Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Densus Berhasil Mencokok Abdullah Sonata

24 Juni 2010   01:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:19 785
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bulutangkis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Vladislav Vasnetsov

[caption id="attachment_175819" align="alignleft" width="298" caption="Ilustrasi : nasional.kompas.com"][/caption] Densus 88 pada Rabu (23/6) berhasil menangkap DPO salah satu tokoh teroris terkenal, Abdullah Sonata bersama tiga temannya di Klaten Jawa Tengah. Peyergapan dilakukan di dua lokasi yaitu di  Kelurahan Gergunung Girimulyo, Kecamatan Klaten Utara, Kabupaten Klaten dan sebuah perumahan di dekat kantor Pengadilan Negeri Klaten. Sementara salah seorang yang diduga komplotannya yaitu  Yuli Karsono alias Yuli Sartono tewas ditembak setelah menembak seorang anggota Densus dengan menggunakan pistol. Yuli adalah buronan  di duga pembunuh dua anggota polisi di pos polisi Purworejo April (10/4) yang lalu. Abdullah Sonata adalah DPO polisi sebagai teroris residivis, lahir di kawasan Bambu Apus Jakarta Timur pada 4 Oktober 1978. Sonata menjadi terkenal dan disegani setelah menjadi pimpinan Lasykar Mujahidin, Komite Penanggulangan Krisis (KOMPAK) saat konflik di Ambon pada tahun 1999. Saat itu Sonata mempunyai sekitar 500 anggota. Dia mempunyai kemampuan melakukan penyabotan gudang senjata Brimob di Ambon pada tahun 2000. Sonata juga memimpin kelompok Kayamanya dalam konflik di Poso. Setelah bom Bali-1 (2002), Sonata bertemu dengan Dulmatin dan Umar Patek di Jakarta. Sonata beserta Maulana (teroris yang tertembak di Cawang) juga termasuk yang membantu pembukaan kamp pelatihan Mindanao, Philipina dan juga menggorganisir pemasokan dana dari Timur Tengah. Sonata juga diketahui telah membangun kamp pelatihan Olas di Seram Barat. Abdullah Sonata berhasil ditangkap pada 6 Juli 2005 dan pada Mei 2006 dalam sidang pengadilan oleh hakim dihukum tujuh tahun penjara. Dalam penjara Sonata mampu melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok lain seperti Jamaah Islamiyah dan begitu keluar penjara pada Maret 2010, Sonata langsung bergabung dengan kelompok gabungan yang membuat basis pelatihan di Nangroe Aceh dengan nama Al-Qaidah Serambi Mekah. Menurut Sidney Jones, pengamat teroris International Crisis Global, Abdullah Sonata menolak bergabung dengan Noordin M Top, walau ideologinya sama yakni jihad dan Amerika dianggapnya sebagai musuh utama yang menindas muslim. Sonata tidak setuju dengan model pengeboman dan aksi bunuh diri ala Noordin, dia boleh jadi mengembangkan pola teror lain yaitu penembakan dan penculikan. Sebelumnya pun dia dikenal ahli dalam merancang penculikan.  Sonata diketahui banyak berkomunikasi dengan Umar Patek, dan juga sering mengirim orang ke kamp Mindanao Philipina, untuk mengikuti pelatihan bersama kelompok  Abu Sayyaf. Dalam kelompok Teroris di Aceh, Abdullah Sonata  diketahui juga berkordinasi dengan Dulmatin. Keduanya memimpin sejumlah nama seperti Maulana (tewas), Sofyan, Mustakim, Mahfud, Jaja (tewas), Ardi (tewas), Mahfud. Saat itu Dulmatin, pimpinan kelompok Teroris dengan basis Aceh mengendalikan Jafar alias Ubed (bendahara), Jaja (majelis Syuro), Mahfud (penanggung jawab logistik dan senjata), Ardi dan Yudi (penanggung jawab logistik makanan) dan Mustakim (penanggung jawab pelatihan). Dengan demikian maka kini Abdullah Sonata merupakan salah satu tokoh besar teroris di Indonesia yang kembali tertangkap oleh Densus. Pada saat penggerebekan di Cikampek, saat itu (14/5), Kapolri menyatakan "Mereka akan melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap pejabat negara pada upacara 17 Agustus. Semua pejabat negara bisa menjadi sasaran assasination, termasuk tamu asing yang hadir pada upacara 17 Agustus." Dari informasi sementara  hasil operasi di Klaten, ternyata didapat pengembangan sasaran dari teroris, yaitu Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. Walau Abdullah Sonata terlihat lebih menyetujui pola serangan dengan serangan bersenjata, kemungkinan gabungan antara pemboman dan serangan senjata masih sangat mungkin terjadi. Sobir, salah satu yang ditangkap di Klaten bersama Abdullah Sonata, menurut Kapolri adalah ahli membuat bom dan sekelas dengan DR Azhari (alm). Berarti dengan demikian para petugas pengamanan mesti mewaspadai kemungkinan penyelundupan dua macam ancaman yaitu bom dan senapan serbu ditempat yang bisa diperkirakan akan menjadi target teroris. Kini, paling tidak pihak Polri akan banyak mendapat tambahan informasi tentang kelompok yang di kembangkan oleh Abdullah Sonata. Menarik apa yang disampaikan oleh Sidney Jones dalam sebuah wawancara di Metro TV. Sidney menyebutkan kurangnya pengawasan narapidana terorisme di dakam penjara, adalah salah satu pemicu banyaknya kelompok teroris. Seharusnya, orang sekelas Abdullah Sonata saat dipenjara tidak dibiarkan membentuk sebuah kelompok pengajian. Saat itulah, dia bisa saja bebas berdiskusi dengan napi teroris lainnya. Mereka pun bisa merekrut napi biasa di dalam penjara. Jadi, menurut Sidney, pemerintah saat ini harus menguatkan pengawasan terhadap para teroris yang sudah bebas dari hukuman. Ini berarti program de-radikalisasi yang menjadi program Kemenkopolhukam dipandang perlu segera di jalankan dan di dukung berbagai pihak terkait. Kita jangan menunda segala sesuatu upaya yang terkait dengan penanggulangan masalah teroris. Yang dilakukan Polri kini merupakan bagian dari Strategi Militer (penegakan hukum), sementara Strategi Politik (kesatuan bahasa politik) dan Strategi Budaya (penyadaran kekeliruan ideologi Teroris) belum dengan serius kita laksanakan. Nah, terbukti sudah, mereka yang masuk penjara justru semakin berhasil mengembangkan jaringan dan meningkatkan Esprit de Corps Teroris. Kini, kok kita lebih sibuk mengurusi kasus video porno dibandingkan dengan masalah teroris. Kapan selesainya kalau terus begini? PRAYITNO RAMELAN, Penulis Buku Intelijen Bertawaf.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun