Suatu hari aku berjumpa dengan seorang teman, kami bercerita banyak tentang pekerjaan kami masing-masing. Namanya cerita tentang pekerjaan sudah pasti juga bercerita tentang penghasilan. Dan ketika kami saling tukar informasi tentang gaji dia bilang, "kalo gaji kami kecilnya."
"Tapi uang masuknya yang banyak." katanya pada suatu hari.
Uang masuk di sini bisa diartikan sebagai uang yang didapat dengan cara tidak wajar mulai dari upaya kongkalikong dengan sesama pekerja atau membuat bon belanjaan fiktif, bon minyak fiktif, praktik mark-up dan tindakan-tindakan kurang baik lainnya yang bisa merugikan orang lain maupun perusahaan bahkan Negara melalui praktik korupsi.
Dan biasanya para pelaku baik yang langsung maupun pelaku tak langsung mereka saling menjaga dan saling mengerti untuk sama-sama menjaga kerahasiaannya agar tidak diketahui oleh orang lain di sekitarnya.
Yang lucunya uang-uang hasil dari tindakan curang ini bagi sebagian orang dianggap uang haram, tapi kok diterima juga?
Kawanku berkisah menurutnya uang-uang hasil dari kegiatan curang ini biasanya dia tidak berikan ke rumah karena dia tidak mau kalau anak isterinya "dinafkahi" dengan menggunakan uang yang didapat dari hasil yang curang.
Jadi untuk itu dia selalu menyisihkan uang tersebut di selipan-selipan dompetnya.
Dan uang itu digunakannya untuk membeli pakaian atau aksesoris mobilnya juga untuk pergi ke salon perawatan kulit, juga kalau ada pengemis dia selalu memberikannya dengan menggunakan "uang haram" itu tadi.
Dalam hatiku, "ternyata masih ada juga nilai nilai kebaikan yang melekat di hatinya."
Tapi kenapa hatinya tidak bisa membedakan antara tindakan yang salah dan yang benar?
Antara yang haram dan yang halal?