Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Pansus Sulit Menjepit Sang Profesor

23 Desember 2009   08:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:48 1806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah bisa mengukur kejadian masa lalu dengan ukuran masa kini? Bisa iya dan bisa tidak, kira-kira begitu jawabannya. Sebagai contoh, sekelompok pasukan TNI yang terkepung di Timor Timur dalam mempertahankan sebuah daerah dari serbuan kelompok bersenjata Fretilin. Pilihan  mereka hanya menembak atau ditembak, membunuh atau dibunuh. Akhirnya terjadilah perang campuh, yang apabila diukur dengan aturan-aturan masa kini, mereka bisa disalahkan. Beberapa prajurit yang dituduh melanggar HAM akhirnya dibebaskan, karena mereka menjalankan tugas negara dan sudah melaksanakan SOP sesuai ketentuan. Yang tidak diketahui adalah bagaimana kondisi dilapangan saat itu oleh mereka yang memeriksa beberapa waktu kemudian. Bau mesiu, desingan peluru, rebahnya rekan bersimbah darah, kekejaman pertempuran, semua fakta lapangan hanya si serdadu itu yang merasakan, karena mereka yang harus menentukan nasib daerah yang dipertahankan itu demi sesuatu yang lebih besar. Nah, dari kasus pemeriksaan kemelut Bank Century yang kini digarap Pansus Hak Angket, ada kemiripan, dimana kebijakan pemerintah tentang dana talangan Bank Century pada masa lalu, kini dipertanyakan dan diukur, salah atau benar. Dalam pemeriksaan terhadap Pak Boediono, mantan Gubernur BI dan kini menjabat sebagai Wakil Presiden pada Selasa (22/12) nampak sebuah diskusi terhadap kebijakan tersebut. “Saya sangat yakin, apa yang kita ambil sebagai keputusan itu adalah yang terbaik. Apabila ada masalah hukum, penyelewengan, harus kita tuntaskan.Tapi bailout dalam situasi saat itu adalah keputusan terbaik,” ujar Boediono. Pak Boediono menilai penyelamatan Bank Century merupakan pilihan terbaik demi menghindari krisis lebih parah seperti tahun 1997–1998. Menurutnya, situasi perekonomian yang terjadi pada September 2008 akibat krisis global dengan puncak ditutupnya bank investasi Amerika Serikat, Lehman Brothers, mirip kondisi 1997–1998. Pada sesi tanya jawab, para anggota Pansus terlihat sangat berhati-hati dalam mengajukan pertanyaan, tidak nampak nada tinggi seperti biasanya. Hanya dua anggota Pansus yang   terus mengejar pernyataan Boediono. Mereka adalah Andi Rahmat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Maruarar Sirait dari Fraksi PDI Perjuangan, keduanya memang politisi muda yang bersemangat. Secara detail Mantan Gubernur BI Boediono menjelaskan, ada empat indikator yang kemudian disimpulkan, saat itu memang kondisi sedang krisis. Empat indikator dimaksud yakni aliran dana keluar (capital outflow) yang sangat besar,kurs rupiah melemah tajam terhadap dolar Amerika Serikat (AS), cadangan devisa merosot, dan adanya rumor bahwa bank-bank tertentu mengalami kesulitan likuiditas. “Capital outflow di Indonesia lebih parah dibandingkan negara berkembang lain karena Indonesia tidak memberlakukan blanket guarantee (penjaminan penuh bagi dana nasabah),”ujarnya. Ditegaskannya “Capital outflow besar-besaran yang terjadi saat itu mengakibatkan likuiditas di dalam negeri menjadi kering. Dalam kondisi saat itu yang paling menderita adalah bank-bank menengah dan kecil.” Dengan kondisi seperti itu pemerintah tidak mau mengambil langkah seperti 1997-1998 yang menutup 16 bank kecil. Menurut Boediono, penanganan krisis pada 1997- 1998 cukup menjadi pengalaman karena telah mengakibatkan dampak berantai yang meruntuhkan sektor keuangan dan perbankan. Dari penutupan 16 bank yang pangsa pasarnya hanya 2,3 % dari total aset perbankan ternyata menyebabkan terjadinya krisis perbankan. Akibatnya pemerintah dan BI harus mengeluarkan biaya rekapitalisasi dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang totalnya mencapai Rp 600 triliun, jelas Boediono. Saat ditanyakan oleh anggota pansus Gerindra Ahmad Muzani  tentang laporan BPK yang menyatakan dugaan  rekayasa dalam perubahan CAR, Pak Boed menyatakan tidak setuju dengan laporan BPK tersebut dan mengatakan "punya pandangan lain." Saat dikejar bahwa audit BPK adalah final, dijawabnya bahwa final itu kebenaran mutlak dan hal itu tidak ada pada institusi mana pun di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada pengujian terhadap hasil-hasil tersebut. ”Secara formal, bisa dikatakan itu final. Tetapi, kalau kita mencari kebenaran, tentu kita bandingkan dengan pandangan lain, data lain. Tetapi, perubahan BI landasannya untuk menyelamatkan situasi pada saat itu. Saya kira ini harus kita konfrontasikan nantinya,” ujarnya. Nah, dari beberapa fakta diskusi tersebut, apa yang terlihat? Sebagaimana yang penulis perkirakan, pemeriksaan terhadap Pak Boediono akan menjadi sebuah diskusi tentang kebijakan pemerintah dimasa lalu, yang diambil oleh para petinggi negara ini khususnya kebijakan masalah perbankan dan dampak terhadap negara dan masyarakat luas. Sejak awal beliau mendampingi Pak SBY saat deklarasi di Bandung, dalam sambutannya, penulis menilai  uraiannya  demikian matang dan berbobot. Bahkan dapat dikatakan mampu menenggelamkan pidato sang Maestro yang mengambilnya sebagai cawapres. Kalau tidak hebat dan berbobot sulit bagi Pak SBY mengambil beliau sebagai pendamping, karena beliau nonpartisan yang harus bermain dimedan politik yang sangat berat itu. Kini, terlepas kemana alur politik ini akan dibawa, ternyata memang sulit menjepit Sang Profesor kearah jawaban yang "keliru." Memang elit bisa saja mengatakan kebijakan itu salah, tetapi apabila masalah Bank Century ini terus dipermasalahkan diranah politik, kita menjadi bertanya-tanya, kapan akan selesainya. Bukankah kita mempunyai KPK sebagai lembaga super  yang memang ditugasi mengusut korupsi? Kita semua faham bahwa ada kerugian keuangan negara yang cukup besar disitu, ada indikasi korupsi disitu. Kenapa tidak sepenuhnya masalah ini diserahkan kepada KPK yang jelas sudah didukung rakyat banyak? Apakah kita ragu dengan KPK? Terus siapa lagi yang akan kita percayai? Nah, kini kita sebaiknya berfikir jernih, banyak investor yang bertanya-tanya, kenapa tidak selesai-selesai kasus yang Rp6,7 triliun ini, bukan korupsinya yang diusut, tetapi ada urusan lain nampaknya. Kabarnya pemilik "hot money" sudah mulai gelisah, dan bukan tidak mungkin mereka mendadak akan menarik uangnya, yang bisa merugikan kita semua. Mari kita berbesar hati, percepat kerja Pansus, mainkan "troef" kita, KPK itu. Kalau mau diadu legislatif dengan eksekutif, agak berat menuntaskannya ini terus di legislatif, cara pandang dan kebijakan keduanya ada bedanya. Walaupun tujuannya sama demi negara. Biarlah penyelidik profesional di KPK yang mengerjakannya. Sudah terbukti sedikit, sulit untuk mencari kebenaran yang hakiki saat ini, terlebih disitu, mudah disanggah. PRAYITNO RAMELAN, Yang ikut capek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun