Belum lama aliansi baru antara Australia, Inggris dan AS dikenal sebagai AUKUS (Australia, United Kingdom, United States) telah menimbulkan banyak pembicaraan. Â Ternyata AUKUS dibentuk untuk menghadapi dominasi China di Asia baik dari segi ekonomi maupun militer yang semakin meningkat, terutama klaim unilateral China dengan Kebijakan 9-Garis Terputus di Laut China Selatan yang mengusik kebebasan bernavigasi, penerbangan dan pelayaran universal. Â Klaim China tersebut memasuki wilayah kedaulatan sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam, Filipina, Malaysia dan wilayah ZEE Indonesia. Untuk menghadapi ancaman tersebut, mantan Presiden AS Donald Trump menerapkan perang dagang kepada China dengan menerapkan pajak bea masuk tinggi untuk sekitar 1800 barang produk buatan China, sedangkan dalam sektor pertahanan, AS menggelar kekuatan armada laut dan udaranya, didukung sejumlah negara sekutunya seperti Inggris, Jerman, dan Perancis. Â Serentak ketegangan bersenjata di kawasan tersebut meningkat pesat, sehingga ada yang berpendapat PD-III akan terjadi di Laut China Selatan.
     Sebenarnya, sebelum AUKUS terbentuk, telah ada sejumlah aliansi militer dalam bentuk pakta pertahanan militer. seperti ANZUS Treaty antara Australia, Selandia Baru dan AS, yang ditandatangani di San Francisco tahun 1951 untuk menjaga perdamaian di Kawasan Pasifik dan menghambat penyebaran komunisme di Kawasan Australia dan Oceania, namun  bubar tahun 1986 saat Selandia Baru mundur.  Kemudian terbentuk SEATO (South East Asia Treaty Organization) tahun 1954 di Manila yakni pakta militer Asia Tenggara yang disepakati di Manila untuk mencegah penyebaran paham komunisme di Asia Tenggara antara AS, Australia, Selandia-Baru, Perancis, Inggris, Thailand, Filipina dan Pakistan.  SEATO juga bubar karena AS kalah dalam Perang Vietnam tahun 1975.  Lalu muncul FPDA (Five Power Defence Arrangements) tahun 1971 yakni kesepakatan pertahanan kolektif antara 5 negara, yakni Australia, Inggris, Selandia Baru, Singapura dan Malaysia, yang ditujukan untuk melindungi kemungkinan serangan dari luar terhadap Singapura dan Malaysia. FPDA hingga kini masih berdiri dan berlatih bersama secara rutin.
     Dari sekian banyak pakta pertahanan atau aliansi militer, Indonesia yang menganut politik bebas aktif tetap pada pendiriannya untuk tidak bergabung pada  satu aliansi militer ataupun pakta pertahanan yang dibentuk dengan pelibatan negara asing. Indonesia terus bebas menjalin hubungan bilateral dan regional ataupun multilateral dengan negara manapun, juga tetap aktif melakukan diplomasi sebagai sarana peningkatan hubungan luar negeri dengan negara manapun, termasuk latihan bersama, bilat, trilat ataupun multilateral, kecuali dengan negara yang jelas tidak memiliki hubungan diplomatik seperti Israel dan Taiwan.
     Sejumlah pengamat internasional, sebenarnya sempat berpikir bahwa kebijakan politik bebas-aktif RI itu baik saat masa damai (peace time). Namun pada saat masa  perang (war time) maka kebijakan Indonesia akan seperti berada di antara negara-negara besar yang sedang bertikai, dalam arti akan dianggap sebagai musuh, mengingat tidak pro pada kelompok A dan pasti dikira berpihak pada kelompok B, padahal pada kelompok B pun RI tidak berpihak, sehingga RI akan dituduh berpihak pada kelompok A.  Bersikap netral pun tidak, seperti beberapa negara saat PD-II seperti halnya Thailand. Karena posisi negara RI sangat strategis pada persimpangan dua benua dan dua samudera besar serta berlaut dalam, kemungkinan besar akan menjadi persinggahan dua kelompok yang bertikai atau dilintasi.  Seperti kita ketahui, Malaysia telah menjadi markas besar FPDA di Butterworth, Penang, sedangkan Singapura telah menjadi sekutu AS dengan menampung the US Maintenance Depot di Changi Naval Base yang dikomandani seorang bintang-2 AL AS. Fasilitas tersebut dibangun sebagai pengganti fasilitas AL AS di Subic Naval Base dan AU AS di Clark Air Force Base, Filipina, yang porak-poranda karena gunung meletus.  Selain itu, terdapat fasilitas Korps Marinir AS di Darwin, Australia Utara.  Brunei Darussalam yang tidak bergabung pada FPDA memiliki dua brigade tentara Gurkha Inggris yang diperbantukan kepada AB Brunei (ABDB) yang sewaktu-waktu dapat diperbantukan jika diperlukan Inggris. Juga ada negara di ASEAN yang memberikan fasilitas pangkalannya bagi negara lain.  Kadang kita merasa miris dengan realita politik di dunia.  Sebagai contoh, Turki menjadi sekutu Prusia dalam PD-I dan berpihak kepada Jerman pada PD-II.  Namun setelah perang dunia tuntas, Turki tetap saja berdiri gagah dan malah menjadi negara dengan kemampuan Eropa padahal negara tersebut separuh Asia dan separuh lainnya Eropa.  Demikian juga Jerman, Itali dan Jepang yang merupakan musuh bebuyutan AS dan NATO pada PD-II, saat ini merupakan sahabat dan sekutu besar AS dalam menghadapi China, padahal China dihancurkan Jepang pada serbuan mereka ke Asia Tenggara.
     Kita harus bangga dengan keteguhan sikap petinggi sipil dan militer kita dalam memegang prinsip politik bebas aktif.  Sebagai contoh saat Thailand dan Kamboja bertikai isu air di perbatasan kedua negara, RI diminta Kamboja menjadi penengah dalam konflik tersebut.  Thailand semula menolak karena Thailand berpendapat bahwa negaranya memiliki bilateral agreement dengan Kamboja. Bilateral berarti dua negara.  Di samping itu, Thailand berpikir bahwa RI telah selalu membantu Kamboja dalam banyak hal, sehingga dipastikan akan berpihak pada Kamboja. Namun RI telah bermain cantik sehingga kedua negara tetap dapat menyelesaikannya dengan baik tanpa harus konflik bersenjata.  Juga bagaimana Menlu RI waktu itu berkeliling ke semua negara ASEAN untuk menjelaskan perlunya penandatangan Joint Communique hasil pertemuan para Menlu ASEAN (AMM), mengingat Kamboja sebagai tuan rumah AMM tidak mau membubuhkan tandatangannya dengan alasan pertemuan Menlu ASEAN masih mencantumkan isu Laut China Selatan yang disarankan Kamboja untuk tidak mencantumkannya sejak awal.  Demikian juga saat timbul isu Pulau Ligitan dan Simpadan yang kemudian dibawa ke ICJ. Sesuai keputusan ICJ, kedua pulau tersebut dinyatakan milik Malaysia.  Hal tersebut dihadapi RI dengan diplomasi yang sejuk.  Juga bagaimana Menlu RI kita ikut meredakan isu Rohingya di Myanmar. Sikap RI bukan lembek apalagi takut, namun justru menunjukan kepada dunia bahwa RI merupakan negara yang senantiasa berasaskan hukum yang berkeadilan untuk kemanusiaan.  Terbaru adalah saat bagaimana RI menyelamatkan WNI dibawa pulang ke tanah air dari Afghanistan.
Keunggulan RI dalam berperan sebagai penengah dan pembuat suasana damai (peacemaker) dalam beragam konflik di kawasan tanpa harus dengan kekerasan bersenjata ataupun menimbulkan konflik bersenjata antara negara-negara yang bertikai, selain juga saat kita mengusir Belanda, sekutu dan Jepang dari seluruh wilayah RI dan saat kita menghancurkan paham komunisme dari dalam negeri sendiri dengan tanpa mengundang negara-negara adi daya sebagai ‘bodyguard’, maka RI patut diacungi jempol.   Semua itu pertanda bahwa tanpa beraliansi pada pakta pertahanan dan aliansi militer apapun, RI tetap tegar dan berdiri kokoh sebagai negara besar di ASEAN dengan kekuatan militer yang disegani dan diakui kuat baik di kawasan maupun di dunia.  Tidak ada yang salah dengan beraliansi. Namun tanpa aliansi dan kita tetap berhubungan baik dalam berpolitik dan berdiplomasi, maka RI akan semakin berjaya dalam segala sektor ipoleksosbudhanmilkamneg.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H