Intelijen selalu mengumpulkan informasi dari singkatan populer Siabidibame, kependekan dari Siapa, Bilamana, Dimana, Bagaimana dan Mengapa. Itulah pakem sebuah informasi yang harus di laporkan seorang agen kepada "user," atau pengguna. Misalnya dalam kasus kerusuhan di Priok, empat butir bisa langsung dibuat dalam sebuah laporan Siabidiba. Akan tetapi Me atau mengapa peristiwa tersebut terjadi membutuhkan sebuah proses, yaitu informasi pelengkap lainnya serta hasil analisa seorang analis intelijen. Mengapa sebuah peristiwa terjadi harus dinilai dengan hati-hati, karena inilah dasar yang akan dijadikan pegangan pimpinan dalam pengambilan sebuah keputusan. Nah, dalam beberapa kasus terjadinya tindak teror di Indonesia, terdapat beberapa informasi yang saling berhubungan yaitu terjadinya pergeseran target teroris. Sejak Bom Bali-1 pada 12 Oktober 2002, yang disusul dengan beberapa bom bunuh diri, terakhir Bom Marriott-2 pada 17 Juli 2009, sangat jelas penyerangan spesifik tersebut  pesannya ditujukan kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Walaupun demikian beberapa serangan bom yang terjadi sejak 18 Januari 1998 (Rusun Tanah Abang), serta 15 pengeboman lainnya terdapat beberapa kepentingan lain. Beberapa pengeboman spesifik terhadap gereja dan target Amerika di Indonesia nampaknya perlu terus dicermati. Oleh karena itu kita perlu melihat "the past" atau "basic descriptive intelligence" yang disebut sebagai informasi dasar kegiatan teror di Indonesia. Menurut Wawan H Purwanto dalam bukunya Terorisme Undercover, ancaman terorisme telah terjadi ketika Presiden Soeharto berkuasa, dimana cikal bakalnya tumbuh dalam bentuk gerakan underground. Gerakan itu sejalan dengan cita-cita mereka untuk mendirikan negara Islam. Bahkan partai-partai Islam yang cita-citanya lebih halus dari cita-cita mereka tidak mendapat dukungan dari rakyat. Pemberontakan DI (Darul Islam) Kartosuwiryo sejak 1949 merupakan akar utama gerakan terorisme yang hingga kini terus beregenerasi. Tujuan DI adalah mendirikan Negara Islam Indonesia (NII). Dimasa pemerintahan Orde Baru, aktivitas DI senantiasa diawasi, sehingga beberapa tokohnya hijrah ke Malaysia dan mereka berani kembali ke Indonesia saat reformasi bergulir. Pada tahun 1993 terjadi konflik internal beberapa pemimpin DI, yaitu antar Ajengan Masduki dengan Abdullah Sungkar, dari konflik ini lahirlah Jamaah Islamiyah (JI) yang dipimpin oleh Abdullah Sungkar. Setelah Abdullah Sungkar meninggal, kepemimpinan JI beralih kepada Abu Bakar Ba'asyir. Dalam perjalanan selanjutnya organisasi pecahan DI ini dituduh sebagai kelompok teroris yang beraksi di Indonesia, karena para pelaku BOM Bali-1 adalah anggota-anggota JI. Wawan didalam bukunya menuliskan bahwa gerakan terorisme di berbagai belahan dunia, khususnya di Asia Tenggara dan Indonesia, umumnya lahir karena ketidak adilan global dan ketidakpuasan atas fenomena politik. Para anggota gerakan itu menilai bahwa sistem politik yang kini diterapkan di negara-negara yang mayoritas berpenduduk muslim, termasuk Indonesia tidak sesuai dengan "syariat Islam," dan karena itu harus diperjuangkan untuk diubah agar sejalan dengan ajaran agama Islam. Selain itu, mereka memandang kebijakan luar negeri AS, khususnya dalam program demokratisasi dan kampanye hak asasi manusia (HAM) yang menerapkan "standar ganda" telah melahirkan ketidak adilan global. Dua konteks inilah yang memberi semangat jihad bersenjata. Sementara Karen Armstrong dalam bukunya The Battle for God menjelaskan bahwa lahir dan berkembangnya organisasi garis keras di dunia Muslim dilatar belakangi kekecewaan terhadap modernisasi yang diterapkan oleh penguasa Muslim. Para penguasa muslim ingin memodernisasi negara mereka merujuk kepada Barat. Namun, proses modernisasi tidak berjalan secara damai sebagaimana terjadi di Barat. Modernisasi di negara-negara Muslim seperti Iran, Mesir dan Turki adalah proses penuh pergolakan hingga menimbulkan pertumpahan darah serta ketercerabutan spiritual. Dikatakannya bahwa lahirnya gerakan Islam garis keras didorong oleh rasa ketakutan, kecemasan, dan hasrat melindungi diri dan kelompoknya dari serangan modernitas yang sekular. Contoh jatuhnya korban adalah terbunuhnya Presiden Mesir Anwar Sadat dalam sebuah upacara yang ditembak oleh beberapa anggota pasukannya sendiri. Fareed Zakaria mengatakan bahwa Amerika berada di pusat globalisasi dunia. AS tampaknya tak dapat dihentikan. Orang Amerika sangat nyaman dengan kapitalisme global dan budaya konsumen sehingga tidak dapat mengukur betapa revolusionernya kekuatan ini. Kaum muda yang kebingungan, dengan satu kaki di dunia lama dan kaki lain di dunia baru, sekarang mencari alternatif yang lebih murni dan sederhana. Fundamentalisme memangsa orang-orang seperti ini di mana-mana. Fundamentalisme juga telah mengglobal. Seringkali mereka belajar tentang jalan hidup yang sangat berbeda dari Barat ketika mereka tinggal di Barat. Hal inilah yang dilakukan oleh Mohammad Atta, insinyur lulusan Hamburg yang menabrakkan pesawat pertama ke World Trade Center. Setelah kita melihat beberapa teori tentang terbentuknya terorisme internasional dan hal yang melatar belakangi timbulnya teror di Indonesia, marilah kita bahas beberapa sasaran spesifik. Sejak tahun 2000 telah terjadi peningkatan pengeboman di tanah air. Setelah aksi pengeboman yang terkait dengan konflik di Aceh, maka tragedi bom Natal dan bom Bali dan bom-bom bunuh diri lainnya adalah tragedi besar. Untuk bom Natal sasaran utamanya adalah non-Muslim Indonesia. Bom meledak di 38 tempat, sebagian besar gereja diberbagai kota, Jakarta, Bandung, Mojokerto, Pekanbaru, Sukabumi, Batam, Medan, Pematang Siantar dan Mataram. Pengeboman merenggut 19 nyawa jemaah dan melukai 120 orang. beberapa gereja rusak berat. Setelah bom Natal, maka sejak Tahun 2002, pengeboman dilakukan terhadap sasaran spesifik lain yaitu target Amerika Serikat dan sekutunya, serta tempat berkumpulnya orang asing. Dari beberapa hasil pemeriksaan, jelas bahwa para pelaku adalah jaringan Jamaah Islamiyah, kelompok Hambali dan Noordin M Top. Bisa ditafsirkan bahwa penyerangan dilakukan oleh kelompok yang berafiliasi dengan Al-Qaeda. Dalam operasi pengejaran oleh Densus dan Badan Intelijen, beberapa tokoh besarnya telah ditembak mati. Pada bulan Juli 2009, masyarakat dikejutkan dengan pernyataan presiden yang berdasarkan informasi intelijen, dirinya telah dijadikan target penembakan oleh kelompok teroris yang melakukan latihan. Informasi kedua didapat, bahwa pada penyergapan teroris di Jatiasih, didapat fakta bahwa mereka juga menjadikan komleks Cikeas menjadi target pengeboman. Informasi ketiga, didapat saat penangkapan enam teroris di Medan beberapa waktu lalu bahwa mereka juga mendapat TO (Target Operasi) untuk melakukan penyerangan ke Cikeas. Dengan demikian maka informasi-informasi tersebut bukanlah sebuah rumor, akan tetapi informasi yang sangat perlu diwaspadai dan ditindak lanjuti lebih mendalam. Indonesia sejak kepemimpinan Presiden SBY, telah dibawa menuju kealam yang lebih modern. Modernisasi telah ditunjukkan lebih jelas sejak kampanye pada pemilu dan pilpres 2009, dan bahkan beberapa simbol yang ditampilkan sangat mirip dengan kampanye di AS. Indonesia yang sejak 1998 memasuki arus reformasi, jelas mengadopsi sistem demokrasi dari negara Barat, yaitu demokratisasi dan Hak Asasi Manusia. Pengukuran benturan tersebut bisa terlihat, seberapa besar kekacauan yang terjadi, seberapa besar pergolakan yang muncul. Kita tidak menghendaki terjadinya modernisasi seperti di Iran, Mesir dan Turki yang menimbulkan gejolak. Dengan demikian maka kita perlu waspada, apakah teori akan terjadinya benturan antara upaya modernisasi dengan cara pandang kelompok radikal yang ada telah mencari kambing hitam? Dan dalam hal ini, sebagai pemimpin nasional, posisi Pak SBY bisa di persamakan dengan Presiden Anwar Sadat yang dipersalahkan oleh kelompok radikal itu. Nampaknya alasan ini yang menyebabkan timbulnya pegeseran target teroris dari target internasional menjadi target lokal yaitu pribadi presiden. Oleh karena itu, suatu hal yang sangat perlu kembali dipikirkan, nilai-nilai budaya, norma-norma yang berlaku pada masyarakat tradisional sebaiknya disesuaikan dengan upaya modernisasi yang diharapkan. Kerusuhan di Priok merupakan sedikit gambaran terjadinya benturan tersebut. Demikian pandangan sebuah jawaban kira-kira mengapa presiden yang dijadikan target operasi para teroris itu. Nampaknya para ahli pikir bangsa ini perlu kembali menelaah dan menata kembali apa yang telah ditetapkan sebagai sebuah kebijakan modernisasi. Kita sepakat bahwa bangsa ini perlu maju dalam menyongsong masa depan, tetapi ada hal-hal yang perlu dipikirkan ulang agar tidak terjadi kekacauan. Yang pasti, Badan Intelijen dan Paspampers jangan sampai lengah dalam melakukan pengamanan terhadap presiden yang merupakan simbol negara ini, mereka masih ada.  Semoga bermanfaat pemikiran sederhana ini. PRAYITNO RAMELAN, Pemerhati Intelijen, Penulis Buku Intelijen Bertawaf.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H