Mohon tunggu...
ono Prayetno
ono Prayetno Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai semua Ciptaan Tuhan tanpa membeda bedakan

Bekerja sebagai Pramuwisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi Kehidupan Dari Seorang Tukang Becak di Medan

2 Januari 2019   09:47 Diperbarui: 2 Januari 2019   10:03 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Wahh, ini gila betul betul gila..!" seruku seperti gak percaya.
"yaa gitulah nak, kami setiap hari harus masak 3 1/2 kilo beras kalo ada sisa dari hasil narik becak ini ya disimpan tapi seringan pas pasan aja." katanya lagi.

Menurut bapak ini dulu pertama berumah tangga kedua anaknya itu masih mau bekerja.

"Tapi sejak bergaul dengan kawan kawannya dilingkungan kami mereka jadi males."  dia menerangkan.

"Kenapa kok jadi gitu pak?" tanyaku..
"Ya itu suka make narkoba."
"Dua duanya pak?"
"Ya iya.. Kadang aku kasihan melihat menantu perempuanku itu yang cuma bekerja sebagai tukang cuci dirumah - rumah orang, pulang sampe kerumah sudah capek,  sering dibentak bentak pula sama anakku itu." aku terus mendengarkan dengan penuh perhatian dan becak yang membawa kami terus melaju ditengah keramaian kota Medan dengan suaranya yang meraung raung menambah kebisingan.
 
Dan becak berhenti mengikuti barisan kendaraan yang lain karena lampu merah yg menyala persis disekitar Lapangan Merdeka Medan yang sekarang berubah menjadi Merdeka Walk.

Mulut bapak penarik becak masih terus mengeluarkan suara dari kerupuk yang dikunyahnya mungkin kerupuk jaring itu sebagai pengganti makan siangnya.
 
"Seharusnya seusia bapak ini sudah gak perlu kerja keras lagi ya pak?"
"Seharusnya,, seumurku yang 64 tahun ini ya begitu tapi kalo aku gak narik becak kami mau makan apa Nak?!"
"Wong ini tinggal satu satunya pencarian dalam keluarga kalau aku sakit yo uwes" kulihat raut muka yang memelas ikhlas tapi mampu ditutupinya dengan semangat kerja yang tulus demi kelangsungan hidup keluarganya.
"Setiap pagi selepas sholat subuh aku sudah keluar nanti pukul enam sore sebelum maghrib biasanya sudah sampai dirumah lagi" katanya sambil matanya tak henti memperhatikan kanan kiri jalan.

Cuma dari tadi kulihat bapak ini tidak pernah mengenakan Helmnya,  yang tercantol didepan tempat duduk kami. Padahal beberapa orang Polisi disetiap persimpangan jalan sudah kami lewati.
"Mungkin pak Polisi pun melihat kondisi becaknya yang sudah tua itu gak sampai hati juga mau menangkapnya" pikirku sambil berandai-andai.
 
Dan aku masih terus memikirkan bagaimana bapak tua itu menyorong becaknya agar bisa sampai kerumah atau ke bengkel agar esok hari masih ada harapan untuknya mengais rejeki buat keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun