: Sya
Aku membuka pintu, terik di luar sana
tapi kau datang dengan hujan--menderas.
Kuharap itu bukan lara.
Kursi-meja kutata,
bersiap ada secarik kisah di atasnya.
"Aku di sini saja," katamu bersikap;
duduk di antara dua daun pintu
seraya memandang langit
dengan sedikit awan di hari itu.
Pena mulai terangkat
menumpahkan tanya dari kepalaku;
membaca tiap rinai dari matamu,
dan menerka berapa lama kau di situ.
Aku menulis kata sembari menunggu bicaramu,
berharap kata-kataku akan menyusun puisi.
Namun berulang kali kutulis kata,
mereka melompat keluar dari kertas;
berlari menghampirimu.
Kupikir mereka sedang terpesona,
atau mungkin ada hal lain
--sesuatu yang selalu gagal kutuliskan.
Langit perlahan menjingga,
tanda malam akan datang seperti kemarin.
Aku ingin melihat purnama nanti
meski sudah pernah berkali-kali.
Paras purnama itu adalah cara terakhir
merayu kembali kata-kata
yang terlanjur lepas dari kendaliku.
Di sudut meja aku termenung
bersama pena, kertas, dan ditinggalkan kata-kata.
Tidak ada yang benar-benar tertulis dalam puisi.
Tidak ada yang benar-benar selesai kubaca darimu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H