Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Politik

Perang Psikologis Dan Pengadilan Rakyat

7 November 2009   17:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:25 1332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Apa yang  tidak disukai oleh manusia, kritik, coba kritik siapapun, maka menurut teori seribu otot dia yang dikritik  akan mengejang. Apa yang disukai manusia, pujian, kalau dipuji maka seribu ototnya akan mengedur.  Itulah ilmu psikologi individu yang pernah penulis dapat saat mengikuti pendidikan intelijen pengamanan. Kenapa pelajaran itu perlu? Ilmu tersebut untuk mengukur seberapa besar seseorang akan mengejang ototnya, dalam arti dia akan berusaha melindungi dirinya dari sebuah tekanan pikiran yang sangat tidak disukainya.  Nah, kini di media elektronik kita melihat betapa banyak mereka yang terlibat dalam kasus Anggoro-Anggodo , berusaha  melindungi dirinya. Merasa tertekan dengan kondisi dikritik atau lebih berat lagi disalahkan. Ada yang tegar, ada yang lemah, ada yang goyah dan ada yang panic, tetapi ada juga yang cuek saja.

 

Kita semua sudah melihat akibat penayangan hasil sadapan KPK terhadap Anggodo di Mahkamah Konstitusi dan ditayangkan luas oleh media massa. Keadaan yang tadinya berada diwilayah abu-abu mendadak menjadi terang benderang. Masyarakat menjadi terkejut dengan semua celoteh Anggodo, yang dengan entengnya kemudian melibatkan  atau menyebut banyak nama seperti Kabareskrim Komjen Susno Duadji, Wakil ketua Kejagung Abdul Hakim Ritonga, beberapa penyidik Polri dan bahkan ada yang demikian enteng berani menyebut-nyebut nama presiden.

 

Kubu  kemudian lebih mengkristal terpecah dua, Polri disatu sisi, dan Bibit serta Chandra Hamzah yang didukung banyak pihak disisi lain. Sejak itulah maka dimulai semacam perang psikologi yang ditayangkan secara gencar oleh media elektronik. Sebenarnya tujuan  perang psikologi adalah berusaha untuk melemahkan  moral spirit anggota suatu masyarakat,dan mempengaruhi taraf keutuhannya.Dalam kondisi terkini, dalam kemelut Polri-KPK, peran psikologi cukup berpengaruh dalam melakukan rekayasa untuk mengalahkan saingannya.  Perang psikologi adalah seni untuk menggunakan semua sarana dan prosedur propaganda atau non propaganda yang dilakukan oleh pihak tertentu guna mempengaruhi moral pihak yang lain.

 

Salah satu teknik perang psikologi adalah rekayasa konflik dan merangkai konspirasi dengan cara memanipulasi peristiwa-peristiwa ringan kemudian membesar-besarkannya agar terjadi konflik kepentingan untuk mempengaruhi psikologi dan mental pesaing ataupun musuh. Masing-masing pihak berusaha memberikan data terbaiknya, baik benar ataupun juga belum 100% benar, berusaha meyakinkan. Siapa yang diyakinkan? Ya publik itu. Bahkan Komjen Susno yang mengundurkan diri nampak merintih saat rapat kerja dengan  komisi-3 DPR RI.  Sementara Kapolri menyampaikan pembenaran dugaan keterlibatan Chandra Hamzah, dan kemudian menyerempet orang yang diduga mantan menteri. Kapolri meyakini bahwa semua itu akan menjadi lebih jelas di pengadilan nanti.

 

Dilain sisi pengacara Bibit-Chandra juga mengeluarkan pernyataan bantahan, dan bahkan mulai menemukan kekuatan  bahwa saksi Ary Mulyadi mengakui tidak pernah memberikan uang langsung ke Chandra Hamzah. Mereka mengadakan tekanan ke Kapolri. Bahkan kini ada  TPF yang ditunjuk Presiden agar mencari fakta, dalam penyelidikannya mulai melakukan tekanan, agar fakta lebih terbuka.Yang lebih parah, Ketua KPK non aktif Antasari Azhar menyatakan ke-TPF bahwa testimoninya bukan atas inisiatifnya. Itulah gambaran tindakan semacam perang psikologis dalam kemelut dengan aktor utama Anggodo.

 

Bagaimana kira-kira jalan keluarnya? Nampaknya presiden sudah memberi isyarat. Minggu depan akan dilakukan penggantian tiga Kepala Staf, AD, AL dan AU. Lantas apa hubungannya? Karena pejabat-pejabat tadi biasanya merupakan satu rangkaian dengan Kapolri. Bisa diperkirakan dalam waktu yang tidak lama lagi juga akan dilakukan penggantian dua pimpinan teras baik di Polri maupun Kejaksaan Agung. Apabila ini dilakukan, diperkirakan tekanan akan turun, karena sumbat sudah dilepas, itulah sementara ini permintaan banyak fihak bukan?. Jelas penggantian tidak semata-mata karena masalah kasus, tetapi diperlukan untuk mengembalikan sebuah kepercayaan dan kredibilitas pada kedua institusi penting itu, jalannya  hanya satu, dilakukan penyegaran.

 

Nampaknya kini peran masyarakat sebagai pengontrol langsung jalannya pemerintahan menjadi lebih efektif. Abdi masyarakat banyak tertekan oleh tanggapan publik.  Yang terjadi kini adalah semacam “pengadilan rakyat.” Tepuk tangan yang membahana saat rapat kerja Polri-Komisi-3 secara psikologis juga mengakibatkan turunnya kredibilitas DPR, yang berdampak terhadap turunnya kepercayaan masayarakat terhadap wakil-wakilnya. Ini yang nampaknya kurang disadari para wakil rakyat tersebut. Kini, rakyat  lebih giat, facebookers menembus satu juta, pita hitam mulai meluas, upaya penggalangan massa mulai nampak lebih serius. Kalau ini dibiarkan, yang paling berbahaya adalah hilangnya kepercayaan  masyarakat terhadap pemerintahnya. Lantas, apa yang masih dimiliki pemerintah?  Kepercayaan rakyat sifatnya mutlak, jangan sampai hilang, ini bisa membahayakan. .

 

Tidak sulit kok mencari pemimpin itu , stok para pejabat yang faham membaca situasi banyak, mereka yang akan dipilih oleh presiden, yang lebih tenang, teduh, tidak banyak berkomentar,berhati bersih dan pekerja keras. Menjadi pejabat pada masa transparansi kini tidak usahlah membuat perumpamaan yang bisa menimbulkan polemik. Makin banyak pejabat berkomentar makin bingung rakyatnya, menjadi pejabat harus tenang, jangan panik,  harus selalu nampak tegar, “performance” harus tetap terjaga. Pejabat harus siap dengan segala resiko jabatan dan penugasan. Jangan takut kepada dunia dan penjara, tetapi takutlah kepada akherat. Nah, sebagai penutup penulis selalu mengingat pesan almarhum ayahanda, “Hati-hati dengan mulutmu, mulutmu adalah harimau kamu, kalau engkau tidak hati-hati dengan mulutmu, maka  harimau itu akan memakan kamu.”

PRAYITNO RAMELAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun