Mafioso di negara asalnya Italy mempunyai arti anggota dari organisasi Mafia. Pada awalnya Mafia merupakan nama sebuah konfederasi orang-orang di Sisilia saat memasuki pada abad pertengahan untuk tujuan perlindungan dan penegakan main hakim sendiri. Konfederasi ini kemudian mulai melakukan kejahatan yang terorganisir. Mafioso mempunyai arti yang demikian bagus, yaitu "pria terhormat." Istilah mafia kini telah melebar hingga dapat merujuk kepada kelompok besar apapun yang melakukan kejahatan terorganisir. Bos Mafia dipanggil Capo, untuk penguasa sekelas God Father. Posisi yang paling ditakuti dan dihormati dikalangan Mafia dipanggil Capo Dei Capi, yaitu pimpinan tertinggi dan paling berkuasa dari beberapa pimpinan Mafia. Nah, mari kita bahas sedikit tentang Mafia dan Mafioso dalam kaitan dan cara pandang Satgas Anti Mafia hukum yang akhir-akhir ini pamornya mulai naik. Satgas Pemberantasan Mafia Hukum di ketuai oleh Kuntoro Mangunsubroto, dengan sekretaris Denny Indrayana, anggota Satgas, Yunus Husein serta Mas Achmad Santosa. Satgas ini mulai melakukan gerakan aktif, banyak diberitakan dalam meneliti indikasi korupsi dalam praktek pajak. Satgas melakukan pendekatan ke pimpinan Polri dan Kejaksaan Agung. Satgas menemukan data uang Rp 25 miliar di rekening pegawai Pajak Gayus Tambunan yang berasal dari setoran banyak orang. “Uang dari perorangan di situ banyak,” kata anggota Satgas Yunus Husein. Yunus menepis bila setoran bukan hanya dilakukan oleh PT Megah Citra Jaya Garmindo dan Roberto Antonius. “Ya enggak, dua itu terlalu sedikit,” jelasnya. Mabes Polri menindaklanjuti informasi yang disampaikan Komjen Pol Susno Duadji tentang keterlibatan beberapa petingginya. Polri telah membentuk tim independen di luar Bareskrim untuk mengusut dugaan makelar kasus pajak senilai Rp 25 miliar tersebut. “Tim independen yang di dalamnya ada unsur Kompolnas dan Polri sudah dibentuk untuk mendalami dugaan mafia kasus, ini di luar Bareskrim,” ujar anggota Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, Mas Achmad Santosa. Dari beberapa informasi tersebut diatas, kini timbul pertanyaan, seberapa besarkah kemampuan Satgas tersebut dalam melaksanakan tugasnya, karena yang dihadapinya adalah perkiraan adanya Mafia Hukum. Apakah Satgas sudah siap dalam menghadapi apa yang mereka kategorikan sebagai kelompok Mafia Hukum?. Apakah di Indonesia hanya terdapat Mafia Hukum saja? Apakah tidak terdapat Mafia-Mafia lainnya?. Ini adalah sebuah pertanyaan yang harus kita jawab. Sejak Presiden SBY mencanangkan peningkatan pemberantasan korupsi, terlihat demikian banyak borok-borok yang merongrong kesehatan negara ini. Mari kita mulai dari hasil penelitian masalah korupsi. Hasan Hambali (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sumber korupsi mencakup dua hal pokok yaitu "kekuasaan kelompok kepentingan dan hegemoni elit". Kekuasaan kelompok kepentingan cenderung lebih berwawasan politik, hegemoni elit lebih berkait dengan ketahanan ekonomi. Piranti korupsi umumnya menggunakan perlindungan politis dan penyalahgunaan kekuasaan. Interaksi sumber dan piranti menimbulkan empat klasifikasi, Manipulasi & suap (interaksi antara penyalah gunaan kekuasaan dan hegemoni elit), Mafia dan Faksionalisme (golongan elit menyalah gunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi), Kolusi dan Nepotisme (elit mapan menjual akses politik dan menyediakan akses ekonomi kepada keluarga untuk memperkaya dirinya, keluarga dan kroni), Korupsi Terorganisir dan Sistem (korupsi yang terorganisir dengan baik, sistematik, melibatkan perlindungan politik dari kekuasaan kelompok kepentingan). Nah, dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa kata Mafia yang dilengkapi dengan faksionalisme muncul hanya sebagai salah satu dari empat klasifikasi yang berkaitan dengan korupsi. Mafia disini hanyalah seperempat network yang melaksanakan korupsi. Disini terlihat bahwa jaringan korupsi nampaknya sudah bukan hanya merupakan budaya lagi, tetapi sudah merupakan sebuah komoditas di negara ini. Jadi, pengertian Mafia disini adalah golongan elit yang menyalah gunakan kekuasaan dan membentuk pengikut pribadi untuk bersama-sama melakukan korupsi. Dengan demikian maka Mafia bukan hanya berada di jajaran hukum saja, bisa diperkirakan juga berada di tataran lainnya. Kasus Gayus Tambunan hanyalah sebuah puncak gunung es dilautan yang demikian luas, sementara gunung raksasa yang sebenarnya berada dibawah air. Dalam kisah masa lalu, gunung yang tenang dan diam ini terbukti telah mampu menenggelamkan kapal Titanic yang demikian hebat dengan empat cerobong besarnya. Pada tahun 2008 penulis pernah membuat sebuah artikel di blog pribadi dengan judul antara KPK dan Kopkamtib, dimana penulis melihat dan agak mengkhawatirkan KPK dengan pimpinan Antasari Azhar yang dalam gebrakannya pada Tahun 2008 telah menggetarkan dunia korupsi. Penulis menyampaikan agar KPK sebaiknya lebih berhati-hati, karena bukan hanya mereka yang bisa mengejar, para koruptor dan jaringannyapun bisa melakukan serangan balas. KPK tidak lebih canggih dalam melindungi dirinya dibandingkan dengan Kopkamtib yang demikian lengkap perangkatnya. Ternyata kemudian terbukti, Antasari Azhar yang demikian menggiriskan, menjadi lumpuh hanya terkena sentuhan kasus mahluk "bening." Hingga kinipun banyak yang bertanya-tanya apakah itu sebuah konspirasi?. Apakah Antasari yang Jaksa tidak faham dengan ancaman hukuman berat apabila terlibat dalam pembunuhan?. Tidak ada jawaban pasti. Inilah permainan di wilayah abu-abu bak belitan gurita yang tak terasa tetapi mematikan. Pada intinya mereka yang diterjunkan dalam memerangi korupsi haruslah siap menghadapi "counter" dari yang mereka kejar. Dahulu penulis menyarankan KPK saat dipimpin Antasari agar melakukan tindakan pengamanan dari fungsi intelijen, yaitu pengamanan pribadi, pengamanan kegiatan dan pengamanan organisasi. Nampaknya ada yang tidak mereka kerjakan, karena Antasari disadari atau tidak telah melakukan kesalahan dalam pakem pengamanan intelijen tersebut. Tidak ada salahnya kini apabila Satgas Pemberantasan Mafia Hukum juga memahami dan menerapkannya. Tanpa adanya perlindungan dan upaya melindungi diri, diperkirakan Satgas akan mudah di eksploitasi kerawanannya dan mereka dengan mudah dapat dilumpuhkan. Tidak cukup hanya tekad dan keberanian saja dalam berperang di wilayah abu-abu ini. Satgas sangat perlu di perkuat dengan tenaga-tenaga spesialis "counter" agar tidak runtuh seperti kisah pilu Antasari. Menghadapi pria-pria terhormat itu saja jelas sulit dan berbahaya, terlebih lagi apabila Capo Dei Capi menjadi marah. Siapkah Satgas? PRAYITNO RAMELAN. Pengamat Intelijen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H