Analisis
Walaupun aksi penyanderaan belum ditetapkan sebagai aksi teror dari jaringan ISIS yang kini bernama Islamic State (Negara Islam), tetapi nampaknya warga Australia kini mengalami paranoid. Warga melihat, pengamanan gedung parlemen di Australia  telah ditingkatkan.
Pemerintah Australia semakin mengkhawatirkan dengan keterlibatan warganya dalam organisasi Jihadis ISIS (IS), dimana Mohammad Ali Baryalei (33) adalah tokoh IS yang kini berada di kawasan Timur Tengah. Ali Baryalei yang keturunan Afghanistan dan kemudian beremigrasi ke Australia, kemudian  merupakan tokoh 'jegger' di King Street dan kemudian pada April 2013, Baryalei melakukan perjalanan ke Timur Tengah, ikut berperang bersama kelompok Jabhat al-Nusra (Al-Qaeda), kemudian pindah dan bergabung ke IS.
Saat ini pemerintah Australia memperkirakan ada 60 warganya yang bergabung dengan kelompok teroris di Timur Tengah. PM Australia Tony Abbott mengumumkan bahwa pemerintah Australia telah membatalkan 60 paspor warganya yang akan bergabung dengan IS di Timur Tengah. Tercatat sudah ada sekitar 20 warga Australia yang kembali dari Timur Tengah baik yang pernah bergabung dengan Jabhat al-Nusra ataupun dengan Islamic State. Dan PM Abbott menyebutkan ada sekitar 100 simpatisan IS yang memberikan dana kepada IS.
Warga Australia diketahui ada yang meninggal di Timur Tengah, setelah beredarnya foto kematian keduanya di Suriah, yaitu Tyler Casey, 22 tahun, dan istrinya, Amira Karroum, 22 tahun. Mereka terbunuh di Aleppo, Suriah, awal Januari lalu. Keduanya kemudian terdeteksi terlibat dalam jaringan ISIS yang direkrut Baryalei.
Keterlibatan warga Australia dalam gerakan Islamic State, lebih ditegaskan dengan aksi dari Khaled Sharrouf yang mengunggah foto-foto pemenggalan kepala, pembunuhan yang dilakukan oleh IS, dan bahkan menayangkan foto anaknya yang masih kecil sedang memegang kepala yang sudah dipenggal.
Dari beberapa kasus serta perkembangan jaringan terorisme Islamic State di seantero dunia, nampaknya kini Australia yang terletak demikian jauh dari kawasan Timur Tengah mulai merasakan dampaknya. Seperti fatwa yang disampaikan oleh Amir IS, Abu Bakr al-Baghdadi, agar jaringan serta simpatisannya melakukan serangan teror terhadap Amerika serta sekutunya. Dalam penyanderaan di cafe ini, walaupun ada bendera hitam bertuliskan huruf Arab, menurut analis intelijen Australia bukanlah bendera dari ISIS (IS).
Australia memang mempunyai pengalaman berperang melawan terorisme bersama-sama dengan AS baik di Afghanistan, Irak, Syria dan negara lainnya di Timur Tengah, tetapi Australia jelas harus melakukan introspeksi terhadap sistem keamanan nasionalnya, dengan perkembangan ancaman teroris IS. Karena yang dihadapi Australia bukan musuh dari luar dengan senjata militer, tetapi musuh utamanya yang akan mengganggu keamanan serta ketenangan hidup warganya adalah serangan teror yang dilakukan oleh warganya sendiri.
Yang kini terjadi dan dikembangkan oleh kelompok jihadis dibawah Abu Bakr al-Baghdadi adalah "Homegrown Terrorism," yaitu terorisme yang dibentuk di internal masing-masing negara. Siapkah Australia menghadapi ini? Teror semacam ini juga pernah dan diperkirakan akan terus  terjadi di negara  AS serta sekutu-sekutunya yang lain.  Semakin banyak warga sebuah negara Barat kembali dari medan pertempuran di Irak dan Syria, maka akan semakin banyak pelatih teror yang akan mengembangkan teori teror di negara tersebut.
Bagaimana dengan Indonesia? Hingga kini belum muncul gerakan signifikan berupa ancaman keamanan teror yang langsung. Memang diketahui beberapa orang yang pernah bergabung dengan IS maupun Jabhat al-Nusra telah kembali ke tanah air, walaupun tenang diperkirakan mereka sedang menyusun kekuatan, melatih jaringannya.
Beberapa analis intelijen serta kontra teror memperkirakan dalam waktu satu hingga dua tahun kedepan akan muncul gerakan tersebut dan menjadi ancaman bahaya. Tetapi kita percaya dengan pengalaman yang cukup lama, baik Densus-88 maupun aparat intelijen telah semakin baik dalam melakukan mapping kelompok teror tersebut.