Money Heist adalah judul film di mana seorang pria misterius dikenal sebagai "Profesor" merencanakan pencurian bank terbesar dalam sejarah. Untuk melaksanakan rencana ambisius, ia merekrut tim yang terdiri dari delapan orang dengan kemampuan tertentu untuk memasuki Royal Mint of Spain di Madrid, ibukota Spanyol, dan mencetak 2,4 miliar untuk mereka curi.
Saat melatih anggotanya, dia mengatakan, yang kita hadapi adalah polisi dan intelijen (CNI), kita dipihak lemah mereka kuat. Bagaimana menghadapi yang kuat, yaitu kita tarik simpati publik. Dia memberi contoh, dalam sepakbola bila Brasil lawan Kamerun, mana yang berpeluang lebih besar menang? Brasil!Â
Nah, saat kita lemah seperti Kamerun, lawan sangat kuat, maka publik akan berpihak pada yang lebih lemah... itu kuncinya. Kamerun bisa menang dengan dukungan publik. Jangan sekali-kali kita sudah lemah berteriak tidak baik serta arogan.
Akhir cerita, walau ada korban, upaya pencurian dengan penyaderaan itu berhasil. Tapi yang tidak kita sadari, menonton film itu kita ingin mereka sukses: ada rasa cinta para penyandera, persatuan, dan tidak menyakiti. Inilah dukungan dan pengaruh psikologis penonton, terpengaruh simpati kepada yang lemah, walau mereka kita tahu melanggar hukum.
Nah, apa kaitan film Money Heist dengan pilpres? Teori si Profesor itu penting dipahami kedua kubu. Pada pilpres 2019, dalam perjalanannya elektabilitas pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin selalu mengungguli pasangan Prabowo-Sandi.Â
Dari proses pilpres 2019, beberapa waktu muncul di medsos statement negative, propaganda, penyebaran hoaks, isu negatif dan lain-lain. Petahana terus diserang identitas, kapabilitas dan kapasitasnya. Publik menyimpulkan ini adalah upaya lawan politik Jokowi. Mari kita analisis.
Pasangan Capres-Cawapres Nomor 01: JKW-Maruf AminPasangan 01 ini, walau selalu kuat ektabilitasnya, bila salah langkah dalam tiga bulan mendatang bisa turun dan berkurang pendukungnya. Pasangan ini akan tetap kuat selama mampu menjaga simpati dan kepercayaan konstituen. Makin kuat mereka diberitakan maka makin rawan dengan  teori di atas.
Pak Jokowi harus tetap menjaga sikap, tidak menghina lawan politik, biarkan kalau dizholimi, selama tidak melanggar sesuatu yang sangat prinsip, biarkan saja. Jangan banyak bicara substantif, bicara yang strategis. Misalnya bagaimana menyejajarkan Indonesia dengan negara besar lainnya, memakmurkan rakyatnya serta adil dan lain-lain.
Kepercayaan rakyat yang sudah terbentuk diatas 50 persen tidak akan bergeser selama dipelihara. Timsesnya jangan terlalu percaya diri, jangan arogan, biarkan lawan menghina dan menuduh yang tidak-tidak, buktikan dengan tindakan tidak dengan teriakan --walau lawan berteriak. Seperti kata "Profesor", rakyat memihak yang lebih lemah dan akan bersimpati. Makin tinggi arogansi lawan, makin menguntungkan pihaknya.Â
Pasangan Capres-Cawapres Nomor 02: Prabowo-SandiDari beberapa lembaga survei, pasangan nomor urut dua ini selalu kalah. Penulis membaca adanya pengulangan strategi Pilkada DKI saat menghancurkan kredibilitas Ahok sebagai petahana.Â
Menurunkan citra afar sejajar, ini terjadi setelah Ahok menyentuh detonator Al-Maidah. Luruhlah simpati publik terutama konstituen Muslim yang berhasil dipengaruhi.
Ahok-Djarot dikeroyok koalisi Parpol utama lawan politik, yaitu Gerindra, PKS, Demokrat, PAN, serta kekuatan GNPF dengan ikon Habib Rizieq. Ahok tumbang dan ironisnya masuk penjara.
Nah, bila strategi ini yang dipakai untuk menang pada pilpres jelas kurang tepat. Target konstituen pilkada sektoral, mudah dikondisikan. Posisi politis Capres 02 dinilai lebih lemah. Jadi jangan lakukan langkah yang dinilai arogan, menjelekkan dan memburukkan segala macam tentang Jokowi. Sebagai mantan militer, Prabowo jangan mengeluarkan ancaman, menakuti publik tentang masa depan bangsa. Militer dikenal sebagai pelindung dan pengayom.
Rakyat pada April 2019 tidak sedang mencari seorang tokoh sebagai problem solver. Pada pilpres 2014, Jokowi bukan super hero, bukan problem solver dibandingkan dengan SBY yang Jenderal pintar sebagai pendahulunya. Dia hanya tokoh sederhana, tapi ada harapan dari prestasinya, walau saat itu madih kecil. Nah, rakyat lebih banyak memilih Jokowi-JK , bukan Jenderal Prabowo yang pintar dan bahasa Inggrisnya bagus.
Oleh karena itu teori profesor tentang kuat dan lemah itu perlu direnungkan masing-masing kubu. Ini harus ditunjukkan keduanya. Peran Jokowi dan Prabowo sangat penting sebagai sentral, branding keduanyalah akan menentukan kalah menang.
Masing-masing parpol dalam beberapa bulan ini akan lebih sibuk memikirkan pileg dibanding pilpres. Kecuali 3 partai anker (jangkar) PDIP, Gerindra dan Golkar, yang lainnya masih kebat-kebit, salah-salah tidak lolos jepitan parliamentary threshold yang empat persen. Percaya atau tidak itulah realitanya.
KesimpulanPasangan Jokowi-Maruf Amin walau ekektabilitasnya lebih tinggi, tetap harus santun, jangan arogan. Waspada dalam debat yang mulai 17 Januari 2019. Mungkin Prabowo-Sandi yang dua-duanya pernah sekolah di Amerika mampu mengeritik, lebih mampu berbicara, bisa menggebu-gebu berbicara ekonomi sebagai isu utamanya.Â
Tapi ingat teori profesor, bila dijawab Jokowi santun dengan data akurat, tidak akan mengganggu ekektabilitasnya dan bahkan bisa menarik simpati.
Bagian paling penting dari kubu Prabowo, menurut penulis, tidak tepat bila menerapkan strategi Pilkada DKI pada rangkaian pilpres 2019. Dalam teori intelijen penggalangan menyerang terus menerus dengan isu atau provokasi justru akan berbalik arah, merugikan pihak penyerang.
Makin santun Prabowo, makin besar simpati publik. Jelas beda berbicara di depan pasukan dengan berbicara di muka publik-sipil. Kira-kira begitu pemikiran Old Soldier, semoga ada manfaatnya. (PRAY)
Marsda Pur. Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H