KEHENDAK TUHAN DI ATAS SEGALANYA
Waktu itu umurku 30 tahun, masih tergolong muda untuk seorang guru. Pikiran idealis yang ingin mendidik siswa menjadi siswa yang cerdas, terampil, dan sekaligus berbudi sangat besar dan menyala-nyala. Namun karena pengalaman yang masih minim, maka lahirlah cerita ini. Di sekolah kami ada seorang siswa sebut saja Budi, yang sangat dikenal oleh guru maupun siswa lain. Bukan karena dia pandai atau aktif dalam kegiatan sekolah tetapi terkenal karena kenakalannya. Dia bertingkahlaku seperti preman di sekolah. Kepada teman-temannya dia sering minta “jatah”, kalau tidak diberi maka akibatnya bisa fatal. Kepada Bapak/Ibu Guru dia bersikap sangat tidak sopan dan cenderung melecehkan.
Sebagai guru yang diberi tugas tambahan menjadi wakasek kesiswaan aku merasa orang yang paling bertanggung jawab atas kenakalan anak tersebut. Berbagai upaya telah aku lakukan, mulai menasehati dengan cara halus sampai cara-cara yang “kurang edukatif”. Dengan nada jengkel dan sinis saya sering mengatakan kepada dia, “Bud, 5-10 tahun lagi datang ke saya. Saya mau tahu jadi apa kamu?”. Orang tua sudah kita panggil berkali-kali, namun hasilnya tetap saja masih jauh dari harapan.
Puncaknya adalah ketika dia terlibat dalam perkelahian tepatnya penganiayaan yang berakibat fatal bagi si korban. Sekolah mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan anak tersebut. Sekalipun sekolah sudah memberikan sanksi terberat, namun kata perperpisahan saya dengannya tetap saja kata-kata jengkel dan sinis yang sering saya ucapkan. “Bud, 5-10 tahun lagi datang ke saya. Saya mau tahu jadi apa kamu?”. Aku yakin diapun masih ingat itu.
Sekarang kejadian itu sudah berlalu selama 13 tahun. Usiaku sekarang sudah 43 tahun. Sekitar 3 bulan yang lalu aku berniat mencucikan mobil di tempat cuci mobil langgananku. Saat tiba di tempat cucian mobil aku langsung mengambil tempat duduk di kursi yang masih kosong. Sesaat kemudian ada seseorang yang masih muda berpenampilan perlente menghampiri saya. Lalu dia bertanya, “ Pak Prayit ya?”. Sayapun menjawab “Ya”. Dengan senyum yang sopan diapun mengenalkan diri: “Saya Budi Pak, murid Pak Prayit waktu di SMA dulu”. Sejenak saya berpikir Budi siapa ya? Sepertinya dia tahu apa yang saya pikirkan, lalu diapun melanjutkan perkataannya, “Budi yang nakal dulu itu lho...”. sayapun langsung ingat. Sebenarnya aku tidak lupa hanya heran, dia sangat sopan, halus, jauh berbeda dengan waktu sekolah. Ngobrolpun berjalan enak, asik. Tidak terasa mobil dia sudah selesai dicuci, dia lalu pamit dulu. Betapa tercengangnya ketika saya lihat kalau mobil yang dia bawa adalah mobil mewah yang harganya 5-6 kali mobilku. Sesaat kemudian giliran mobilku yang selesai dicuci. Lalu aku menuju ke kasir untuk membayar ongkos cuci mobil dan minuman, apa kata kasir? “Sudah dibayar sama Mas yang tadi, malah masih ada sisa”. Aduh.... aku sangat malu. Anak yang dulu sudah saya beri “stempel permanen” sebagai anak yang tidak akan berhasil dalam hidupnya, ternyata telah membalikkan segalanya.
Dari pengalamanku itu ada hal yang patut kita jadikan pelajaran, “Sebagai seorang guru, berusaha semaksimal mungkin untuk mendidik siswa menjadi anak yang cerdas, terampil dan berbudi adalah kewajiban. Berpikir idealis, teoritis adalah keharusan. Tetapi satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah ada satu faktor yang sangat menentukan diatas segalanya yaitu kehendak Tuhan”.
“Tulisan ini adalah tugas Diklat Online PPPPTK Matematika”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H