Berawal dari tayangan soal isu NII di Metro TV. Kemudian secara berkelanjutan dan kelihatan sangat 'terarah', dengan besar besaran TV-One juga menayangkan dan memberitakan tentang 'orang hilang', - kejadian teror dan bom - dan juga kisah 'pencucian otak', yang kemudian sumber dan pelakunya disinyalir adalah mereka yang bergerak dalam wadah organisasi NII.
Pemberitaan demi pemberitaan kemudian merebak dan semakin gencar, bukan saja oleh media elektronik, tetapi juga dari kalangan pers cetak dan pers maya. Perburuan berita kepada tokoh yang kesehariannya tekun melakukan agricultural research ini, boleh dibilang menjadi sarapan pagi dan makan siang bahkan makan malamnya news hunters dari berbagai pers yang telah dibekali segudang motive dan kepentingan 'pesan' editor dan pemilik modal.
Lihatlah, sebuah media elektronik - sebut saja milik “A”, menayangkan satu pemberitaan, lalu diikuti media lain milik “B” dengan penayangan yang mirip mirip walau tak sama. Lalu pemberitaan itu - seiring berputarnya waktu, dibalik dan digiring kepada terbentuknya suatu koalisi conspirative , dimana object yang diberitakan, sepengetahuan penulis, sama sekali tidak ada hubung - kait dengan apa yang dituduh-sangkakan dalam pemberitaan itu. Tapi memang koalisi conspirative - pada step ini, hanya menghendaki terbentuknya opini publik.
Mereka memang sedang berlomba untuk sampai pada sasaran bidik, selain guna mengejar target tayang untuk merantai pesan konspirativenya agar tak terputus.
Berbagai upaya, usaha dan cara mereka lakukan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mulai dengan berbagai alasan yang dilontarkan agar bisa mewawancara target, dengan senyum merayu, pun juga ada yang dengan sopan santun dan penuh etika mewawancarai target dan sub-targetnya.
Ada pula yang dengan sedikit begging kalau liputan itu semata mata untuk tujuan pendidikan, mereka - finally , berhasil, walau at the end, nyatanya, hasil liputan itu tidak dipublish. Atau sekalipun di publish, hanya berupa cuplikan- cuplikan untuk memenuhi sajian berita yang diyakini sebagai based on the plotting scheme.
Insan pers dan atau wartawan, memang dapat dikatakan sebagai kekuatan keempat yang dapat menentukan ke arah mana publik harus memusatkan perhatiannya. Kemana publik harus digiring opininya. Termasuk juga saat mana wartawan berusaha menggiring opini pemerintah -termasuk penyelenggara dan penegak hukumnya, untuk berfikir tentang adanya keterkaitan berbagai aksi kekerasan dan teror akhir akhir ini yang dilakukan gembong teroris yang tindak tanduknya jelas biadab dengan sebuah organisasi yang sering dikemukakan dengan sebutan NII.
Maka ketika adanya upaya beberapa pihak yang mengait-ngaitkan kegiatan terorisme dan radikalisme, termasuk berbagai praktik – praktik tak terpuji seperti penipuan, dengan institusi pendidikan Al-Zaytun dan tokoh sentralnya, Syaykh Panji Gumilang, ini jelas sebagai bentuk skema bersengaja, plotting scheme, untuk mendapatkan sosok kambing hitam.
Penulis mencatat ucapan seorang intelektual yang tak mau disebutkan namanya, yang dalam sebuah kesempatan mengatakan : “ Syaykh, Anda ini tokoh nasional yang tidak saja milik Al- Zaytun, tapi fakta yang berbicara, Anda adalah milik bangsa, asset bangsa. Kami butuh seorang seperti Anda. Kita sedang mengalami krisis tokoh. Syaykh.... kami akan selalu dibelakang dan bersama Anda, walau ada pihak-pihak yang ingin menjadikan anda sebagai ABB kedua”,tegasnya.
* * *
Suatu hari, Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat melakukan silaturrahim politik dengan bersafari ke pesantren pesantren di Jawa Barat, termasuklah Pesantren Al-Zaytun di Indramayu. Kunjungan itu mendapat warm welcome dari pimpinannya, Syaykh AS Panji Gumilang dan civitas akademiknya.