah politik. Coba kita ukur medan juang disitu. Kondisi perpolitikan di tanah air pada saat ini diwarnai adanya sebuah tekanan terhadap Partai Demokrat sebagai partai pemerintah berkait dengan mencuatnya masalah Bank Century. Kasus Bank Century yang pada awalnya adalah kasus hukum, karena menyangkut indikasi korupsi, akhirnya digeser masuk ke wilayah politik setelah ditangani oleh DPR dan Pansus. Oleh karena itu kini yang akan diukur adalah sebuah medan juang di ranah politik antara Partai Golkar dan Partai Demokrat. Suasana politik yang menonjol adalah munculnya tekanan dari pansus terhadap dua petinggi negara, yaitu wapres dengan Menkeu. Jelas wapres adalah pendamping presiden, dan menkeu adalah juga pembantu kepercayaan presiden. Jadi apabila diukur dengan kacamata politik, perseteruan yang sebenarnya terjadi sebenarnya antara Partai Golkar dan Partai Demokrat. Ini sebuah hal yang biasa dan wajar terjadi di dunia politik. Saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Partai Demokrat, sebagai partai baru pada  tahun 2004, mampu menguasai panggung dunia politik, setelah ikon partainya Pak SBY sebagai Ketua Dewan Pembina akhirnya menjadi presiden periode 2004-2009. Dengan perolehan suara 7,45% pada pemilu 2004, Partai Demokrat memiliki 57 kursi di parlemen dari 550 kursi. Akan tetapi pada pemilu 2009, Demokrat secara spektakuler  berhasil meraih dukungan 20,85% dan memiliki 148 kursi dari total 560 kursi di DPR. Kelebihan Demokrat terutama karena partai ini mempunyai patron yang ampuh dan membius, yaitu sosok Pak SBY sebagai Ketua Dewan Pembina. Pada saat pemilu dan pilpres 2009, banyak yang setuju dan mengatakan bahwa SBY jauh lebih besar dibandingkan  dengan Partai Demokrat. Jumlah suara, kursi dan pengaruh SBY sebagai  "patron" sulit di tumbangkan dalam pilpres 2009 lalu. Pasangan SBY-Boediono meraih 73.874.562 suara, senilai 60,80%, dibandingkan pasangan Mega-Prabowo, 32.548.105 suara atau 26,79% dan pasangan JK-Wiranto yang hanya meraih 15.081.814 suara atau 12,41 %. Partai Golkar merupakan Partai senior, yang di awaki oleh banyak politisi berpengalaman yang prestasinya sangat menonjol. Partai Golkar bermula dengan berdirinya Sekber Golkar di masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno,  pada tahun  1964 oleh Angkatan Darat. Dalam perkembangannya, Sekber Golkar berubah wujud menjadi Golongan Karya yang menjadi salah satu organisasi peserta Pemilu. Golkar menjadi Partai penguasa (Orde Baru) sejak pemilu 1971 hingga 1997. Setelah pemerintahan Presiden  Soeharto tumbang dan reformasi bergulir, Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar. Dibawah tekanan dibubarkan, pada pemilu 1999 Golkar ternyata masih eksis dan mampu meraih 22,44% suara dibawah PDIP yang meraih 33,74%. Pada pemilu 2004 Golkar meraih 21,58% (128 kursi), sementara PDIP meraih 18,53% (109 kursi) dan Partai Demokrat sebagai partai baru meraih 7,45% (57 kursi). Sebuah kekeliruan strategi Golkar pada pilpres 2004, khususnya pengukuran capres yang kurang tepat. Sebagai akibatnya calon Golkar, Wiranto-Gus Sholah tidak mampu masuk ke putaran kedua, dikalahkan SBY serta Megawati yang akhirnya masuk ke putaran kedua. Kemudian Golkar pada step politik selanjutnya kembali melakukan "blunder" bergabung dengan PDIP, sementara JK,  capres SBY yang justru berasal dari Golkar menjadi lawan politiknya. Kesalahan strategi inilah yang kemudian menyebabkan jatuhnya kepemimpinan Akbar Tanjung pada era 1998-2004, digantikan  JK yang naik menjadi Ketua Umum Golkar periode 2004-2009. Pada pemilu 2009, Golkar hanya mampu meraih 14,45% (107 kursi), dibandingkan Partai Demokrat yang meraih 20,85% (148 kursi), sementara PDIP meraih 14,03% (94 kursi) dari total 560 kursi di perlemen. Bagaimana mengukur kedua partai tersebut. Dari sisi kekuatan, Golkar memiliki basis masa yang sudah tertata dan jelas sejak tahun 1964. Dengan pengalaman berpolitik, terbangunnya jaringan kader dan simpatisannya, mengherankan perolehan suara Golkar terus turun sejak pemilu 1999 (22,44%), 2004 (21,58%) dan 2009 (14,45%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa sisa-sisa kejayaan masa lalu masih bisa dijaga hingga pemilu 2004. Kemerosotan perolehan suara pada pemilu 2009, menunjukkan lemahnya kepemimpinan serta konsolidasi ditubuh Golkar. Sebagai umumnya partai di Indonesia sebagai penganut budaya paternalistik, selama lima tahun pimpinan Golkar tidak mampu mengangkat perolehan suara. Kemampuan Golkar nampak menurun, baik perolehan suara pada pemilu ataupun perolehan suara pada pasangan capres Jk-Wiranto yang tidak mampu menandingi SBY-Boediono, bahkan posisinya jauh dibawah Mega-Prabowo. Sebagai parpol terbesar kedua di legislatif, Golkar menyadari bahwa pada pemilu 2014 lawan tanding utamanya adalah Partai Demokrat yang kini posisinya  6,4 % diatas Golkar. Oleh karena itu, dari kasus Bank Century yang sedang digarap di wilayah politik, maka yang terlihat disamping adanya indikasi korupsi, sebenarnya terlihat persaingan dan perseteruan tidak langsung antara Partai Golkar dan Demokrat. Tanpa disadari, elit Golkar dengan berbagai alasan yang  paling gencar menyerang dua tokoh yang dekat dengan SBY. Apabila pada akhirnya kasus Bank Century memakan korban salah satu saja dari dua pejabat tersebut, maka jelas citra serta kredibilitas SBY dan Demokrat akan turun. Lebih rawan apabila kedua pejabat tadi jatuh. Pada posisi tersebut, maka yang lebih mempunyai peluang  diuntungkan adalah Golkar. Kini strategi Golkar adalah keluar menyerang citra serta menaikkan posisi Aburizal Bakrie sebagai patron. Titik lemah Golkar selama ini adalah tidak dimilikinya tokoh panutan. Disinilah kekalahan mereka dari Demokrat. Ini yang disadari dan sedang dibangun oleh Golkar dan Aburizal yang dianggap  memiliki dukungan dana yang memadai, pengalaman cukup dan punya keberanian. Bagaimana posisi Demokrat? Kekuatan Partai Demokrat terletak kepada figure serta citra SBY sebagai patron yang masih sulit dikalahkan. Oleh karena itu, maka serangan kredibilitas serta citra SBY nampaknya terus dibangun oleh beberapa pihak. Kalau diperhatikan, ada upaya secara sistematis menyerang SBY melalui media elektronik. Mulai dari isu keterlibatan tim suksesnya, anak, serta partai dalam Centurygate. Inilah salah satu titik rawan Demokrat dan SBY yang sedang diserang.  Kekuatannya hanya bersandar pada figure SBY semata, apabila lawan mampu mengeksploitir kelemahan atau sebuah cacat SBY atau inner circle-nya, maka pengaruh negatifnya akan besar dimasa mendatang. Serangan ketidak jujuran, kelambanan, kegamangan, paranoid, nampaknya telah disetting dengan rapih dalam membentuk opini penurunan citra. Titik lemah lainnya dari Partai Demokrat, nampak kurang piawainya para elit ditubuh parpol dalam menetralisir serangan. Kemampuan lobi dan negosiasi dengan parpol koalisi tidak terjalin dengan benar. PAN, PPP, PKS kurang menunjukkan dukungan kebutuhan Demokrat. Hanya komitment serta langkah politis PKB yang masih menunjukkan kesetiaan. Kini, Partai Demokrat harus lebih piawai dalam melakukan pertahanan bersama. Sangat mungkin terjadi Partai Demokrat akan menjadi "single fighter" dalam menghadapi serangan mendatang yang lebih variatif. Partner koalisinya jelas akan enggan membantu karena serangan tekait dengan isu korupsi yang sedang  marak menjadi musuh rakyat. Partai Demokrat harus waspada menghadapi upaya amputasi baik terhadap Wapres Boediono, Menkeu Sri Mulyani dan kini Menkes yang patungnya sudah dibakar. Dalam kondisi ini maka sasaran taktis terburuknya  adalah pemakzulan Wapres, penggantian Menkeu dan Menkes  dan sasaran strategisnya  adalah penurunan citra SBY serta perebutan kembali konstituen untuk menghadapi 2014, disamping upaya menjadi pahlawan anti korupsi. Inilah perkiraan sasaran. Demikian sedikit ulasan tentang perkembangan politik yang dapat diraba. Nampaknya berat, tetapi di ranah politik hal seperti ini adalah suatu yang wajar dan biasa terjadi. Semoga bermanfaat. PRAYITNO RAMELAN

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun